Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – “Sejarah persebaran agama Katolik dan katekis di Tanah Papua berhubungan dengan hadirnya agama Katolik di kepulauan Kei, Maluku Tenggara, menuju ke Fak-fak” kisah Dr. Bernarda Meteray, dosen dan peneliti sejarah dari Universitas Cenderawasih (Uncen) .
Dia menyampaikan itu, sebagai bagian dari materi “Sejarah Masuknya Gereja Katolik Di Papua” dalam semiloka yang digelar di Aula Gereja Kristus Terang Dunia Waena, Senin-Selasa (21-22/3/2022), terkait dengan keterlibatan para Katekis dalam Misi Gereja Katolik di Tanah di Papua, Hadirnya Gereja Katolik di Papua.
Meteray mengatakan, upaya pastor perintis gereja Katolik, Johanes Kusters SJ dan para katekis dari Kei menuju Papua mereka melalui tantangan yang berat.
“Johanes Kusters SJ. dari Belanda sebagai pastor pertama yang menginjakkan kaki di Kei, 1 September 1889 membaptis pertama 10 pemuda. Merupakan awal perkembangan agama Katolik dimulai di Kei,” katanya.
Lalu pada 12 Oktober 1892 datanglah sebuah kapal”: Camphuys” di pelabuhan Tual. Kapal tersebut membawa surat dari Mgr. A.C. Claesens, vikaris Apostolik Batavia (Jakarta). Surat dialamatkan kepada pastor Carolus van der Heyden.
“Ada pun isi surat itu pokoknya demikian: “naiklah kapal Camphuys” yang membawa surat ini. Berangkatlah ke ke Irian Barat bagian selatan. Carilah suatu tempat yang menurut pendapat pastor baik untuk didirikan stasi [wilayah].” katanya.
Penulis Buku “Nasionalisme Ganda Papua” itu mengatakan, dalam sejarah gereja katolik ada dua Pastor Tarekat Serikat Jesuit (SJ) yang menginjakkan kaki membawa injil di Tanah Papua di Fak-Fak. Pada Oktober 1889, pastor Carolus van der Hayden membawa dua pemuda Langgur Yustinus dengan Marius berlayar dengan kapal Camphuis ke Papua, menuju Selerika. Namun mereka gagal membuka stasi.
Pada 18 Mei 1892 pastor Le Cocoq d’Armandville menuju kampung Sekeru di dekat Fak-fak di Papua. Di Sekeru ada 73 anak usia 3 hingga 7 tahun dibaptis secara Katolik.
Strategi Katekis Key Menuju Papua
Meteray mengatakan, para katekis baik bujang maupun yang sudah berkeluarga, meninggalkan Kei menuju Papua menggunakan kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) atau perahu bot dari langgur menuju ke wilayah pesisir selatan Papua.
“Mereka mulai perjalanan dai langgur Key Maluku Tenggara dan singgah di Dobo, Kaimana menuju Fak-Fak, Kokonao, Babo dan Merauke. Meski melalui medan sulit dan gelombang laut pasang, mereka menaklukkan pesisir selatan untuk menyebarkan agama Katolik,” katanya.
Menariknya, sebelum meninggalkan tanah Kei, para guru/katekis mengikuti misa perutusan dalam bentuk upacara “Misa Requeim” untuk merayakan perpisahan dengan sanak saudaranya.
“Hal itu dilakukan sebab mereka tahu bahwa ketika mereka pergi ke Papua mereka tidak akan kembali lagi. Sebab wacana yang sudah terbangun di Kei, bahwa orang Papua zaman itu, ada suku tertentu yang pembunuh dan sebagainya,” katanya.
Meteray mengatakan, para katekis itu datang ke Tanah Papua tidak membawa kekayaan, atau mencari harta kekayaan atau harta berharga. Mereka datang dengan misi memanusiakan manusia.
