Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Kabupaten Merauke dan Boven Digoel menjadi wilayah paling merah bagi masyarakat adat tentang hadirnya perkebunan kelapa sawit di sejumlah lokasi.”
PEKAN lalu ratusan masyarakat orang asli Papua (OAP) menghadiri diskusi bersama Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, yang didampingi dua anggotanya yakni Jhon Wob serta Albert Mouywen.
Diskusi sehari itu seputar penyelamatan manusia dan tanah Papua. Berbagai persoalan dibeberkan mulai dari dana otonomi khusus (Otsus) yang tak dinikmati orang asli Papua hingga persoalan tanah masyarakat adat yang telah dicaplok untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit.
Suasana diskusi yang berlangsung di aula Noken Sai, Hotel Asmat, sempat memanas. Satu di antara ratusan peserta, sempat berdiri dan membantingkan kursi ke lantai. Itu dilakukan setelah ketidakpuasannya dengan berbagai permasalahan yang mendera OAP, termasuk penggunaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.
Salah seorang perwakilan perempuan, Beatrix Gebze, dalam kesempatan itu meminta kepada MRP memberikan sosialisasi lanjutan terkait putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang tanah adat bukan hutan negara.
Hal tersebut perlu dilakukan karena masih banyak masyarakat tidak memahami secara baik dan benar tentang keputusan MK dimaksud.
“Kita bicara tentang masyarakat adat, tidak terlepas dari perempuan,” ujar dia.
Tanpa perempuan, tidak mungkin adanya komunitas masyarakat adat. Apa yang disampaikan ini, melihat dari kacamata sektor investasi. Karena Merauke dan Boven Digoel menjadi wilayah paling merah bagi masyarakat tentang hadirnya perkebunan kelapa sawit.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan MRP melakukan sosialisasi secara kontinyu tentang hasil putusan MK tersebut. Sehingga dapat diketahui masyarakat terutama kaum perempuan.
Hal serupa disampaikan perempuan Papua lainnya, Maria Karupat. Dia juga menyoroti tentang pemanfaatan hutan oleh investor selama 30 tahun. Para pengambil kebijakan di negara ini harus memiliki itikad baik membuat aturan jelas.
Di mana setelah 30 tahun tanah adat masyarakat dimanfaatkan oleh investor, dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu perlu aturan jelas dibuat, sehingga menjadi dasar pijak untuk dilaksanakan.
“Kalau hanya sekedar omong-omong tak ada landasan berupa dasar hukum, investor akan leluasa memanfaatnya lahan untuk kepentingan investasinya berupa kelapa sawit dan lain-lain,” katanya.
Dia meminta pemerintah tak menyalahkan masyarakat adat ketika melakukan aksi demonstrasi jika tanah adatnya dikuasai terus oleh investor untuk kepentingan pribadinya.
Maria juga menyoroti dana otonomi khusus (otsus) yang digulirkan pemerintah pusat selama ini.
“Saya heran ketika dilakukan evaluasi, justeru orang non-Papua dilibatkan. Sementara OAP tak dilibatkan sama sekali,” kritik dia.
Hendrikus Hengky Ndiken angkat bicara juga soal pemanfaatan dana otsus. Menurutnya sudah 18 tahun dana otsus digulirkan. Namun sayangnya tidak dinikmati sama sekali orang asli yang berdiam di Selatan Papua. Kehidupan mereka tak disentuh dari dana Otsus yang nilainya miliaran rupiah itu.
“Saya mencontohkan saja dalam wilayah Kota Merauke, masih banyak rumah milik OAP tidak layak sama sekali. Kondisi perumahan mereka sangat memprihatinkan,” katanya.
Selama dua periode menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke, dirinya terus berteriak agar dana Otsus disalurkan kepada OAP untuk menopang kehidupannya. Hanya saja tak digubris Pemkab Merauke.
“Tiap tahun dana otsus Rp130 miliar digelontorkan untuk Kabupaten Merauke. Tetapi tak ada manfaat didapatkan OAP. Ini menjadi suatu catatan serius bagi MRP agar segera dilakukan evaluasi, karena hanya tersisa beberapa tahun kedepan otsus berakhir,” ungkapnya.
Perwakilan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke, Albinus Gebze, menegaskan selama ini pemerintah tidak memfasilitasi sekaligus memberikan penguatan terhadap LMA. Sehingga pertahanan kearifan masyarakat lokal Marind jebol.
Sejak tahun 2001, dana Otsus digulirkan dan 2 persen diperuntukan bagi masyarakat adat, tetapi realisasinya hingga sekarang tidak ada sama sekali.
Perwakilan mahasiswa, Lambertus A, menambahkan kebijakan pemerintah untuk penjabaran dana otsus tidak dilaksanakan sungguh-sungguh, terutama dalam bidang pendidikan.
“Anak-anak asli Papua tidak disekolahkan ke luar dengan menggunakan dana Otsus. Berulang kali kami bersuara bahkan melakukan aksi demonstrasi, tetapi terkesan dianggap angin lalu,” tegasnya.
Dalam kenyataan, dana otsus untuk bidang pendidikan lebih banyak dimanfaatkan mengirim anak-anak non-Papua kuliah di luar daerah.
“Pertanyaan saya, apakah dana otsus untuk orang non-Papua,” katanya.
Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan khusus berkaitan dengan putusan MK terkait tanah adat bukan hutan negara, pihaknya berjanji terus melakukan sosialisasi secara kontinu. Karena selain putusan MK juga adanya Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2015 tentang deklarasi penyelamatan hutan yang ditandatangani Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyo
“Saya mengakui kurang adanya sosialisasi dilakukan dan ini kelemahan MRP juga. Mulai tahun depan akan dilakukan sosialisasi secara kontinu kepada segenap masyarakat asli Papua,” ucapnya.
Khusus berkaitan dengan dana Otus, diakuinya menjadi sorotan secara umum oleh orang asli Papua. Karena pemanfaatanya tidak tepat sasaran.
“Dari waktu ke waktu kami terus berteriak kepada pemerintah agar dana Otsus disalurkan atau diberikan kepada OAP. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sekaligus menopang kehidupan keluarganya,” kata dia. (*)
Editor: Yuliana Lantipo