Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Mere Nailatikau
Sebuah dokumen dengan tebal 101 halaman itu diam-diam muncul di situs web Biro Statistik Fiji (Fiji Bureau of Statistics/ FBS) pada awal September lalu. Tetapi tidak lama kemudian, Laporan Utama Survei Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga (HIES) 2019-2020, dengan kata pengantar oleh CEO biro itu, Kemueli Naiqama, menarik perhatian massa akibat dua hal. Pertama, karena penggunaan metodologi yang baru dalam mengukur angka kemiskinan – sebenarnya didukung oleh Bank Dunia dan Universitas Bristol dan sejalan dengan standar global dan Pasifik. Kedua, data tentang kemiskinan dan populasi berdasarkan etnis.
Di sebagian besar negara di dunia, ini mungkin tidak akan memicu komentar. Namun, selama hampir satu dekade, pemerintah Fiji yang berkuasa saat ini telah menutup data yang dipilah menurut etnis, dengan alasan bahwa menyediakan informasi tersebut itu bertentangan dengan visinya tentang kewarganegaraan yang setara.
Dalam tulisannya dalam surat kabar Fiji Times, ahli ekonomi Fiji, Wadan Narsey, memuji FBS dan pemerintah karena membuka data yang dibagikan berdasarkan etnis, sesuatu yang telah lama ia perjuangkan sebagai praktik yang diterima oleh dunia global agar dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana komunitas-komunitas yang berbeda mengalami kemiskinan.
Namun beberapa hari kemudian, Jaksa Agung dan Menteri Perekonomian Fiji, Aiyaz Sayed-Khaiyum menyelenggarakan konferensi pers, menyebut pengumuman data itu sebagai sesuatu yang ia ‘sesalkan’, menuduh metodologi survei itu cacat, dan menegaskan bahwa FBS “tidak bertindak sesuai dengan kebijakan pemerintah”. Hari berikutnya, kontrak Naiqama dihentikan karena ia tidak “mematuhi Pasal 5 dari UU Statistic Act 1961”. Pemecatan itu – bukan yang pemberhentian pertama dalam sejarah FBS modern ini – telah mendatangkan banyak kecaman dari publik.
“Ini adalah pemerintahan yang melakukan intimidasi dan merasa ketakutan,” ungkap pemimpin Partai Federasi Nasional (NFP) Fiji dan anggota sisi oposisi, Profesor Biman Prasad. Shamima Ali, Koordinator Pusat Krisis Perempuan Fiji dan anggota Aliansi CSO Fiji mendesak Perdana Menteri negara itu untuk segera memecat Jaksa Agung, menekankan bahwa pemecatan Naiqama itu adalah langkah “yang terlalu berlebihan” oleh “pemerintah yang telah kehilangan kredibilitasnya dan saat ini berada dalam kekacauan”.
Pengacara asal Suva, Richard Naidu, berpendapat bahwa meski Pasal 5 UU tentang statistik tadi tidak secara eksplisit mewajibkan data agar dibagi-bagi berdasarkan etnis,UU tersebut tidak melarang pengumpulan data berdasarkan etnis – sebuah ukuran demografi yang diakui secara universal.
Profesor David Gordon dari Universitas Bristol, yang juga berkontribusi pada laporan kemiskinan HIES ini, menerangkan bahwa survei itu dilakukan sesuai dengan “standar statistik internasional” dan bahwa data yang terkandung didalamnya itu “secara statistik dapat dipercaya dan secara sosial sangat realistis”. Akademisi lainnya dari University of Fiji dan The University of the South Pacific mengungkapkan pandangan yang sama.
Sembilan hari setelah pegawai pemerintah mengawal Naiqama keluar dari kantornya, ia mengeluarkan pernyataannya sendiri dimana ia menegaskan bahwa ia telah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ahli statistik terlatih “dengan sebaik kemampuan, tanpa rasa takut atau bantuan, dan sebagai pegawai negeri sipil yang netral”.
Pada 11 Oktober, satu hari setelah perayaan kemerdekaan Fiji yang ke-51, perwakilan dari asosiasi profesional ahli statistik global International Statistics Institute (ISI) dan International Association for Official Statistics (IAOS) menyurati Perdana Menteri Josaia Voreqe Bainimarama untuk menyampaikan “keprihatinan yang serius” atas pemecatan Naiqama dan meminta pemerintah untuk “segera bertindak dan memberikan penjelasan atas tindakannya yang terlepas dari proses politik sehingga itu dapat membangun kembali kepercayaan pada data dan statistik Fiji”.
