Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yermias Degei
Desa global adalah pemikiran mengenai perkembangan teknologi komunikasi, di mana dunia dianalogikan sebagai sebuah desa. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang ilmuwan komunikasi dan kritikus asal Kanada, Herbert Marshall McLuhan. Ia populer karena konsepnya tentang desa global, teori medium adalah pesan dan prediksinya tentang World Wide Web (www) pada tahun 1960-an.
McLuhan menggambarkan, suatu masa nanti, melalui teknologi komunikasi elektronik, bumi akan menjadi seperti sebuah desa. Informasi akan terbuka dan tersedia di mana saja dan kapan saja, sehingga dapat diakses oleh semua orang di mana saja dan kapan pun.
Pemikiran McLuhan banyak dipengaruhi oleh mentornya, ekonom berkebangsaan Kanada, Harold Adams Innis (1951). Tetapi, tidak seperti Harold Adam Innis, Marshall McLuhan tidak memusingkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kendali atas desa ini dan atau anggota desa mana yang harus dieksploitasi. Bagi McLuhan, pertanyaan- pertanyaan tersebut tidak penting. Ia lebih mementingkan dampak desa global (perkembangan teknologi komunikasi) terhadap indra kita dan ke mana pengaruh ini akan membawa kita.
McLuhan meramalkan bahwa kehidupan manusia akan ditentukan oleh teknologi dan sekaligus memperingatkan efek negatif dari intenet di era elektronik akan lebih seperti zaman kekacauan daripada zaman keemasan. McLuhan mengatakan, “Ketika orang-orang saling berdekatan, mereka menjadi semakin biadab, dan tidak sabar satu sama lain. Desa global adalah tempat berkomunikasi antarmuka yang sangat menyulitkan karena situasinya yang sangat kompleks.”
McLuhan berpandangan bahwa kekuatan media massa begitu dominan sehingga mampu mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Akan tetapi, Jonathan Miller (1971) menggugat McLuhan. Miller berpendapat bahwa manusia dan seluruh kediriannya yang menentukan perubahan semacam apa yang dikehendakinya dan bukan ditentukan oleh teknologi atau media komunikasi yang berada di luar dirinya.
Tulisan ini tidak memusingkan siapa kendali dan bagaimana eksploitasi atas anggota desa global (Papua) saat ini dan masa depan, sebagaimana pandangan Harold Adams Innis. Tetapi, lebih fokus pada apa yang dikatakan oleh Marshall McLuhan tentang dampak desa global terhadap indra orang Papua dan pendapat Miller bahwa manusialah yang menentukan perubahan semacam apa yang dikehendaki dalam desa global.
Orang Papua warga desa global
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, orang Papua kini “terlompat” menjadi anggota masyarakat desa global. Waktu untuk sampai ke sini, sejak kontak pertama orang Papua dengan dunia luar, sangat singkat. Dalam buku “Mengindonesiakan Indonesia” karya Harry Kawilarang menjelaskan, kontak pemerintah dan agama dengan orang Papua baru terjadi pada abad-19 (Pemerintah Belanda 1828, Gereja Protestan 1855, Gereja Katolik 1892 di Selatan Papua dan Gereja Katolik Pegunungan 1932).
Itu artinya, orang Papua ketinggalan beberapa fase peradaban jika dilihat dari era sejarah manusia yang dikemukakan oleh McLuhan, yaitu era kesukuan (tribal), tulisan (literal), cetak (print), dan elektronik. Atau dilihat dari 12 tahapan perkembangan teknologi informasi, sebagaimana dikemukakan oleh Sayling Wen, mulai dari kertas ditemukan di Cina pada 2.000 tahun Sebelum Masehi hingga internet (produk dan penemuan dari budaya barat).
Jadi, orang Papua yang berada pada era kesukuan, tiba-tiba dihadapkan pada era elektronik, era teknologi informasi. Keadaan ini tentu mengakibatkan terjadinya apa yang disebut oleh Huntington (1993) dengan “benturan peradaban”.
Orang Papua tidak hanya berhadapan dengan orang baru yang berbeda sejarah, bahasa, budaya, tradisi, pengetahuan, keterampilan dan agama, tetapi telah dihadapkan pada fase industri, bahkan lebih cepat pada fase teknologi komunikasi dan informasi (desa global) jika mengacu pada buku “Future Shock” karya Alvin Toffler (1970).
