Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Ishani Kaluthotage
Papua Nugini adalah salah satu tempat yang paling berisiko di dunia bagi ibu melahirkan.
Banyak perempuan, muda dan tua, harus berjalan berpuluhan kilometer selama berhari-hari saat hamil besar untuk bisa sampai dan menggunakan fasilitas kesehatan. Baru sepuluh tahun yang lalu, perempuan di daerah pedesaan hanya mengunjungi sebuah klinik sebagai tempat ‘untuk meninggal dunia’, bukan untuk melahirkan bayi. Stigma yang beredar dan melek-kesehatan yang minim menambah kecemasan itu – negara itu masih merupakan hotspot untuk kelas penyakit Tuberkulosis (TB) yang paling resistan terhadap obat di dunia, jumlah kasus malaria yang mengkhawatirkan, dan wabah polio baru-baru ini. Bahkan saat ini, untuk setiap 100.000 kelahiran hidup di negara itu, 215 perempuan meninggal akibat komplikasi saat persalinan.
Sekarang, beban ini ditambah dengan risiko pandemi Covid-19.
Sistem kesehatan di PNG juga seharusnya khawatir akan angka kematian akibat dampak tidak langsung dari pandemi virus Corona itu sendiri. Kepercayaan dan informasi yang salah terkait dengan Covid-19 hanya akan mempersulit orang-orang PNG yang berusaha untuk mengikuti proses persalinan yang dibantu dan diawasi oleh tenaga ahli dan aman. Populasi PNG lebih lebih dari 8 Juta jiwa, sayangnya negara itu menghadapi tantangan kesehatan yang beragam, sama seperti 800 ragam bahasa berbeda di negara itu. Angka imunisasi yang rendah, dan karena orang-orang takut akan Covid-19, perempuan PNG akan kembali melahirkan bayi di hutan-hutan, seringkali sendirian tanpa pengawasan dan bantuan tenaga kesehatan.
Studi epidemi mengenai Ebola di Sierra Leone mengungkapkan ada kenaikan 34% untuk Angka Kematian Ibu (AKI) di klinik-klinik kesehatan selama wabah itu menyerang, itu belum termasuk angka di luar fasilitas kesehatan. Hal itu terjadi akibat tekanan akibat wabah itu pada atas pengadaan pasokan medis dan transportasi obat-obatan dan peralatan kesehatan di dalam negeri. PNG menghadapi risiko yang sama jika Covid-19 juga menambah beban pada sistem kesehatan yang sudah rapuh. Peralatan kesehatan yang relatif sederhana, seperti obat-obatan, kain kasa, atau infus dapat mencegah seorang ibu yang mengalami pendarahan dari meninggal dunia, tetapi semua ini tergantung pada peralatan yang tersedia di klinik kesehatan di daerah-daerah terpencil.
Selang era pra-Covid, TB telah ditakuti sebagai penyakit pembunuh terbesar di dunia, merenggut lebih dari 4.000 jiwa setiap hari di seluruh dunia. Di tengah pandemi virus Corona, kita tidak boleh lupa bahwa TB masih merupakan penyakit pembunuh utama, dan kelas penyakit TB yang paling resistan terhadap obat yaitu XDR-TB, diam-diam sedang menyebar di PNG. Dana jutaan dolar dan penelitian bertahun-tahun telah didedikasikan untuk program TB di PNG, dan ini tidak bisa disia-siakan sebagai konsekuensi dari pandemi Covid-19. Tata kelola pengobatan TB yang ketat masih diperlukan, dengan kepatuhan pasien secara menyeluruh. Kalau tidak, prevalensi TB akan meningkat, dan dengan itu, resistensi obat semakin buruk, dan pada akhirnya, lebih banyak kematian.
Penyakit kronis adalah tantangan yang besar di Pasifik. Malaria, contohnya, merupakan ancaman yang selalu ada, terutama di PNG dan Kepulauan Solomon dimana lebih dari 90% kasus di wilayah Pasifik barat dilaporkan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka tersebut bisa naik lagi jika pandemi Covid-19 mempengaruhi upaya mitigasi, seperti penyemprotan, penggunaan kelambu, atau akses pada pemeriksaan malaria.
Angka imunisasi juga masih rendah. Berita-berita utama tentang wabah adalah bukti bahaya ini, seperti pada tahun 2018 di PNG dengan polio – suatu penyakit yang sebelumnya dianggap sudah diberantas – atau di Samoa dengan wabah campak yang fatal. Covid-19 berpotensi mengganggu program yang seharusnya adalah program imunisasi rutin dengan melahap sumber daya yang diperlukan, dan dengan menghentikan kegiatan imunisasi berjalan karena pembatasan perjalanan. Dampak buruk akibat gangguan ini mungkin tidak akan terlihat sampai lima tahun lagi atau bahkan setelahnya.
Jadi bagi PNG, bahkan saat pemerintah berupaya untuk menghentikan penyebaran virus Corona, sekarang adalah waktunya untuk menekankan bahwa imunisasi adalah layanan kesehatan yang esensial. Upaya ini, pada akhirnya, akan mengurangi beban pada sistem kesehatan PNG secara menyeluruh dalam jangka panjang.
Semua ini menggambarkan bahwa tantangan PNG adalah untuk menemukan keseimbangan antara mencegah penyebaran Covid-19 sambil menghindari dampaknya untuk layanan kesehatan penting lainnya. Virus ini tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga sistem kesehatan yang dibangun orang-orang dalam upaya untuk membantu komunitas yang paling rentan. Beban pada sistem kesehatan yang dari awalnya telah lemah akan sangat besar dan berjangka panjang.
PNG mungkin tidak akan mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) untuk mengurangi angka kematian ibu pada tahun 2030, atau menurunkan prevalensi penyakit berat lainnya. Jika ada dampak baik dari pandemi Covid-19, mudah-mudahan ini akan menjadi kesempatan bagi PNG untuk mengkaji kembali persoalan-persoalan yang mendalam pada sistem dan tata kelola kesehatannya – dan berupaya meningkatkan akses ke layanan kesehatan untuk semua. (The Interpreter oleh The Lowy Institute)
Dr. Ishani Kaluthotage adalah dokter yang bekerja di Rumah Sakit Cairns. Saat ini ia sedang menyelesaikan program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Tropis di James Cook University sambil belajar Tok Pisin di Australian National University.
Editor: Kristianto Galuwo