Dialog Papua-Jakarta dan “Presiden-presiden kecil di antara Presiden besar”

Papua
presiden Jokowi saat bertemu dengan warga Papua - dok
Papua No.1 News Portal | Jubi

Kenapa Jokowi tidak kunjung bikin dialog Papua-Jakarta yang bermartabat?

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla menang pemilihan Presiden Republik Indonesia, 2004 silam, dorang pasang visi dan misi bukan main; “Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi manusia.”

Read More

Pada periode 2009-2014 ketika menang Pilpres lagi, pasangan SBY-Boediono kembali pasang visi misi mentereng; akan Memperbaiki law enforcement [penegakan hukum], Memperkuat kinerja dan pengawasan kepolisian dan kejaksaan melalui reformasi kepolisian dan kejaksaan, perbaikan kinerja kepolisian dan kejaksaan di daerah, baik melalui program quick win maupun perbaikan struktural menyeluruh dan komprehensif pada kepolisian dan kejaksaan.

Selain itu ada janji manis SBY untuk bangsa Papua; membangun dialog konstruktif.

“Sejauh ini belum nampak akan direalisasikan, sebaliknya pemerintah justru muncul dengan kebijakan yang berbeda, yakni menerjemahkan kompleksitas masalah di Papua, hanya semata soal ekonomi, hal ini tercermin dari pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), tulis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan berjudul “Hak Asasi Diakui tapi Tidak Dilindungi; Catatan Hak Asasi Manusia dimasa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [2004-2014]”

Pada 9 November 2011, presiden SBY bikin pengumuman: pemerintah siap berdialog secara terbuka dengan semua elemen masyarakat Papua. Bahkan, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Bambang Darmono menegaskan, pemerintah juga siap berdialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tepat 12 tahun sebelum itu, pada 26 Februari 1999, digelar pertemuan di Istana Negara Jakarta antara 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal dengan Presiden RI, kala itu dijabat Bacharuddin Jusuf Habibie.

Deklarasi pisah dari Indonesia disampaikan kepada Habibie oleh tokoh Papua yang terdiri dari masyarakat adat, tokoh agama, akademisi, mahasiswa,perempuan, mantan birokrat dan lain-lain.

“Kami sudah cukup menderita; kami sebenarnya sudah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961; kedaulatan kami dirampas oleh Republik Indonesia; kami sebagai bangsa tidak diakui dan martabat kami diinjak injak; segala hal ini terbukti dalam sejumlah besar pelanggaran hak hak asasi orang Papua.  Segalanya itu menjadi dasar nyata untuk menyatakan bahwa sekarang sudah cukup, dan kepercayaan masyarakat Papua pada Pemerintah Indonesia sudah tidak ada lagi,” demikian bunyi pernyataan tim 100 dalam pertemuan itu.

“Aspirasi yang anda sampaikan itu penting, tetapi mendirikan Negara bukan perkara mudah, pulang dan renungkan kembali aspirasi itu,” begitu jawaban singkat Habibie.

Selanjutnya, dialog damai Jakarta-Papua, kembali mengemuka setelah tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku “Papua Road Map, negotiating the Past, Improving the present and securing the future,” atau dikenal PRM pada 2009.

2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bersedia bertemu pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda, untuk membahas penyelesaian konflik di Papua dan Papua Barat.

“Ya enggak ada masalah, bertemu saja. Dengan siapa pun akan saya temui, kalau memang pengen bertemu,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (30/09/2019) sebagaimana dikutip dari laman kbr.id.

Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko juga menyatakan keinginannya bertemu Benny Wenda, sebelum mempertemukannya pada Jokowi. Ia juga mengklaim pemerintah serius menyelesaikan konflik di Papua, serta berjanji memberi ruang untuk Benny menyampaikan keinginannya pada pemerintah.

Pada 10 September 2019, Jokowi bertemu dengan 61 tokoh yang disebut perwakilan orang Papua di Istana negara. Pertemuan itu malah jadi kontroversi karena pemerintah provinsi maupun lembaga kultural orang asli Papua ternyata tidak tahu-menahu.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Saiful Islam Al Payage-yang juga hadir dalam pertemuan, menegaskan orang-orang yang diundang itu “tidak mewakili tokoh-tokoh yang ada di Papua.” “Kami difasilitasi oleh BIN untuk bertemu dengan Presiden. Budi Gunawan yang memimpin acaranya,” ujarnya kepada Tirto.id.

Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib menilai baku tembak yang tak sudah-sudah antara aparat keamanan Indonesia dan TPNPB-OPM, ujung-ujungnyha cuma bikin rugi masyarakat Papua. Banyak warga tak mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia, terlebih anak-anak juga menjadi korban. “Ketika konflik itu pecah, dampaknya mengungsi besar-besaran. Perjalanan minggu-minggu. Dalam perjalanan, mereka tidur di gua atau di bawah pohon besar. Apalagi daerah gunung ini dingin,” ujar dia kepada reporter Tirto, Selasa (13/4/2021). Ia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan akar masalah di Papua melalui dialog yang bermartabat.

Tapi sampai hari ini, dialog itu tak kunjung terwujud. Moncong senjata kian banyak mengarah ke Papua. Militer terus saja ditambah,terlebih  setelah pemerintah  Indonesia memberi label “Teroris  kepada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan seluruh organisasi atau pihak yang mendukung.

Situasi ini mengingatkan kita pada cerita mendiang Muridan, peneliti LIPI dan penggagas dialog Jakarta-Papua. John Jonga, sahabatnya menuliskan cerita itu pada buku “Muridan Kita dan Papua, Sebuah Liber Amicorum” yang disusun Wilson, JJ Rizal dan Solahudin (Komunitas Bambu, 2014).

“Waktu Mas Muridan ke Hepuba tahun 2013 lalu, saya bertanya “Bagaimana nasib dialog? Jawaban Mas Muridan “Pater John, seperti di kampung-kampung ada banyak kepala suku kecil, maka di Jakarta juga ada banyak presiden-presiden kecil di sekitar presiden besar…” (*)

Editor: Jean Bisay

Related posts

Leave a Reply