Orang Papua telah mengalami pen-global-an dalam anggota informasi, sejak kemunculan internet di Indonesia pada pertengahan 1990-an, terutama setelah tahun 2010 ke sini. Lewat internet dan televisi (teknologi komunikasi dan informasi) orang Papua mengetahui apa yang sedang terjadi di Jakarta, begitu juga penduduk Jakarta dapat melihat apa yang sedang terjadi di Papua.
Kini, dalam 15 tahun terakhir, dengan perkembangan teknologi komunikasi informasi (kemunculan media sosial) yang lebih kencang lagi membuat orang Papua yang berjauhan dapat saling berkomunikasi lebih dekat dan lebih pribadi, misalnya masyarakat di daerah terisolir seperti Dogiyai bisa berbicara dengan anaknya di Jawa atau di Amerika dengan saling bertatap muka sambil bekerja di kebun. Anaknya dapat menyaksikan orang tuanya bekerja di kebun.
Mahasiswa Papua yang kuliah di seluruh dunia dapat bersatu dalam sebuah grup facebook dan bisa saling berkomunikasi, bisa melakukan rapat dengan menggunakan aplikasi zoom (zoom meeting) dengan saling melihat muka.
Kelompok ini dan kelompok itu ramai-ramai membuat grup facebook, dalam grup whatsapp dan mereka bisa membagi foto, video, dan rekaman suara. Masyarakat dari kampung Yahukimo misalnya, dapat merekam/memfoto sebuah kejadian dan segera membagikannya kepada orang lain di belahan dunia mana pun lewat media social, dan dalam hitungan detik ribuan orang melihatnya.
Orang-orang di pelosok Papua yang telah terhubung dengan internet dapat menyaksikan peristiwa yang terjadi di Amerika secara langsung di TV atau melalui jaringan media sosial. Sebaliknya, apa yang terjadi di Papua bisa disiarkan langsung ke dunia luar. Orang Papua juga kini bisa mengonsumsi informasi apa saja, termasuk berita dari berbagai media, dan satu peristiwa bisa dibaca sesuai dengan perspektif yang berbeda di berbagai media.
Itu artinya, orang Papua telah menjadi warga desa global dan telah terjadi apa yang dikatakan oleh McLuhan bahwa pada masa desa global, informasi dan komunikasi akan sangat terbuka, tidak hanya informasi dan komunikasi saja akan sangat terbuka tetapi peran media massa dalam mentransformasi pesan sangat terbuka. Hal itu telah terjadi saat ini.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana desa global ini sedang dan akan berpengaruh pada indra orang Papua dan ke mana orang Papua akan dibawa oleh perkembangan teknologi komunikasi informasi?
Hakikat teknologi komunikasi informasi dan media massa
Hakikatnya, teknologi komunikasi informasi untuk mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan informasi dan berkomunikasi. Teknologi informasi diciptakan untuk mendukung dan meningkatkan kualitas informasi secara mudah dan cepat (internet, televisi, radio dan lain sebagainya). Kemudian, teknologi komunikasi gunanya untuk berkomunikasi dan mengirimkan informasi dengan cepat, sehingga dapat memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari (telepon, email, smartphone dan lain sebagainya).
Telepon dipakai sebagai perpanjangan dari indra mulut untuk berkomunikasi. Televisi adalah perpanjangan indra mata untuk melihat, dan seterusnya. Saat ini, kemampuan dan perpanjangan semua indra itu terkumpul pada satu alat teknologi, smartphone yang mampu digunakan untuk berbicara, melihat dan sebagainya.
Hakikatnya, media massa mempunyai peran sebagai sarana kontrol sosial dan pemeliharaan tata tertib masyarakat, sebagaimana merupakan pendapat Innis dan McLuhan. Fungsi media selain memberikan hiburan berupa tayangan atau informasi-informasi ringan juga memiliki fungsi membius (merusak sistem sosial). Jika melihat kedua fungsi media ini, maka media massa ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi masyarakat membutuhkan hiburan dan informasi dari media, tetapi di sisi lain, informasi, pesan, atau tayangan yang disampaikan dapat berefek negatif pada masyarakat.
Media massa juga berfungsi meyakinkan khalayak dalam banyak bentuk: (1) mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang; (2) mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; (3) menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu; dan (4) memperkenalkan etika, atau menawarkan sistem nilai tertentu.
Kemudian, salah satu fungsi media massa yang tidak banyak orang sadari adalah kemampuannya membuat kita merasa menjadi anggota suatu kelompok tertentu atau bagian dari kelompok tertentu.
Sementara itu, hakikat situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, whatsapp, plurk, youtube antara lain adalah mempermudah komunikasi, mempermudah dalam menjalin kemitraan dan jaringan, untuk meningkatkan traffic website, mempermudah mendapatkan promosi bisnis, timbal balik dari pelanggan dalam dunia bisnis, dan sebagainya.
Dampak desa global pada orang Papua: Ini yang sedang terjadi
Perkembangan teknologi komunikasi informasi (media massa dan media sosial) begitu kuat dan hebat dalam mempengaruhi orang Papua saat ini. Orang Papua, terutama generasi muda, begitu tergantung pada teknologi komunikasi dan informasi, hingga sampai ke urusan hidup sehari-hari. Perkembangan teknologi komunikasi informasi, seakan telah menjadi faktor penentu kehidupan orang Papua.
Efek yang ditimbulkan oleh teknologi komunikasi informasi itu sangat nyata dan jelas di saat ini bagi orang Papua, baik dampak postif dan dampak negatif.
Sejumlah dampak positif yang bisa kita amati. Pertama, informasi dapat menyebar secara luas dengan lebih cepat, misalnya, kondisi gizi buruk, atau kejadian tertentu di pedalaman Papua menyebar luas dan dapat menimbulkan persepsi yang sama terhadap pemberitaan media massa, yaitu sedih, iba, berhasrat menolong, dan sebagainya. Peristiwa yang terjadi di pedalaman Papua bisa disampaikan lebih cepat kepada publik melalui media massa dan media sosial;
Kedua, efektivitas dan efisiensi bekerja meningkat. Artinya, dengan adanya media massa, pemerintah tidak perlu lagi mengumpulkan dan mengadakan pertemuan besar dengan rakyatnya yang jelas akan menguras banyak waktu dan biaya. Cukup disampaikan melalui media massa dan sebagainya;
Ketiga, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi masyarakat tentang hal-hal praktis, untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan mereka, seperti cara melakukan sesuatu atau pemahaman tentang sesuatu yang kurang mereka ketahui.
Kemudian, situs jejaring media sosial memiliki sejumlah dampak positif, yakni mudah terhubung dengan teman lama, mempermudah komunikasi, menambah teman baru, sebagai sarana jual-beli, menambah wawasan, dapat mencari solusi dari permasalahan yang di hadapi, sebagai tempat bertukar informasi, untuk meningkatkan traffic website, dan sebagainya.
Pada saat yang sama, teknologi komunikasi informasi (media massa dan media sosial) telah berefek negatif terhadap orang Papua saat ini.
Pertama, menjamurnya situs berita di Papua yang tidak kredibel dan menampilkan hal-hal yang tidak pantas. Dalam beberapa tahun terakhir ini, situs berita di Papua berkembang sangat pesat, menjamur seperti jamur di musim hujan. Tetapi diragukan independensi dan partisan. Padahal, independensi adalah nyawa bagi media. Namun hal ini tidak tampak pada kebanyakan media massa online di Papua;
Kedua, tidak banyak media yang merawat dan meningkatkan kualitas media. Banyak media terkesan asal tulis berita, keterampilan menulis dan menggali informasi dari wartawan tidak diasah (tidak ada pelatihan internal dan eksternal), sehingga berita bertebaran tanpa verfikasi, bahkan berita tidak jelas dan copy paste yang meresahkan warga dijumpai berbagai media massa.
Misalnya, pada kasus-kasus khusus seperti penembakan di Papua dapat menyebar cepat, tetapi terkadang tanpa verifikasi mendalam, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda;
Ketiga, banyak media di Papua tidak jelas siapa pengelola medianya, tidak jelas siapa wartawannya, tidak ada boks redaksinya, tidak jelas di mana kantor redaksinya, dan berita yang dimuat kadang tidak jelas sumbernya. Jika pun ada sumbernya, kadang-kadang hanya satu sumber, dan itu pun kadang tidak kapabel dan kredibel;
Keempat, kondisi semacam ini berefek pada pengetahuan dan pemahaman yang keliru; berefek pada perubahan sikap yang merusak; dan bahkan berefek pada tindakan yang buruk (baca efek kognitif, efektif dan behavioral).
