Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Jayapura, Jubi – You Effretin Velesitaz, bayi perempuan yang baru enam bulan, itu hanya bisa menangis siang malam, sejak Kamis, 11 Januari lalu. Kondisi fisiknya panas. Batuk. Pilek. Mencret.
Ali-ali mencari pertolongan, kedua orang tuanya yang tinggal di Enarotali membawa si Bayi Effretin ke RSUD Paniai, namun tangis itu tak kunjung berhenti. Suhu tubuhnya terus tinggi. Batuk dan pilek tak kunjung reda.
"Hari itu kami berobat jalan. Dokter kasi obat tapi sampai tiga hari, obat ini tidak menolong juga," kata Abeth You, ayah Si Bayi.
Pada Rabu (17/1), Abeth dan istrinya, Margaretha, memutuskan membawa bayi mereka ke rumah sakit di Kabupaten Nabire. Keluarga ini harus menghabiskan 7 jam melalui jalan darat, menggunakan angkutan antar kota jenis Hilux. Mereka harus membayar Rp600 ribu untuk dua orang dewasa.
"Anak ini menangis terus. Stop hanya waktu kasi minum," kisah Abeth akan putrinya yang lahir pada 19 Juli 2017.
Keesokan harinya, mereka langsung menuju Poli Umum di RSUD Nabire, dan kemudian dianjurkan ke ruang IGD untuk perawatan.
"dr. Yati Nilawati yang memeriksa anak kami kasih tahu kalau anak itu harus diinfus karena ada bakteri," ucap Abeth, mengiyakan untuk mengikuti anjuran dokter itu.
Bayi Effretin akhirnya mendapat perawatan medis. "Sekarang sudah membaik. Sembuh semua, batuk, pilek, mencret. Cuma menurut dokter masih ada sedikit bakteri, jadi mereka kasi pengasapan tadi jam 7 sore," ucap Abeth via selulernya kepada Jubi, Minggu (21/1) malam.
Abeth yakin, dalam waktu satu dua hari, Bayinya akan kembali pulang dan bermain bersama dua kakaknya di Enarotali, Paniai, meski hingga Minggu malam, Bayi Effretin masih harus "mondok" di RSUD Nabire.
Trauma
Kisah anak ketiga dari pasangan Abeth You dan Margaretha Pigai hanya ingin menggambarkan kondisi pelayanan kesehatan yang terus dipertanyakan di rumah sakit yang dikelola dengan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Paniai.
Keputusan untuk melintasi dua kabupaten lain demi kesembuhan anak, bagi Abeth, sudah tepat. RSUD Paniai meninggalkan trauma bagi Abeth.
"Awalnya saya berpikir mau rawat inap di RSUD Paniai tapi dengan melihat kondisinya, seperti stock obat tidak ada, hanya cairan infus, saya putuskan bawa turun ke Nabire,"
"Selain itu, banyak pasien anak yang datang tapi tidak kunjung sembuh seperti keponakan saya, anak dari adik perempuan, yang meninggal di RSUD Paniai. Anak itu sakitnya panas. Saya kuatir anak saya bisa bernasib sama," kenang Abeth.
Pengalaman yang memilukan juga sedang dialami keluarga besar Tekege di Enarotali.
Agus Tekege, yang merupakan pejabat pada salah satu instansi di Paniai, mengaku masih berkabung atas meninggalnya anak mereka. Ia menuding rumah sakit Paniai tidak memberikan pertolongan yang maksimal.
"Anak saya itu hanya sakit hosa, dibawa ke RS itu hanya dua malam saja meninggal. Padahal kami berharap di RS bisa tertolong," ucap Tekege, yang mengaku anaknya tidak mendapat pertolongan memadai. "Itu saya lihat pakai mata kepala sendiri. Saya kesal dengan kejadian kemarin ini," ujarnya kesal.
Salah seorang perawat di ruang inap anak di RSUD Paniai, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa rumah sakit yang menjadi rujukan subregional diwilayah Meepago tersebut sedang mengalami ketiadaan stock obat.
"Saat ini memang tidak ada obat sejak diambil alih (pengadaan obat) oleh Dinas Kesehatan. Kalau dulu, pengadaan obat dilakukan oleh manajemen RSUD sendiri," ujar perawat tersebut.
Meski belum diketahui pasti sejak kapan ketiadaan obat di RSUD Paniai terjadi, namun banyaknya masyarakat dari Enarotali dan wilayah Meepago lainnya memasuki Nabire dengan alasan berobat diungkapkan Zelly Pigai.
Zelly menuturkan, rumahnya di kota Nabire selalu ramai dihuni para kerabat yang datang dari kabupaten tetangga untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan di RSUD Nabire.
"Rumah kami di Nabire selalu berisi di atas 15 orang karena setiap yang sakit di atas (Paniai) opsinya hanya turun ke Nabire… 100 Kg beras tiap bulan rasanya tra cukup juga. Semua yang sakit dan sekolah turun ke kota," kata Zelly.
Kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit yang sedang dipersiapkan untuk menjadi RSUD tipe C dalam tahun 2018 ini agaknya harus dibenahi semua pihak, dari rumah sakit itu sendiri, pemerintah daerah, dinas kesehatan, hingga kontrol dari wakil rakyat dan kontrol sosial: masyarakat dan media. (*)