Papua No.1 News Portal | Jubi
Berjiwa mardika. Berdiri lantang di antara dua raksasa perang dingin.
Pria itu berbicara pada forum terhormat di jantung Amerika yang sibuk, New York, 8 Maret 1960. Panjang lebar dia urai, bagaimana negara-negara yang baru merdeka akan memperoleh manfaat dari dana khusus PBB yang dirancangnya. Forum itu bernama mentereng; Economic Club. Ini organisasi nonpartisan yang suka membahas isu sosial ekonomi dan politik.
Dia itu punya nama rumit dieja; Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjöld.
Pada tahun itu, dia sudah jadi Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); Ia telah merancang suatu proyek yang dinamakan OPEX; menempatkan pejabat PBB di negara-negara yang baru merdeka, selama jangka waktu maksimal 6 tahun.
Hammarskjöld sudah menerapkan program itu di Afrika. Pada 1961, ia berencana memasukkan Papua sebagai salah satu negara-negara yang dimaksud sebagai bangsa Papua. Sebuah program yang sangat berani pada masa perang dingin.
Dikutip dari laman resmi PBB (un.org) Hammarskjöld lahir Jonkoping di Swedia, 29 Juli 1905. Ayahnya, Hjalmar Hammarskjöld, adalah Perdana Menteri Swedia selama Perang Dunia I. Pada 1925, ia menyelesaikan studi Linguistik, Sastra dan Sejarah di Universitas Uppsala, Swedia. Ia melanjutkan studinya di universitas hingga menggondol gelar Bachelor of Laws pada 1930.
Tiga tahun berikutnya, 1933, ia meraih gelar doktor dari Universitas Stockholm, dimana ia mengajar dan jadi Asisten Profesor Ekonomi Politik.
Sejak mula, Hammarskjöld menyatakan dirinya sebagai sosok independen. Dia tidak pernah bergabung dengan partai politik mana pun. Dia mengabdi kepada Pemerintah Swedia. Kurun 1941-1948, ia menjabat Ketua Dewan Bank Nasional. Pada 20 Desember 1954, ia jadi anggota Akademi Swedia – badan yang memberikan Hadiah Nobel Sastra, dimana ayahnya juga pernah menjadi anggotanya.
Hammarskjöld lantas ditunjuk sebagai Sekjen PBB oleh Majelis Umum pada 7 April 1953, atas rekomendasi Dewan Keamanan. Dia mendapat suara bulat,karena dianggap paling independen. Dia bahkan terpilih lagi pada jabatan yang sama pada September 1957.
Lewat program OPEX, Hammarskjöld bermaksud menyudahi sengketa Papua secara damai. Orang Papua akan diberi kemerdekaan dengan menyisihkan kepentingan Belanda dan Indonesia, yang bertikai memperebut besar pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland itu.
Saat itu, masih ada 88 wilayah di bawah pemerintahan kolonial yang menunggu jadi negara merdeka. Hammarskjöld telah berhasil membawa separuh dari negara-negara itu menuju kemerdekaan.
Baca juga:Herman Wayoi, Wakil Ketua DPR GR Irian Barat, pimpin demo Pepera 1969
Kamerun misalnya, dengan luas lahan yang sama dengan Papua, dulunya berada di bawah pemerintahan Perancis dan Inggris. Pada Maret 1961 rakyat Kamerun melakukan voting di bawah naungan PBB. Mereka yang berasal dari Kamerun Utara memutuskan untuk memperoleh kemerdekaan, bergabung dengan Republik Kamerun.
“Ia akan mengubah PBB menjadi kekuatan dunia yang penting dan menciptakan sebuah bangsa besar untuk menjadi penyeimbang bagi mereka yang terlibat perang dingin,” tulis Greg Poulgrain, Indonesianis dari Universitas Sunshine Coast, Brisbane, Australia pada bukunya yang bikin heboh, “bayang-bayang intervensi; perang siasat John F.Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno” (2018).
Dalam kasus Papua, Hammarskjöld hendak menyatakan tuntutan atas kedaulatan Papua, baik yang diklaim oleh Belanda dan Indonesia adalah tidak sah. Ia mengusulkan untuk membantu rakyat Papua lewat peran PBB.
Hammarskjöld membuat solusi bagi rakyat Papua agar mampu bertahan dari tekanan perang dingin. Sikap Hammarskjöld itu, tentu tidak disenangi blok barat dan timur. Tapi sesuai wataknya, ia tak pernah gentar. Tapi niat baiknya untuk Papua itu dibikin kandas pada Minggu dinihari, 17 November 1961. Pesawat PBB yang membawanya bersama 15 orang lainnya, jatuh ketika hendak mendekati landasan Ndola di Rhodesia (Zambia). Seluruh penumpang dinyatakan tewas. Murni kecelakaan atau konspirasi pembunuhan? (bersambung).
Editor:Angela Flassy