Secara global, regional, dan juga untuk Fiji, dampak dari data dan statistik sebenarnya belum mencapai potensi penuh dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Menentukan komunitas yang paling membutuhkan bantuan adalah salah satu tugas penting dari desain survey HIES. Data yang terungkap sangat mengejutkan, termasuk tentang mekanisme bagaimana orang-orang yang rentan menghadapi persoalan mereka – di Fiji, 63 % populasi bergantung pada bantuan yang mereka terima dari teman dan kerabat sementara 36 % bergantung pada pemerintah.
Di seluruh dunia, program pemerintah yang memungut “time tax”, sebutan untuk proses bertele-tele yang harus ditempuh oleh warga negara demi mendapatkan manfaat yang merupakan hak mereka, terhadap masyarakat yang memerlukan bantuan itu cukup umum. Dalam hal ini Fiji pun bukanlah pengecualian. Orang-orang Fiji telah menghabiskan waktu, dana, dan kemampuan mental yang signifikan agar dapat mengakses bantuan pemerintah selama pandemi Covid-19, sementara ekonomi masih lesu akibat karantina wilayah dan penutupan perbatasan. Menentukan “time tax” bagi warga Fiji yang membutuhkan bantuan bisa menjadi langkah pertama yang menjanjikan untuk mengelola dan mengurangi prosesnya.
Di Fiji, seringkali isu seperti ini bukan tentang kapasitas tenaga ahli untuk mengukurnya, namuan lebih tentang kegagalan atau bahkan penolakan untuk mempublikasikan datanya. Contohnya, Survei Ketenagakerjaan dan Pengangguran (EUS) tahun 2010-2011 yang didanai oleh Australia, sarat dengan informasi tentang jumlah pekerjaan, baik yang berbayar maupun tidak, yang dilakukan oleh anggota-anggota rumah tangga dan waktu yang dihabiskan untuk berbagai bentuk waktu luang, sudah siap untuk diterbitkan pada 2013. Laporan itu belum diterbitkan hingga hari ini.
Laporan World Development Report 2021 mendesak agar ada kontrak sosial antara pemerintah dan warganya mengenai data, mengharuskan agar hal ini dapat dihentikan di Fiji – bahwa semua data harus bisa diakses dan tidak dibatasi hanya untuk beberapa oknum: “Keselamatan adalah hal yang terpenting, tetapi menyembunyikan data bukanlah cara terbaik untuk melindunginya”.
Seperti apa kontrak sosial yang baru mengenai data di Fiji? Bagaimana kita dapat menumbuhkan rasa hormat terhadap keahlian dan kemajuan yang dibawa oleh ahli statistik di Pasifik dan pemangku kepentingan data?
Vani Catanasiga, CEO perempuan pertama Dewan Kesejahteraan Sosial Fiji (FCOSS), masih ingat saat-saat ketika laporan FBS dibahas secara terbuka di seluruh negeri dengan akademisi, pakar setiap sektor, masyarakat sipil, pelaku bisnis dan pemerintah. Dia merasa keadaan saat ini sebagai suatu kesempatan yang terlewatkan untuk mengecek kembali dan menerapkan intervensi untuk komunitas yang risiko tinggi. “Tidak ada yang ingin menyerang pemerintah. Ini bukan tentang mereka. Ini tentang masyarakat,” tegas Catanasiga.
Data dan statistik sendiri tidak akan mengentaskan kemiskinan. Orang-orang, komunitas, dan pembuat kebijakanlah yang dapat mengubah ini menjadi pengetahuan dan tindakan yang bermakna. Di negara di mana data dan statistik disembunyikan, laporan disimpan, media diawasi, dan hak untuk berekspresi hampir tidak ada, publik menderita. Pada akhirnya, orang-orang yang paling rentan menanggung bebannya. (The Interpreter)
Mere Nailatikau adalah seorang pekerja pembangunan berbasis di Fiji dengan pengalaman dalam bidang diplomasi publik, penelitian dan komunikasi. Dengan latar belakang Studi Pembangunan dari Universitas Pasifik Selatan, ia sudah bekerja untuk program pembangunan di Papua Nugini, Samoa, Tonga, Kiribati, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tuvalu, dan Nauru.
Editor: Kristianto Galuwo