“Para katekis dari Kei, datang berbekal Alkitab, Jubilate, Salib, Rosario dan iman yang teguh kepada Yesus, ikut perintah amanat agung menuju Papua,”katanya.
Para pastor dan katekis mulai melakukan penyebaran agama Katolik pada 1926 di daerah Mimika pada 9 Mei 1926, pastor J. Aerts dan Pastor F. Kowatzki serta dua guru Kei, di depan muara Sungai Mimika.
“Saat berkeliling desa Kokonao, Pastor Aerts melakukan pembaptisan pertama, ketika menemukan bayi yang sekarat di gendongan seorang perempuan,” katanya.
Meteray mengatakan, pada pertengahan 1927 mulai dibuka sekolah sederhana yang dikenal dengan Beschaving school (sekolah peradaban) dengan guru pertama Christianus Rettob di kampung Megowia, Distrik Kokonao.
“Kemudian disusul dengan guru-guru lainnya di beberapa tempat yang sudah ditentukan,” katanya.
Salah seorang anak perintis yang juga menyajikan materi, Piet Maturbongs mengatakan, tugas para katekis/nyor guru /katekis, antara lain membangun pondok dengan menebang pohon pohon besar dan hutan belukar serta bertanam umbi-umbian.
“(Mereka) melakukan kunjungan ke penduduk lokal dengan menggunakan bahasa isyarat sekali pun (diliputi) rasa kecurigaan terhadap para guru, mereka juga merawat /mengobati orang yang sakit dengan menggunakan obat-obat tradisional, mengurus pertikaian di kampung, memimpin ibadat tiap minggu,”katanya.
Maturbongs mengatakan, para katekis selalu mencari masyarakat untuk mengajak anak-anaknya bersekolah dan membawa anak ke sekolah atau ke asrama untuk mengikuti pendidikan.“Karena itu bagian dari tugas, sebagaimana misi mereka,”katanya.
Maturbongs mengatakan, sementara itu tugas nyora atau tugas istri guru, yakni melatih para murid. baik di sekolah mau pun di kampung kampung, seperti menjahit baju-celana, menganyam tikar, keranjang, nyiru, kamboti dan lainnya.
“Di rumah keluarga ada juga dibangun rumah tambahan untuk melatih gadis-gadis belajar masak, menjahit dan mencuci sebagai persiapan bagi mereka yang akan menikah,” katanya.
Mengutip pernyataan Droglever (2010) Maturbongs mengatakan, kehadiran orang Indonesia Iimur yang berasal dari Maluku seperti Ambon, Kei, Tanimbar serta dari Manado sebagai guru dinilai memberikan kontribusi bagi kelangsungan perkerjaan terutama pada tahap tahap awal perluasan wilayah pemerintahan dan gereja.“Kehadiran mereka ini akan memudahkan kontak dengan penduduk setempat,”katanya.
Maturbongs mengatakan, Herman Renwarin(1981), Guru-guru Kei dan Tanimbar belum memiliki pengetahuan tentang masyarakat Mimika. Mereka datang dengan bekal ilmu pendidikan guru elementer serta adanya kesadaran mengajar agama sebagai tugas yang mulia .
“Tidak mengherankan mereka ditempatkan di desa-desa dalam waktu bertahun-tahun baik sendirian maupun berserta keluarga,” katanya.
Tugas anak cucu Katekis hari ini
Maturbongs menngingatkan kepada generasi muda asal Kei, Maluku, Tanimbar agar perlu memahami dunia orang Papua.“Perlu dibangun sikap kecintaan dan keberpihakan yang nyata terhadap pemilik Tanah Papua,” katanya.
Maturbongs mengatakan, terus membangun dan memelihara kebersamaan dengan semua orang di tanah ini. “Terus mempertahankan nilai-nilai perjuangan para guru/katekis tempo dulu dalam kehidupan bersama masa kini demi membangun masyarakat di tanah Papua,” katanya.(*)
Editor: Syam Terrajana