Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Hilda Wayne
Sebelum fajar pagi menyingsing, sekelompok penangkap ikan hiu dari Papua Nugini menaiki sampan mereka.
Mereka sudah bersiap-siap demi menyambut hari ini selama berminggu-minggu, menjauhkan diri mereka dari orang-orang lain di desanya di sebelah barat laut Pulau New Ireland, lepas pantai PNG.
Mengenakan hiasan kepala yang besar dari bahan anyaman, wajah dan tubuh mereka dihiasi cat merah dan jingga mereka membawa sekitar 20 sampan menjauh dari pasir pantai vulkanik pulau itu ke Laut Bismarck, sampai daratan tidak kelihatan lagi.
Di tengah-tengah lautan, para pria bernyanyi untuk memanggil ikan hiu, seraya menggerak-gerakkan kalung yang dirangkai dengan batok kelapa dan biji berwarna kehitaman untuk memanggil ikan-ikan itu.
Menangkap hiu itu tidak mudah – seringkali mereka meronta dan meliuk-liuk di air, mencoba menggigit para penangkap – tetapi biasanya, dua atau tiga ikan hiu dapat dilumpuhkan dan lalu dibawa kembali ke desa agar dapat mereka santap.
Ikan hiu yang terlalu muda dilepaskan kembali ke lautan.
Kadang-kadang hal ini memang berbahaya, tetapi Kepala Suku dari Suku Kuk, Pawut, menjelaskan bahwa, jika semua orang yang ikut sudah mempersiapkan dirinya masing-masing dengan baik, mereka tidak perlu takut.
“Ketika ikan hiu timbul, mereka tidak akan memakan kami karena kami telah melindungi diri kami sendiri,” ungkap Pawut. “Kami percaya semua nenek moyang kami, mereka akan melindungi kami. Semua roh akan membantu dan melindungi kami di lautan.”
Ketika mereka masih di tengah lautan, para pemanggil hiu meniup cangkang mereka untuk mengisyaratkan tentang hasil perburuan mereka kepada masyarakat di desa – suara itu mencapai warga desa yang sedang menanti dengan sabar di tepi pantai.
Hanya beberapa laki-laki terpilih yang bisa berpartisipasi dalam ritual ini, ritual yang telah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, diturunkan dari generasi ke generasi, dan dipraktikkan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu.
“Hal ini masih dilakukan sebagai bagian dari identitas dan simbol kami dalam budaya kami,” tegas Kepala suku Pawut.
Tapi minggu lalu, tradisi yang kuno itu memiliki sebuah tujuan yang baru.
Kali ini para pemanggil hiu ingin menunjukkan kekhawatiran mereka mengenai aktivitas uji coba penambangan baru yang mereka percaya akan mengancam cara hidup mereka.
“Ketika mereka mulai melakukan pertambangan bawah laut, mereka akan merusak semua tempat, termasuk kami,” tegas Pawut.
Siapa itu pemanggil hiu dari Pulau New Ireland PNG?
Menurut adat istiadat, juru panggil hiu itu tanggung jawab yang hanya boleh dilakukan oleh laki-laki.
Sekitar dua bulan sebelum mereka berburu, mereka tidak diperbolehkan memakan daging babi hutan atau lobster, dan makanan yang dinikmati pun sangat terbatas. Para pria itu juga harus mengasingkan diri dari warga desa lainnya, dan menaati peraturan yang ketat tentang hubungan mereka dengan perempuan.
“Mereka harus pergi ke tengah-tengah hutan, tempat yang dalam bahasa kami disebut ‘tareyu’,” menurut Sheillah India, wakil presiden pemerintah daerah Tikana di New Ireland.
“Mereka tidak boleh tinggal dengan perempuan, atau ibu atau anak perempuan. Mereka tidak boleh berbicara dengan perempuan manapun.”
Sekelompok laki-laki itu bahkan dilarang makan makanan yang telah dimasak oleh perempuan, mereka harus memasak dan memakan makanan mereka sendiri.
“Mereka semua harus tetap tinggal di rumah laki-laki untuk ritual ini dan berpuasa sebelum mereka pergi,” jelas Pawut. “Jika ada satu orang yang tidak melakukan itu, itu akan membahayakan semua orang yang pergi.”
Orang-orang New Ireland yakin bahwa ikan hiu adalah hewan yang cerdik, itu dapat mencium bau manusia yang memiliki niat tidak baik. Jika pemanggil hiu tersebut berperilaku baik, maka upacara itu akan berbuah dengan daging ikan hiu bagi seluruh masyarakat desa.
Minggu ini, hanya satu orang yang bisa menangkap ikan hiu – dan sang kepala suku percaya bahwa itu terjadi karena sebagian besar laki-laki yang pergi tidak melakukan ritual dengan sepenuhnya sebelum berangkat.
“Modern ini, orang-orang yang pergi ke sana hanya merasa ini adalah salah satu hobi mereka,” tambahnya.
Penambangan dasar laut bisa mengancam tradisi ini
Berkat adanya retakan-retakan ventilasi hidrotermal di Laut Bismarck, daerah pulau New Ireland telah diusulkan sebagai sebuah lokasi uji coba kemajuan baru dalam bidang pertambangan.
Sebuah usaha pertambangan laut dalam atau dasar laut yang kontroversial, disebut Solwara 1, dikembangkan oleh perusahaan asal Kanada bernama Nautilus dengan dukungan pemerintah PNG, diharapkan akan dapat dikembangkan untuk mengekstraksi bebatuan dari dasar Laut Bismarck.
Namun setelah menerima banyak kecaman di tingkat internasional, proyek dan perusahaan itu berhenti pada 2019, bahkan sebelum memulai aktivitas penambangan. Namun inisiatif lainnya yang serupa sedang dipertimbangkan di sekitar kawasan Pasifik.
Baru bulan lalu, negara lainnya di Pasifik, Nauru, mengambil keputusan untuk mempercepat hal ini dengan memulai sebuah proses yang memberikan tenggat waktu dua tahun agar peraturan mengenai penambangan laut dalam di perairan internasional diselesaikan.
Para pemanggil hiu New Ireland ingin agar ada larangan nasional terhadap aktivitas tersebut, dan memastikan penambangan laut dalam tidak pernah lagi diusulkan di perairan mereka.
“Kami berjuang untuk menentang penambangan dasar laut,” tegas Pawut. “Itu akan mempengaruhi tradisi pemanggilan hiu.”
Oigen Schulze, seorang konservasionis lokal dari New Ireland, mengatakan penambangan dasar laut mengancam kehidupan masyarakatnya.
“Pesan kami pada dasarnya cukup sederhana dan tidak bertele-tele – pembangunan tidak perlu mengorbankan kehidupan, mata pencaharian, dan lingkungan kita,” tegas Schulze.
Dia mengatakan jika para pemanggil hiu tidak bisa lagi melakukan ritualnya akibat pertambangan dasar laut, itu akan menghancurkan komunitas mereka. “Intinya, adat dan budaya adalah pedoman utama yang menentukan bagaimana penduduk pulau New Ireland menjalankan hidup mereka … jika budaya itu dibunuh, intinya itu membunuh tujuan hidup mereka.” (ABC)
Editor: Kristianto Galuwo