Dokter Tigor Silaban, dari Mapala UI sampai meninggal di Papua

Papua
Dokter Tigor Silaban (1953-2021) - Jubi/ist
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Mendiang dokter Tigor Silaban pertama kali datangPapua, Kota Jayapura sekira 1978 sebagai mahasiswa pencinta alam yang tergabung dalam Mapala Universitas Indonesia. Saat itu tim Mapala UI hendak mendaki Puncak Cartenz Pyramid bersama Dr Henry Walandouw dan kawan-kawan.

TimMapala UI juga melakukan kunjungan ke SMA termasuk SMA Gabungan di Jayapura mengajar agar pelajar juga tertarik untuk mencintai lingkungan hidup melalui klub pecinta lingkungan di sekolah masing-masing.

Rupanya usai mendaki gunung dan wisuda putra kandung dari Frederich Silaban seorang arsitek besar yang merancang Masjid Istiqlal lebih memilih bertugas sebagai dokter umum di Tanah Papua.

Saat masih muda dan bertugas, dokter Tigor Silaban membiarkan rambutnya terurai panjang alias berambut gondrong. Bahkan saat berkunjung ke SMA Gabungan Dok V kala itu sebagai Mapala UI juga berambut gondrong.

Selanjutnya dokter Tigor Silaban bertugas di Distrik Bokondini, Kabupaten Jayawijaya pada Puskesmas Bokondini 1979. Jauh dari keramaian ibukota Jakarta putra arsitektur kenamaan Indonesia ini memilih tinggal di daerah terpencil diera Papua masih bernama Irian Jaya.

Sebagai seorang anggota Mapala UI dokter Tigor selalu berjalan kaki mengitari sungai dan gunung gunung di wilayah Kabupaten Jayawijaya dari Wamena sampai ke wilayah Kabupaten Mamberamo Tengah.

Salah seorang rekan kerja dokter Tigor di Puskesmas Bokondini, almarhum mantri J.A. Rumaterai menceritakan bahwa selama melakukan kunjungan ke kampung-kampung, dokter Silaban suka mencari ikan ikan kecil di kali. Hobi mencari ikan sudah dilakukan semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Ikan yang diperoleh, selalu dibawa pulang. Selama dr Tigor bertugas di Jayawijaya dan setiap ada kesempatan selalu mencari ikan.

Suatu waktu kata Mantri Rumaterai, bersama dokter Silaban melakukan perjalanan ke Kobakma, sekarang ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah. Saat sedang duduk-duduk, tiba-tiba penduduk memikul seorang bapak untuk mengobati luka. Paitua itu terkena taring babi hutan, gara-gara warga mengejar dan mau menangkap babi tetapi babi mengamuk sehingga menyabet perut seorang bapak yang sedang berkebun.

“Bayangkan, daging terobek dan tali perut (usus besar dan halus) keluar tergantung,” kenang almarhum mantri Rumaterai saat itu.Tidak ada benang dan jarum khusus untuk menjahit luka, si pasien. Terpaksa minta kepada penduduk apakah mereka punya kelebihan jarum dan benang jahit. Ternyata masyarakat punya. Seandainya tidak ada, mantri Rumaterai berencana akan memakai jarum pentul untuk menutup luka robekan akibat taring babi.

Pengalaman almarhum JA Rumaterai ini selama bertugas di Kabupaten Jayawijaya, juga dibenarkan dokter Silaban kala diwawancarai jurnalis arsip.jubi.id.

Bukan hanya itu saja dokter Silaban juga selalu mengisi waktu luangnya dengan membuat patung patung dari kayu.

Salah satu program terkenalnyaa dalah jaringan kesehatan pararel. Program ini melatih tenaga non kesehatan, di daerah pedalaman seperti perwakilan gereja.

Dokter kelahiran Bogor 1 April 1953 ini pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 2017 dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Dinas KesehatanProvinsi Papua dengan mendapatkan 38 tanda jasa.

Ia menderita sakit dan dirawat di RSUD Dok II Jayapura, hingga akhirnya meninggal dalam usia 68 tahun pada Jumat (6/8/2021) pukul 23.15 WP. Almarhum meninggalkan seorang istri Joan Maureen Tielman dan empat anak serta seorang cucu. Selamat jalan dokter Tigor Silaban.(*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply