Papua No.1 News Portal | Jubi
Yogyakarta, Jubi – Dalam “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama”, laporan pelanggaran HAM di Biak yang disusun lembaga gereja di Papua dan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Irian Jaya, 10 Juli 1999, disebutkan cukup detail kronologi kejadian peristiwa Biak Berdarah.
Bendera Bintang Kejora diketahui mulai berkibar di atas menara air, dekat pelabuhan Biak pada 2 Juli 1998, sekitar pukul 04.30 WIT. Setelah diberitahu saudaranya, Filep Karma segera menuju lokasi. Di sana dia berbincang-bincang dengan seorang warga kelurahan Waupnor.
Sang Bintang Pagi berkibar dikipas angin laut di ketinggian 35 meter. Warga mulai datang. Puluhan, ratusan hingga diperkirakan ribu orang. Mulanya mereka hanya melihat dari kejauhan. Filep lalu mengajak mereka mendekat. Massa yang menyemut datang dari Biak Barat, Utara,Timur dan Supiori. Pukul 06.30 pagi, Filep mulai buka pidato:
“Atas berkat anugerah dan kasih Tuhan, maka Papua Barat telah merdeka 1 Desember 1961. Hanya kemerdekaan itu ditindas oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kemerdekaan Papua Barat semata-mata karena kasih karunia Tuhan, bukan karena jasa siapa pun atau manusia. Dan kemerdekaan itu kita minta kepada Tuhan. Dasar perjuangan Papua Barat atau perjuangan ini adalah hukum utama dalam Alkitab,yaitu kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu jiwamu dan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Baca Juga: Damai koyak di bawah menara air Biak
Oleh karena itu kemerdekaan Papua Barat tidak boleh dinodai dengan pertumpahan darah. Karena Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi sesama kita.Contoh, siapa yang dimaksud dengan sesama kita? Sesama kita adalah orang Jawa, Makassar, Manado, termasuk juga orang orang Papua Barat yang berlaku seperti Yudas adalah saudara kita. Seperti bapak polisi di depan saya ini, yang bernama Sersan Mayor, Yohanis Sule. Ini adalah sesama saya, meskipun dia orang Toraja dengan seragam polisi tetapi saya tidak membenci dia dan saya harus mengasihi dia. Dan saudara saudara lihat karena saya tidak bersenjata, maka saudara polisi ini tidak menangkap dan menembak saya. Dan perjuangan ini berjalan secara damai.Kalau kita menuntut hak asasi kita, kita juga harus menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Ini baru perjuangan yang benar.
Mengimbau kepada masyarakat untuk mempertahankan bendera dengan hanya bersenjatakan Alkitab dan nyanyian rohani. Karena hukum di Indonesia menyatakan bahwa petugas keamanan atau polisi boleh mengeluarkan tembakan kalau nyawanya terancam. Jadi kalau kita hanya bersenjatakan Alkitab, dan nyanyian rohani, tentu polisi tidak menembak kita.”
Pukul 08.00 pagi, Bupati Biak Numfor, Amandus Mansnembra, bersama komandan Korem 173 Biak, Kolonel Agus serta Kapolres Letkol Johny Rory dan ketua Pengadilan Negeri, Sianipar datang membujuk Karma supaya melucuti sang Bintang Pagi. Tapi pria itu menolak. Ibu Karma lalu diundang, bahkan Ayahandanya yang kala itu tengah dirawat di RSUD turut didatangkan. Filep bergeming.
Ujungnya kita semua tahu, setelah empat hari mempertahankan bendera Bintang Kejora, militer bertindak babi buta. Korban berjatuhan. Tewas dibedil atau luka-luka dapat siksa. Tak terkecuali Filep Karma. Kedua kakinya dililit ikat pinggang. Dia diseret di atas batu oleh dua tentara. Tubuhnya diangkat lalu diayun ke dalam mobil boks. Ia mengira badannya akan mencium lantai mobil. Ternyata tidak. Dia mendarat di atas tumpukan manusia yang merintih dan sebagian tak bergerak-entah karena mati atau pingsan. Pintu boks ditutup. Gelap. Filep pingsan karena tendangan, injakan, dan benturan di kepala. Ia hanya sanggup menghitung sepuluh hantaman, selebihnya pasrah bila harus mati. Begitu ditulis Adi Briantika dalam “Biak Berdarah 6 Juli 1998: Jalan Damai Berbuntut Kematian”, di laman Tirto.id, 7 Juli 2020.
Eben Kirksey, seorang antropolog Amerika yang kebetulan berada di Biak pada hari tragedi itu, melaporkan Filep Karma ditembak di kedua kakinya tetapi selamat. Dia mencatat kesaksian dari para saksi mata; sejumlah truk penuh tubuh-tubuh sekarat mau pun mati. Dikutip dari laman papuansbehindbars.org, para peneliti lokal melaporkan sebanyak 139 mayat telah dimuat ke dalam dua kapal milik angkatan laut dan dibuang di laut. 32 mayat ditemukan terdampar di sepanjang pantai.
Andreas Harsono, konsultan Human Rights Watch mencatat dari 150 orang yang ditangkap hari itu, 19 diantaranya diproses di pengadilan, termasuk Filep Karma. Pada 25 Januari 1999, Karma dihukum enam setengah tahun penjara. Ia banding dan bebas setelah menghabiskan 18 bulan dalam tahanan. Ia dikenai tuntutan Makar menurut pasal 106 dari KUHP Indonesia.
Pantang takut, Pada 1 Desember 2004, hari yang diingat bangsa Papua sebagai hari kemerdekaan, Karma lagi-lagi ditangkap karena mengorganisir pengibaran bendera. Filep Karma dan Yusak Pakage dinyatakan bersalah atas tindakan makar. Hukuman untuk Filep Karma adalah 15 tahun. Hakim ketuk palu vonis pada 26 Mei 2005. Pada 19 November 2015, Karma dipaksa bebas lewat remisi dasawarsa. Padahal dia sudah menolak grasi atau remisi berkali-kali, karena dia yakin tidak bersalah.
“Sekian lama rakyat Papua hidup dicekam ketakutan. Mereka tak berani berekspresi apa yang jadi aspirasinya. Pada 1960an sampai mendekati 1980an, Biak itu daerah operasi militer. Banyak pembantaian terhadap masyarakat di kampung-kampung Biak: penangkapan, penculikan dan penghilangan paksa. Banyak orang jadi korban penculikan, pembunuhan semena-mena. Ibu-ibu maupun anak gadis remaja yang jadi korban perkosaan,” urai Karma menjelaskan latar aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora di Biak, sebagaimana dikutip dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme Indonesia di Tanah Papua,” (2014).
Tujuannya satu: menyatakan pada dunia bahwa bangsa Papua ingin merdeka! (*)
Editor: Angela Flassy