Papua No. 1 News Portal | Jubi
TAK ada yang menyangka dengan berjualan pinang di pondok depan toko bisa meraup untung hingga Rp 1 juta per hari. Tapi itulah yang dialami seorang perempuan asli Papua di Kabupaten Yahukimo.
Since Kogoya, nama perempuan itu, setiap hari berjualan di atas meja kayu di depan Toko Cahaya Yahukimo, Terminal Nusantara, Dekai, Yahukimo. Ia menjual pinang sendiri.
Kogoya berjualan pinang bersama perempuan lainnya, Lisa Sugun. Ketika Jubi mendekati, Senin, 1 April 2019, di atas meja terlihat tiga tumpukan buah pinang. Banyak pembeli di depannya, bahkan ada yang langsung makan pinang.
Mereka menjual pinang dengan harga bervariasi, sesuai kualitas, ukuran buah, dan jumlah per tumpukan. Ada tumpukan berisi tiga buah dan empat buah yang dijual Rp 10 ribu, serta empat buah yang dijual Rp 20 ribu.
Menurut Kogoya, ia menanam batang pinang cukup lama, sejak Kabupaten Yahukimo berdiri pada 2002. Ia puas dengan hasil buahnya karena tidak kalah dari buah pinang yang dipasok dari luar kota Dekai seperti Biak dan Jayapura.
“Kami mulai panen dari tahun 2015 dan terhitung kita panen sudah sembilan kali, hasilnya sangat memuaskan,” ujarnya.
Hasil yang ia maksud adalah penjualan buah pinangnya. Dengan berjualan setiap hari, ia tidak hanya bisa membiayai keluarganya, tetapi juga menabung, serta membeli ternak dan barang-barang.
“Selain menabung, saya membeli babi seharga Rp 5 juta dan Rp 10 juta, serta satu sepeda motor,” katanya.
Itu memungkinkan karena ia bisa meraup untung Rp 1 juta per hari, jika sedang ramai pembeli. Namun kalau lagi sepi pendapatannya bisa Rp 300 ribu.
Penjual pinang lainnya yang berjualan dekat Kogoya adalah Lisa Sugun. Namun perempuan ini mendapatkan pinang dengan membeli kepada pemasok dari Jayapura.
Namun ia mengaku untung berjualan pinang juga tak berbeda dari Kogoya. Hasil berjualan pun ia sisihkan untuk model beternak ikan dan babi.
“Saya jualan di sini sejak terminal pedulangan emas mulai buka, namanya
Terminal Nusantara, saya orang pertama yang jualan pinang di sini,” kata Sugun.
Pinang memang kunyahan favorit orang Papua, tak terkecuali di Yahukimo. Karena itu penjual pinang terlihat di mana-mana dan pendapatannya lumayan.
Penjual lainnya, Era Tabuni, mengatakan juga menjual pinang dari hasil tanamannya. Ia menanam pinang delapan batang pada 2008 dan sudah bisa menjual buahnya sejak 2014.
“Satu oki bisa masuk sampai Rp 500 ribu, itu jika pembelinya sepi, tetapi jika pembelinya lancar ada yang masuk sampai Rp 1 juta lebih,” ujarnya kepada Jubi, Kamis, 4 April 2019.
Era Tabuni yang setiap harinya berjualan pinang sambil menunggu kiosnya “Syukur” di Ruko Blok B, Kota Dekai.
Dengan hasil berjualan pinanglah ia membangun kiosnya dan memodali isinya, serta membeli ternak babi. Tentu saja setiap hari ia bisa membiayai keluarganya dengan kedua usahanya.
Keuntungan berjualan pinang, kata Tabuni, bergantung pada buah pohon pinang. Labanya ada pada buah pinang.
“Uang yang masuk juga saya buka celengan untuk masa depan anak-anak, ada beli babi satu lagi seharga Rp 5,2 juta,” kata Era.
Menurutnya kualitas buah pinang antara Jayapura dan Yahukimo tak beda jauh. Isinya sama-sama besar dan buahnya bagus.
“Pinang di sini bisa kosong jika pesawat batal masuk, maka saya yang mengandalkan pinang dari pohon sendiri bisa menjual satu buah Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu begitu, jadi kami untung dan pendapatannya lebih, tapi pinang banyak atau banjir itu tidak dapat lebih,” katanya.
Pembeli buah pinang, Neton Heluka, mengatakan pinang Yahukimo tak kalah saing dengan pinang-pinang yang didatangkan ke Yahukimo.
“Pinang Yahukimo sangat bagus, ludah pinang kental sekali, kental manis, jadi perbedaan pinang Yahukimo dan Jayapura tidak beda jauh, sama bagus,” katanya.
Neton mengharapkan kepada masyarakat Yahukimo agar semakin banyak menanam pinang agar tidak tergantung kepada pinang hasil daerah lain.
“Saya harap masyarakat Yahukimo bisa tanam pinang banyak supaya kita bisa konsumsi dari daerah sendiri, ini satu bukti nyata bahwa Yahukimo cocok untuk tanam pinang dan hasilnya bagus tak kalah dari daerah lainnya,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi