DAW Meepago sebut RDP MRP tidak bisa digagalkan negara

Ribuan rakyat Meepago di lapangan Theo Makai Mowanemani, Dogiyai menolak Otsus, Selasa, (17/11/2020). - Egedy untuk Jubi

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago menegaskan gagalnya pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) yang direncanakan Majelis Rakyat Papua (MRP) di lima wilayah adat selama dua hari, diperhadapkan dengan situasi yang tidak terduga sebelumnya.

Read More

Menurut Ketua DAW Meepago, Marko Oktopianus Pekei, RDP yang direncanakan pelaksanaanya pada 17 – 18 November 2020 tersebut, dibatalkan oleh lembaga negara Republik Indonesia lainnya yang semestinya tidak boleh terjadi. Hal ini dikatakan Pekei karena MRP ialah lembaga negara yang dibentuk pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.

“Maka MRP merupakan satu kesatuan dengan Otonomi Khusus secara legitimasi menjadi lembaga kultur Orang Asli Papua, yang telah diberi kewenangan untuk menjaring aspirasi Orang Asli Papua. Demikian pula Rapat Dengar Pendapat yang direncanakan MRP pelaksanaanya pada 17 – 18 November 2020, merupakan salah satu bentuk menjaring aspirasi,” katanya, kepada Jubi, Rabu (18/11/2020).

Akhirnya, kata dia, Gubernur Papua menyampaikan kepada semua pihak di Provinsi Papua melalui media massa, untuk mendukung RDP yang akan dilaksanakan oleh MRP dalam waktu dekat. Sekaligus gubernur menyampaikan harapannya agar kegiatan tersebut dilaksanakan dengan aman dan lancar dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

“Jadi, maklumat Kapolda tersebut tidak melarang pelaksanaan RDP. Lantaran, fakta yang terjadi di kabupaten berbeda dengan apa yang disampaikan oleh gubernur dan kapolda,” ucapnya.

Sehari sebelumnya, kata Pekei, Kapolres Nabire dan Bupati Nabire mengeluarkan surat yang isinya bertolak belakang dengan pendapat kedua pemimpin di provinsi. Bupati Nabire mengeluarkan surat dengan nomor 330/2919/set tentang penolakan RDP di wilayah Meepago tersebut merujuk pada Surat Kapolres Nabire dengan nomor surat B/775/XI/YAN/2.1/2020/Intelkam perihal pertimbangan tempat pelaksanaan RDP di Kabupaten Dogiyai yang mendapat penolakan dari sejumlah komponen masyarakat di wilayah adat Meepago, serta akan menimbulkan kerawanan keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah Meepago.

“Berdasarkan tanggapan yang berbeda antara pemimpin di tingkat provinsi dan pemimpin di tingkat kabupaten atas rencana pelaksanaan RDP tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang perlu disimak yaitu Bupati Nabire tidak menjadikan seruan Gubernur Provinsi Papua sebagai rujukan dalam surat yang dikeluarkan, sehingga terkesan mengabaikan petunjuk atasan.”

Lantas, pertanyaannya kata dia, sejauh mana koordinasi antarlembaga pemerintah terkait pelaksanaan RDP, kalau ada koordinasi antarlembaga, tetapi Bupati Nabire sengaja mengabaikan seruan gubernur, maka sikap tersebut menunjukkan seolah-olah tidak menghargai gubernur sebagai pimpinan di tingkat Provinsi Papua.

“Sebaliknya, apabila tidak ada koordinasi antarlembaga pemerintah, maka semestinya Bupati Nabire tidak boleh mengeluarkan surat penolakan RDP, sebab tempat pelaksanaan kegiatan RDP bukan di wilayah Kabupaten Nabire. Tempat pelaksanaan RDP di Dogiyai, maka yang berwenang mengeluarkan surat penolakan ialah Bupati Dogiyai, sehingga surat penolakan yang dikeluarkan oleh Bupati Nabire ialah salah satu bentuk intervensi kewenangan pemimpin lain,” kata Pekei.

John NR Gobai, sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP) mengatakan, masyarakat adat Lapago dan Meepago telah menyatakan kejujuran atas kekerasan yang mereka alami selama ini yang tidak pernah diselesaikan secara bermartabat. Contohnya, kasus Wamena dan Paniai yang sudah mengendap di Kejagung, sebelumnya ada sejumlah kasus kekerasan yang mereka alami namun belum diselesaikan dan diakui oleh negara, apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejujuran tentang yang mereka alami.

“Ungkapan ini juga merupakan dampak dr pelaksanaan UU Otsus yang belum menjawab dan mengkongkretkan apa yang merupakan hal mendasar yang harus dipecahkan dengan UU Otsus,” ujar Gobai.

Ia juga mempertanyakan tentang bagaimana dengan wilayah adat Tabi, Saireri dan Anim HA, apakah selama ini mereka nyaman tanpa ada kekerasan dan pengabaian hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. “Penggunaan dana Otsus bagus sesuai dengan Perdasus 25 tahun 2013, regulasi yang dibuat berpihak kepada masyarakat Papua dan programnya memberdayakan masyarakat asli Papua di kabupaten-kabupaten tersebut? Ini harus jelas dan dijelaskan oleh para bupati tersebut.”

“Para elite di pemerintahan dan kelompoknya tentu merasa nyaman dengan fasilitas namun belum tentu rakyatnya, kita bisa lihat adanya masyarakat di Merauke yang ditangkap saat akan hadir dalam RDP, mereka sebenarnya ingin mengekspresikan perasaannya. Elite-elite diduga termakan dengan silent operation yang belakangan ini gencar dilakukan oleh salah satu institusi yang sempat beredar, apakah kemudian ada garansi yang ditawarkan misalnya pemekaran wilayah menjadi provinsi, seperti Papua Selatan, Tabi Saireri, Papua Tengah? Mari kita lihat ke depan,” katanya. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply