Diplomasi publik Papua Nugini lebih dari pameran dan KTT

Papua Nugini
Papua Nugini perlu merenungkan kembali diplomasi publiknya. - Getty Images/James D. Morgan

 Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Patrick Kaiku dan Russel Kitau 

Pada Juni tahun ini, pejabat-pejabat tinggi Papua Nugini mengumumkan partisipasi negara itu dalam kegiatan Expo 2020 di Dubai yang tertunda. Delegasi Papua Nugini, yang dipimpin oleh Kementerian Luar Negeri (PNGDFA), telah meminta bantuan dari pemerintah, dengan alasan bahwa acara tersebut diperlukan dalam rangka mempromosikan Papua Nugini.

Read More

Dalam beberapa dekade terakhir ini, Papua Nugini telah terlibat dalam berbagai kegiatan mewah seperti itu, termasuk pertemuan KTT multilateral dan kompetisi-kompetisi olahraga untuk mempromosikan negaranya, dengan alasan bahwa platform semacam ini diperlukan untuk menunjukkan dirinya sendiri. Contohnya, saat mempersiapkan diri untuk menjadi tuan rumah KTT pemimpin-pemimpin APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada November 2018 lalu, pejabat-pejabat Papua Nugini membenarkan pengeluaran dana publik yang besar-besaran itu untuk memosisikan Papua Nugini dalam panggung global sebagai negara yang ramah terhadap investor.

Namun, capaian dari kegiatan seperti itu jarang dinilai terhadap tujuan-tujuan yang lebih realistis. Menteri-menteri pemerintah yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan KTT APEC 2018 belum kunjung menyerahkan laporan APEC ke Parlemen. Kelompok masyarakat sipil, ACT Now PNG, juga mendesak adanya audit akan APEC 2018 sehingga dana publik yang dikeluarkan selama acara itu dapat dipertanggungjawabkan.

Memang orang-orang PNG yang membayar pajak berhak menerima laporan itu, namun tinjauan acara APEC juga dapat meningkatkan catatan diplomasi institusional PNG. Sayangnya manajemen informasi bukan prioritas dalam diplomasi di PNG, sementara diplomasi publik PNG itu tampaknya tidak belajar dari akumulasi pengalaman diplomasi sebelumnya. Sebaliknya, mereka berasumsi bahwa melalui acara roadshow atau kegiatan yang mewah, audiensi global akan lebih banyak belajar tentang PNG. Hampir tidak ada pendekatan strategis sama sekali dalam hal ini.

Audit terhadap APEC 2018 juga akan membantu mengidentifikasikan kapasitas pemangku kepentingan dalam negeri. Philip Mitna, dalam sebuah studi tentang faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri PNG, mengamati bahwa “minimnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang tanggung jawab fungsionalnya mencakup kebijakan luar negeri dan kurangnya konsultasi antara pemimpin-pemimpin politik adalah tantangan yang berat dalam pengembangan kebijakan luar negeri PNG.”

Kendala ini menghambat upaya PNGDFA dalam mempertemukan kebijakan domestik dan internasional. Diplomasi publik Papua Nugini itu tidak berarti sama sekali jika tidak ada dukungan dari pemangku kepentingan domestik. Negara-negara yang benar-benar memaksimalkan hubungan internasionalnya itu paham akan pentingnya koordinasi multi stakeholder domestik yang efektif. Seperti yang terjadi dalam bidang lainnya, seperti diplomasi perubahan iklim, pengarusutamaan komitmen hubungan internasional tergantung pada koordinasi institusi-institusi domestik, bahkan pihak-pihak non-pemerintah.

Dengan adanya prioritas fokus global pada sejumlah isu yang juga relevan dengan PNG, negara itu harus mulai menelaah kembali peran diplomasi publiknya dengan menyusun strategi yang lebih dari sekedar acara pameran atau kegiatan satu atau dua hari yang dampaknya sulit diukur.

Sebuah strategi diplomasi publik yang efektif harusnya disusun berdasarkan proses konsultasi domestik, di mana niche PNG telah dipelajari, dan yang sejalan dengan pemangku-pemangku kepentingan domestik – baik pemerintah maupun non-pemerintah. PNGDFA bertugas untuk mengoordinasi semua pemangku kepentingan dalam penyusunan strategi ini.