Sementara itu, perkembangan media sosial juga telah berdampak negative, mulai dari ketergantungan, anti sosial (tidak peduli dengan orang lain), lupa waktu (lupa ibadah, lupa belajar, lupa bekerja), ekploitasi manusia dan merusak moral (video dan foto telanjang bertebaran di facebook dan twitter), generasi muda Papua mulai tidak tertarik membaca teks panjang dan malas berdiskusi, tercipta budaya instan. Tercipta kecanduan internet, gelisah jika tidak ada data, seakan-akan tidak dapat hidup tanpa internet, setiap sekian menit membuka media sosial untuk sekadar like atau komentar status orang atau melihat komentar orang pada statusnya, orang yang semakin eksis di dunia maya dibandingkan dunia nyata, dan masih banyak hal lainnya.
Apa yang perlu dilakukan?
Beberapa peneliti menyatakan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi akan membawa kehancuran sendiri pada manusia itu sendiri. Beberapa lagi menyatakan bahwa itu tidak akan terjadi selama manusia dapat mengontrol teknologi informasi itu sendiri. Apa yang orang Papua lakukan sekarang?
Pertama, gerakan literasi digital. Variabel yang turut mempengaruhi proses penerimaan pesan, yaitu tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kebutuhan dan sistem nilai yang dianut masyarakat. Jadi, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan, semakin selektif pula dalam menyeleksi pesan yang ditimbulkan oleh media. Hal penting atau utama yang harus dilakukan adalah gerakan literasi digital di sekolah, keluarga, dan masyarakat secara umum.
Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Eti Sumiati dan Wijonarko (2020) menjelaskan bahwa literasi digital telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Manfaat tersebut, di antaranya, kegiatan mencari dan memahami informasi dapat menambah wawasan individu; meningkatkan kemampuan individu untuk lebih kritis dalam berpikir serta memahami informasi; menambah penguasaan ‘kosa kata’ individu, dari berbagai informasi yang dibaca; meningkatkan kemampuan verbal individu; literasi digital dapat meningkatkan daya fokus serta konsentrasi individu; serta menambah kemampuan individu dalam membaca, merangkai kalimat serta menulis informasi.
Literasi digital setidaknya memiliki dua tantangan yang harus dihadapi. Tantangan paling kuat dari literasi digital adalah arus informasi yang banyak. Artinya masyarakat terlalu banyak menerima informasi di saat yang bersamaan. Dalam hal inilah literasi digital berperan, yakni untuk mencari, menemukan, memilah serta memahami informasi yang benar dan tepat.
Kemudian, tantangan kedua adalah konten negatif juga menjadi salah satu tantangan era literasi digital. Contohnya konten pornografi, isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan lain-lain. Kemampuan individu dalam mengakses internet, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, harus dibarengi dengan literasi digital, sehingga individu bisa mengetahui, mana konten yang positif dan bermafaat, serta mana konten negatif atau tidak bermanfaat.
Di mana dan bagaimana literasi digital dilakukan? Literasi digital bisa diterapkan di mana saja, yakni di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah ataupun lingkungan masyarakat;
Kedua, selain melalui gerakan literasi, masyarakat Papualah yang merupakan faktor utama dalam menyaring informasi dari media massa dan media sosial. Masyarakat dalam hal ini harus cerdas dan kritis terhadap semua informasi yang disampaikan oleh media massa.
Tidak semua informasi diserap dan dijadikan referensi secara otomatis. Karena pesan yang disampaikan oleh media massa juga banyak dipengaruhi berbagai hal, mulai keuntungan finansial, pesan sponsor, maupun kepentingan pemilik modal. Apalagi informasi-informasi yang bertebaran di media sosial yang banyak tidak melalui verifikasi;
Ketiga, media massa itu sendiri. Seharusnya media massa memiliki tanggung jawab moral dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Tanggung jawab tersebut direalisasikan melalui program-program yang mendidik dan mencerdaskan, bukan sebaliknya.
Pemilihan dan penulisan berita hendaknya tidak didasari oleh pertimbangan keuntungan semata, atau kepentingan tertentu. Karena bagaimanapun, tidak semua masyarakat memiliki kecerdasan dan daya kritis yang tinggi terhadap pesan yang disampaikan oleh media massa;
Keempat, kontrol pemerintah, walaupun hal ini akan semakin sulit. Pemerintah dalam hal ini melalui lembaga-lembaga terkait dapat melakukan kontrol terhadap media massa yang ada di Papua. Kontrol dalam arti, melakukan pengawasan secara intens dan cermat tanpa menghambat independensi atau kreativitas media. Kontrol dari pemerintah diperlukan agar pesan-pesan yang menyimpang dari norma dan nilai atau merusak tatanan kehidupan masyarakat dapat diantisipasi melalui regulasi. (*)
Penulis adalah mahasiswa program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana Jakarta
Editor: Timoteus Marten