Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
SEKITAR satu setengah jam, Jubi melakukan perjalanan dengan menggunakan sepeda motor hingga sampai di Kampung Kamanggi, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke.
Suasana dalam kampung tampak sepi. Hanya beberapa orang di samping balai kampung, sedang mematok lahan untuk pembangunan sekolah PAUD.
Jubi memperkenalkan diri dan meminta waktu mewawancarai masyarakat setempat yang menekuni profesi mencetak batu bata.
Di saat bersamaan, koordinator dari 12 kelompok yakni Martinus Kayimu bersama beberapa warga setempat berkumpul dan langsung dilakukan interview. Setelah itu melihat batu merah yang telah dibakar dan siap dijual.
Koordinator usaha cetak batu bata, Martinus Kayimu, kepada Jubi Selasa, 30 Oktober 2018, mengatakan kurang lebih empat tahun, masyarakat setempat yang umumnya adalah orang asli Papua (OAP) menekuni profesi cetak batu bata.
“Kami sudah jalan sekitar empat tahun dan terdapat 12 kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah 4-5 orang,” ujarnya.
Dikatakan, bahan yang dimanfaatkan mencetak batu bata selain tanah, juga ampas padi, terpal, air, dan beberapa kebutuhan penting lain. Setiap hari, aktivitas cetak batu bata berjalan seperti biasa.
Dia menjelaskan setelah proses cetak secara manual dilakukan dengan peralatan, dilakukan pengeringan. Proses pengeringan memakan waktu tiga sampai empat hari, karena cuaca juga panas. Namun ketika datang musim hujan, masa waktu pengeringan sampai dua minggu.
Dalam sehari, lanjut Martinus, 12 kelompok tersebut bisa mencetak sampai 1.000 batu. Biasanya, jumlahnya sampai 25.000 batu, baru proses pembakaran dilangsungkan.
“Memang perlu batu bata dalam jumlah banyak hingga ribuan untuk dilakukan pembakaran sekaligus. Sehingga persiapan juga lebih matang termasuk kayu untuk membakar yang mesti dalam jumlah banyak,” katanya.
Biasanya, jelas dia, dalam semalam suntuk, pembakaran dilakukan. Setelah menjadi batu merah, didinginkan dalam beberapa hari ke depan dan bisa dapat dijual.
Untuk penjualan, katanya, selain di kampung sendiri guna pembangunan perumahan maupun fasilitas lain dari dana desa, juga kontraktor datang langsung mengambil. Karena mereka sedang mengerjakan proyek di kota maupun distrik.
Menyangkut harga batu merah, Martinus mengaku sesuai kesepakatan 12 kelompkk dijual Rp 1.000/biji. Itu sudah menjadi standar yang ditentukan bersama.
Dia mengaku usaha tersebut dijalani kelompok secara kontinu, lantaran memberikan manfaat sangat besar. Dimana, sekali jual batu merah dalam jumlah banyak, pendapatan berkisar antara Rp 10 juta sampai Rp 20 juta tiap kelompok.
“Ya, kalau semua kelompok menjual, uang yang didapatkan mencapai Rp 80 juta. Dengan pendapatan tersebut, dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan di rumah maupun menyekolahkan anak,” ujarnya.
Disinggung pembagian uang dari hasil penjualan batu merah, Martinus mengaku jumlahnya merata disesuaikan pendapatan diperoleh.
“Berapapun uang kami dapat, dibagi merata ke setiap anggota,” ungkapnya.
“Kami berterima kasih kepada Kepala Kampung Kamanggi, karena memberikan dukungan penuh terhadap kelompok. Bahkan kekurangan seperti terpal maupun alat mencetak batu, dibantu,” katanya.
Ditanya kesulitan yang dihadapi anggota, Martin mengaku sejauh ini tidak ada. Hanya ketika musim kemarau, cadangan air selalu berkurang sehingga kadang proses cetak batu tak rutin dilakukan.
“Saya melihat animo dan semangat masyarakat sangat tinggi menggeluti pekerjaan dimaksud. Karena mereka telah merasakan manfaatnya,” kata dia.
Ketua Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Kampung Kamanggi, Robertus Kandaimu, menambahkan sudah empat tahun usaha tersebut dijalani dan umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki semangat tinggi.
“Hampir setiap hari, usaha cetak batu bata dilakukan. Memang kendalanya adalah air saja, ketika masuk musim panas. Namun demikian, ada tempat penampungan yang bisa menyedot air untuk digunakan,” ujarnya.
Dia merasa bangga dengan semangat dari anak-anak muda yang tak henti-hentinya membanting tulang menggeluti pekerjaan dimaksud.
Kepala Kampung Kamanggi, Antonius T Kandaimu, mengaku awalnya merintis usaha itu ada bantuan diberikan seperti sekop, alat cetakan, dan terpal.
Seiring dalam perjalanan, menurutnya, usaha yang digeluti mengalami kemajuan. Sehingga dari pemerintahan kampung tak memberikan bantuan peralatan lain.
“Saya sering memantau usaha cetak batu bata yang dilakukan orang asli Papua di sini. Umumnya mereka sangat bersemangat bekerja. Karena dipastikan akan ada uang diterima,” katanya. (*)