Baca juga: Kaleidoskop Kepulauan Pasifik (2)

Variabel-variabel penting juga harus dijabarkan dalam strategi diplomasi publik tersebut. Pertama, instrumen pemantauan dan evaluasi yang kuat harus ada. Untuk negara berkembang seperti PNG, mengukur indikator kinerja itu sangat diperlukan, terutama dalam hubungan luar negeri. Alokasi sumber daya publik yang terbatas untuk hubungan politik luar negeri telah semakin kontroversial karena melibatkan kompromi terhadap prioritas-prioritas domestik yang lebih mendesak. Evaluasi diplomasi publik PNG akan memberikan jaminan bahwa sumber daya publik itu menghasilkan keuntungan, melampaui sekedar pameran dan KTT.

Kedua, strategi yang koheren harus dengan jelas menerangkan keistimewaan PNG. Membingkai niche diplomasi sebuah negara merupakan agenda domestik utama bagi negara-negara yang benar-benar ingin berkontribusi dalam diskusi global. Saat ini, tidak ada konsensus dalam negeri tentang kontribusi PNG untuk kerja sama global, atau bahkan serangkaian nilai yang konsisten dalam menopang hubungan internasionalnya.

Baru-baru ini saja, seorang pejabat senior PNG, mengomentari kontribusi negara itu dalam diskusi global tentang konservasi lingkungan, menegaskan kembali peran PNG sebagai ‘paru-paru dunia’, mengacu pada statusnya sebagai rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia.

Hal ini sesuai dengan agenda global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Tetapi bagaimana peran PNG sebagai pendukung kelestarian lingkungan? Rekam jejak domestiknya justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Akibat pembalakan liar dan praktik yang tidak ramah lingkungan dalam ekstraksi SDA di PNG, jika negara itu ingin memperbaiki citranya sebagai bangsa pelestari lingkungan berarti PNG memerlukan reformasi domestik, sesuatu yang telah dijanjikan oleh pemerintah saat ini.

Pengaruh global pada isu-isu seperti perubahan iklim dan konservasi kehutanan akan efektif jika PNG melakukan advokasi berdasarkan posisi yang kuat di dalam negeri. Pengalaman dari negara-negara berkembang lainnya tentang diplomasi perubahan iklim menunjukkan bahwa “kebijakan yang tegas di dalam negeri menunjukkan kredibilitas eksternal kepada para diplomat, karena mereka mempraktikkan apa yang mereka khotbahkan”.

Terakhir, pemerintah Papua Nugini harus menyambut kemajuan teknologi digital. PNGDFA tidak memiliki situs web yang interaktif atau yang menyediakan fungsi umpan balik. Negara-negara lain telah menunjukkan bahwa umpan balik bisa didapatkan melalui platform media-media sosial. Mengetahui dengan tepat kalangan masyarakat yang mana yang penting bagi kepentingan nasional PNG akan membantu menetapkan kegiatan diplomasi publik yang perlu diprioritaskan, sesuai dengan kapasitas pemangku kepentingan domestik dan tujuan hubungan internasional negara tersebut.

Contohnya program pertukaran pengetahuan. Sejalan dengan agenda global tentang pembangunan berkelanjutan, salah satu cara praktis untuk memamerkan PNG adalah melalui pekerjaan dari komunitas peneliti, dengan menciptakan pusat pengetahuan, pusat sumber daya hayati, dan fasilitas penelitian ilmiah. Dengan potensi naiknya reputasi PNG dalam hal penelitian konservasi, ini dapat menjadi titik awal dalam memulai program pertukaran orang-ke-orang, pertukaran ilmiah, dan bentuk-bentuk pembelajaran lintas budaya lainnya.

Pendekatan pemerintah yang menyeluruh dapat meningkatkan visibilitas PNG di panggung global. Negara-negara yang dengan strategis melakukan pendekatan yang kreatif dalam diplomasi publik mereka telah menuai keuntungan yang signifikan dalam reputasi nasional mereka.

Efek dari pendekatan itu mencapai sektor-sektor seperti pariwisata, perdagangan, dan pendidikan tinggi. PNG perlu mempertimbangkan kembali ketergantungannya pada diplomasi publik yang sudah ketinggalan zaman, dan menggunakan cara yang lebih interaktif dan ekonomis untuk menunjukkan potensinya. (*)

Russel Kitau mengajar Ilmu Politik di Universitas Papua Nugini. 

Patrick Kaiku juga merupakan pengajar Ilmu Politik di Universitas Papua Nugini. Ia telah mengajar di UPNG sejak 2011. 

Sumber: The Interpreter 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply