Papua No. 1 News Portal | Jubi
Manokwari, Jubi – Kepesertaan Orang Asli Papua (OAP) di wilayah Papua Barat dalam Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) oleh BPJS Kesehatan, belum sepenuhnya mendapat respons positif. Standar pelayanan bagi OAP masih diberlakukan sama secara nasional, tanpa mengikuti kaidah kekhususan dalam UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.
Disinyalir, masih ada kesenjangan dalam praktik pelayanan kesehatan bagi OAP yang terdaftar sebagai peserta JKN-KIS, meski ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat melalui dana Otonomi khusus sebagai peserta kelas 3 (tiga) dengan beban iuran Rp25 ribu/bulan.
Pembahasan tentang layanan kesehatan bagi OAP kembali diangkat dalam reses anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) di wilayah Manokwari. Keluhan layanan kesehatan OAP, saat ini mendesak dan perlu dilakukan evaluasi. MRPB sebagai lembaga kultur OAP akan segera bersikap melalui kewenangannya memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Papua Barat dan kabupaten/kota melakukan evaluasi terkait anggaran kesehatan bagi OAP termasuk melakukan evaluasi terhadap standar layanan kesehatan bagi OAP peserta JKN-KIS yang ditanggung Pemerintah melalui uang Otsus.
Anthon Rumbruren, anggota MRPB perwakilan Adat mengatakan, evaluasi layanan kesehatan bagi OAP harus segera dilakukan oleh Pemerintah, DPRD dan BPJS Kesehatan. Pasalnya, masih saja OAP mengeluh tentang pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah maupun Rumah Sakit mitra BPJS Kesehatan.
“Kami terima keluhan masyarakat, kalau sampai saat ini masih ada perbedaan pelayanan kepada peserta JKN-KIS berdasarkan standar kelas. Jika Pemerintah Papua Barat daftarkan OAP di BPJS Kesehatan di kelas 3 (tiga), maka hal itu perlu pendampingan, karena ketika berobat ada kesan dibeda-bedakan,” ujar Rumbruren.
Dia pun mendorong Pemerintah untuk membentuk sebuah badan khusus untuk kelola dana Otsus bidang kesehatan, sehingga anggaran Otsus untuk kesehatan OAP tidak terkontaminasi dengan anggaran di dinas kesehatan yang selama ini mengelola uang Otsus untuk kesehatan OAP.
“Ini penting, karena menyangkut hak mendapat pelayanan kesehatan tanpa ‘perbedaan’. Jika OAP dinomor tigakan, dalam kepesertaan JKN-KIS BPJS Kesehatan, maka seharusnya pemerintah ambil alih dan berikan hak prioritas bagi OAP tanpa biaya (gratis),” ujar Rumbruren tegas.
Dia juga akui, bahwa telah mendapat laporan warga yang hendak berobat ke rumah sakit di wilayah Manokwari, yang pertama ditanya kepada pasien bukan keluhan penyakit yang diderita, tapi yang ditanya adalah kepesertaan JKN-KIS. Inilah letak perbedaan yang secara tidak langsung tersistem dan berlaku.
“Orang sakit saat berobat, yang ditanya pertama bukan keluhan penyakit tapi apakah sudah terdaftar di BPJS Kesehatan?, bagian ini yang tidak perlu terjadi. Dan Pemerintah daerah melalui kewenangan Otsusnya, harus bisa yakinkan semua Rumah Sakit di Papua Barat bahwa siapa pun OAP yang hendak berobat harus dilayani tanpa melihat status kepesertaan BPJS Kesehatan,” ujarnya tegas.
Sebelumnya, kepala cabang BPJS Kesehatan Manokwari, dr. Meryta O.Rondonuwu mengatakan, jumlah peserta JKN-KIS di Papua Barat hingga Oktober 2019 sebanyak 645.343 peserta yang tersebar di tujuh kabupaten di bawah wilayah kantor cabang BPJS Kesehatan Manokwari.
“Kepesertaan JKN-KIS di kabupaten Fakfak 114.177 peserta; kabupaten Manokwari 247.035 peserta; kabupaten Kaimana 66.368 peserta; kabupaten Teluk Bintuni 82.528 peserta; kabupaten Teluk Wondama 51.887 peserta; kabupate Pegaf 38.787 peserta; dan kabupaten Mansel 44.561 peserta,” ujar Meryta kepada wartawan di Manokwari belum lama ini.
Khusus Kabupaten Manokwari, 50 persen peserta JKN-KIS adalah tanggungan pemerintah daerah, dan secara umum di Papua Barat, sekitar 70 persen ditanggung oleh Negara, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini pula tunggakan pembayatan iuran peseta JKN-KIS di Papua Barat cukup tinggi.
“Tunggakan pembayaran iuran hingga Oktober 2019 cukup tinggi, dan jumlah peserta yang menunggak di Papua Barat sebanyak 31.986 orang, dengan rincian tunggakan kelas 1: 5.016 peserta, kelas 2: 4.821 peserta dan kelas 3: 13.648 peserta,” ujarnya menjelaskan.
Berdasarkan data, Pemerintah Papua Barat melalui Dinas Kesehatan Provinsi, telah berupaya menyusun Rancangan peraturan daerah provinsi (Raperdasi) tentang standar layanan kesehatan di Papua Barat. Namun hingga saat ini belum diketahui nasib Raperdasi tersebut.
Sementara proses penyusunan telah berlangsung sejak tahun 2017 hingga 2018 namun tak kunjung diketok oleh DPR Papua Barat periode lama. (*).
Editor: Syam Terrajana