DAP nilai penyelesaian konflik antarwarga di Jayawijaya bukan sekadar bayar ganti rugi

Upaya perdamaian dari tiga bupati yakni Jayawijaya, Nduga, dan Lanny Jaya terhadap kelompok yang bertikai dengan memberikan kompensasi. -Jubi/Islami

Papua No.1 News Portal | Jubi

Wamena, Jubi – Bentrok dua kelompok warga yang terjadi sejak 8-9 Januari 2022 di Kampung Wouma, Jayawijaya, tak luput dari perhatian Dewan Adat Papua (DAP) yang menyesali adanya kejadian itu sehingga menimbulkan korban.

Ketua DAP versi Musyawarah Luar Biasa, Dominikus Sorabut menilai pengendalian pascakonflik penting mengambil langkah perdamaian dan rekonsiliasi, yang melibatkan dua kelompok warga baik Nduga maupun Lanny yang berseteru, dengan Suku Hubula sebagai korban dari konflik ini.

Read More

Menurutnya, proses ini tidak berhenti pada proses atau penyelesaian dengan membayar dan ganti kerugian, tetapi yang terpenting rekonsiliasi demi persatuan untuk menciptakan Wamena sebagai rumah bersama.

“Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku, sering kali dilihat dari suatu tindakan yang negatif, kriminalitas yang bertentangan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan,” kata Domi Sorabut kepada wartawan di Wamena, Kamis (13/1/2022).

Hingga kini, kata dia, kepercayaan bahwa perang antarwarga akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi disertai upacara bakar batu, namun pola penanganan semacan ini punya dua kelemahan yang mendasar.

Pertama, pola penanganan semacan ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif untuk satu kasus, ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali.

“Meskipun perdamaian secara adat telah dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi,” katanya.

Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial.

Kelemahan itu akan memunculkan dampak secara ekonomi, sebab perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit, dan biaya pembayaran ganti rugi serta upacara bakar batu bisa mencapai ratusan juta rupiah bahkan miliaran.

“Konflik yang baru terjadi ini menjadi pelajaran penting untuk kita semua, menciptakaan kehidupan dan kebersamaan yang permanen, bukan temporer sebagai batu loncatan kepentingan sosial budaya dan ekonomi politik. Sebab dari pengalaman kita hidup setelah menerima peradaban modern di Wamena, konflik kekerasan di Lembah Balim (Wamena) ini terus terjadi dan terpelihara sampai sekarang,” katanya.

Sebelumnya, upaya perdamaian telah dilakukan Bupati Jayawijaya, Lanny Jaya, dan Nduga terhadap dua kelompok warga yang bertikai, dengan memberikan kompensasi atau sumbangan agar perang diakhiri.

Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom menyebut dalam ranah budaya membayar denda atau dengan istilah “bayar kepala” bukanlah ranah pemerintah daerah, di mana hal itu lebih kepada pelaku dan korban, sebab bukan kapasitas pemeritah untuk membayar.

“Sebagai pemimpin, meminta masyarakat untuk berdamai dan mereka mendengar. Maka untuk menyelesaikan permasalahan dan secara menyeluruh, kita memberikan semacam kompensasi untuk selesaikan semua masalah ini,” katanya. (*)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply