Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan memasuki masa pensiun pada Bulan Maret tahun depan. Sejumlah nama calon penggantinya sempat mencuat. Misal Kepala Staf TNI AD Jenderal Mulyono, lalu Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi dan Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto.
Namun Presiden Joko Widodo disebutkan telah mengajukan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon tunggal pengganti Jenderal Gatot Nurmantyo untuk menduduki jabatan panglima TNI ke DPR.
Hadi sempat menduduki sejumlah posisi sebelum menjadi orang nomor satu di matra Udara. Namun, jenderal bintang empat itu baru sekali menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari laman acch.kpk.go.id yang diakses CNNIndonesia.com, Hadi pertama kali melaporkan harta kekayaannya saat menjabat Sekretaris Militer Presiden, pada 24 Juni 2016.
Sebelum diangkat menjadi Sesmil Presiden, pria kelahiran Malang, Jawa Timur itu menduduki jabatan Kepala Dinas Penerangan TNI AU dan Komandan Lanud Abdulrachman Saleh pada 2015. Saat itu Hadi sudah menyandang bintang satu di pundak.
Dari LHKPN tersebut, Hadi memiliki total harta kekayaan sekitar Rp5 miliar dan US$60 ribu.
Harta tersebut terdiri dari harta tidak bergerak berupa dua bidang tanah dan bangunan di Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sebidang tanah dan bangunan di wilayah Jakarta Selatan, yang totalnya sebesar Rp594.108.500.
Mantan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan itu memiliki harta bergerak berupa mobil merek Toyota Kijang, Toyota Kijang Inova, Honda CR-V dan motor Honda, dengan total Rp515,7 juta.
Lulusan Akademik Angkatan Udara (AAU) tahun 1986 dan Sekolah Penerbang TNI AU 1987 itu juga memiliki logam mulia senilai Rp391,87 juta. Hadi juga mengempit giro dan setara kas sebesar Rp3,5 miliar dan US$60 ribu.
Ada kisah menarik bagaimana dulu Presiden Soeharto memilih Panglima TNI yang dulu disebut Pangab atau Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Presiden Soeharto benar-benar menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang kepala negara. Bahkan tak ada yang bisa menduga, siapa jenderal yang akan dipilih Soeharto menjadi Panglima.
Seringkali bahkan Presiden Soeharto tak menjadikan urutan kepangkatan sebagai hal utama. Tak selalu Panglima harus memenuhi syarat pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan misalnya, atau pernah menjadi Panglima Kodam.
Tengoklah saat Presiden Soeharto menunjuk Jenderal M Jusuf untuk menggantikan Jenderal Maraden Panggabean sebagai Panglima ABRI. Saat itu M Jusuf sudah 13 tahun meninggalkan TNI dan menjadi menteri perindustrian.
Seingat Jenderal Jusuf bahkan cuma tiga kali dia mengenakan seragam lengkap TNI dari tahun 1965 sampai 1978. Itu pun cuma untuk upacara kenaikan pangkat. Jenderal Jusuf juga sudah tidak pernah baris berbaris selama 12 tahun.
Padahal ada deretan nama lain yang saat itu yang dinilai lebih bersinar karir militernya. Misalnya Jenderal Widodo yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Ada juga Jenderal Soerono dan Jenderal Umar Wirahadikusuma.
Di kemudian hari Jenderal Jusuf kemudian sangat dicintai para prajurit TNI. Dia rajin blusukan ke barak prajurit rendahan untuk menyapa langsung anak buahnya. Sampai digelari Panglima para prajurit.
Tak boleh ada matahari kembar di era Orde Baru. Maka Jenderal M Jusuf digeser menjadi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan tahun 1983. Untuk penggantinya, Presiden Soeharto menunjuk Jenderal Benny Moerdani.
Di kalangan TNI, nama Benny tak dikenal luas. Benny bergerak di belakang layar bertahun-tahun sebagai perwira intelijen. Jangankan masyarakat, seorang marinir yang berjaga di kantornya saja tak tahu kalau Benny adalah seorang kepala intelijen. Demikian misteriusnya Benny Moerdani.
Pada awal karir, prestasi Benny di Korps Baret Merah Kopassus sangat menonjol. Tapi karena berkonflik dengan Jenderal Ahmad Yani, Benny Moerdani kemudian digeser ke Kostrad. Berakhirlah karir Benny sebagai komandan pasukan.
Benny hanya pernah memimpin satuan setingkat batalyon. Dia tak pernah memimpin Komando Daerah Militer (Kodam), menjadi Danjen Kopassus atau Panglima Kostrad. Benny juga tak pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Tapi Benny adalah orang nomor satu di bidang intelijen era Soeharto. Saat itu dia menjabat Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Soeharto harus memastikan Panglima TNI yang dipilihnya sangat loyal dan mampu melindungi dirinya. Dia melihat sosok ini ada pada Benny. Soeharto juga melihat Benny yang berasal dari kalangan minoritas tak akan mendapatkan dukungan rakyat untuk menjadi seorang Presiden.
Benny memimpin TNI hingga tahun 1988. Karirnya habis saat mengkritik bisnis keluarga Cendana.
Presiden Soeharto kemudian menunjuk Jenderal Try Soetrisno untuk menggantikan Benny. Tri pernah menjadi ajudan presiden. Kelak dia mendampingi Pak Harto sebagai wakil presiden. (*)
Sumber: CNN Indonesia/Merdeka.com