Cara Jakarta sikapi kematian anak-anak di Asmat (2)

Krisis kesehatan yang sudah lama terjadi

Papua No. 1 News Portal | Jubi,

Jakarta, Jubi – Kasus kematian anak, situasi KLB campak dan gizi buruk, bahkan krisis kesehatan secara umum di Asmat bukanlah hal baru.

Kepada Jubi (25/1) seorang  guru yang pernah mengajar di Agats dari tahun 2014-2015 menyebutkan kematian 69 orang anak akibat campak dan malnutrisi adalah tragedi yang mengerikan.

“Tetapi kasus seperti ini bukan hal baru di Asmat, rasanya jamak anak balita meninggal karena sakit,” kata Junianti Hutabarat yang sempat bertugas di Agats atas program SM3T (Sarjana Mendidik di kawasan Terdepan Terluar dan Tertinggal) Kemenristekdikti itu.

Dia bercerita pengalaman perihal kematian anak yang cukup dekat dengannya selama di Asmat, “seorang anak balita yang biasa ku ajak bercengkrama kala mengajar anak-anak di belakang Pasar Dolog (agats) tiba tiba meninggal (hanya) karena demam dan diare,” ujarnya dengan nada sesal karena kematian itu terjadi ditengah teknologi kesehatan yang sudah semakin canggih.

Junianti membenarkan bentang alam Asmat yang berawa membuat akses ke disktrik-distrik harus melewati medan sungai bahkan laut. “Sehingga memakan waktu kalau harus dibawa ke RS di Agats untuk pertolongan lebih lanjut,” kata dia.

Dirinya yang beberapa kali ikut serta melakukan pendampingan bersama Pastor ke beberapa distrik di Asmat, juga menyebutkan kalau beberapa kampung yang dilanda KLB itu memang tidak punya fasilitas kesehatan seperti Pustu ataupun petugas medis. 

“Perlu pendampingan dan edukasi.  Beberapa petugas medis yang ditempatkan di kampung sama seperti guru juga tidak betahan di lokasi tugas,” ujarnya.

Junianti menyebutkan kejadian gizi buruk adalah hal yang paradoks karena masyarakat Asmat adalah peramu makanan,  “tentu saja mereka paham makanan yang menyehatkan untuk tubuh. Sungai-sungai di Asmat itu kaya ikan, hutannya menghasilkan sagu dan protein hewani, walaupun aktivitas perambahan hutan juga banyak, sejak gaharu menjadi komoditas,” paparnya.

Dia melanjutkan, kekuatan lokal itu jadi sulit bertahan karena beras sudah menggantikan sagu, disusul masuknya makanan instan seperti mie, sardin yang dibawa oleh para pedagang pendatang yang berkontribusi mengubah pola makan orang-orang di kampung-kampung. 

“Nah, disini lah mestinya petugas medis maupun guru mengambil peran untuk edukasi kesehatan. Ayo lah petugas medis jangan sibuk di kota, lakukan edukasi kesehatan (di kampung-kampung),” ajaknya.

Hal senada diungkap mantan jurnalis dan penulis dua buku Dukun Asmat (2017) dan Meregenerasi Manusia Asmat (2014), Willem Bobi, yang mengenal Asmat secara langsung sejak akhir tahun 2007.

Kepada Jubi (22/1) dia menuturkan wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat juga pernah menimpa anak-anak dan bayi di Asmat tahun 2006 hingga 2007 lalu.

"Berdasarkan hasil reportase dan penelitian saya selama di Asmat 2007 hingga 2010 angka kematian bayi dan anak tidak pernah membaik. Rata rata-rata sampai tiga anak dikabarkan meninggal dunia dalam seminggu di wilayah Asmat,"  kata dia sambil menyebutkan bahwa hal itu bahkan sudah terjadi di dekade tahun 80-an dan 70-an.

Bobi menilai pemerintah dan Dinas Kesehatan Asmat belum belajar dari pengalaman wabah sebelumnya. Tetapi  di luar itu Asmat juga kekurangan dan lemah di sektor  sarana, keuangan, tenaga dan metode untuk menjangkau daerah-daerah yang terisolir.

Keberadaan lembaga layanan kesehatan tingkat distrik itu dinilainya penting karena bertujuan mengurangi dampak buruk kesehatan akibat wabah atau penyakit rutin, seperti malaria, diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan kusta serta wabah penyakit lain yang masih mendominasi di Asmat.

Gubernur dan bupati tolak relokasi

Dari hasil pertemuan di Istana Bogor dengan Presiden Joko Widodo, dan beberapa pejabat kementerian, Selasa (23/1) Bupati Asmat dan Gubernur Papua keduanya menolak opsi relokasi yang ditawarkan Presiden.

Sebelumnya baca Cara Jakarta sikapi kematian anak-anak di Asmat (1)

Bupati Asmat Elisa Kambu, dilansir CNN Indonesia, menyatakan relokasi tidak menjadi opsi menghentikan wabah penyakit campak dan gizi buruk yang menimpa anak-anak di wilayahnya.

"Kalau relokasi ke tempat baru tidak mungkin," ujar Elisa di Kompleks Istana Bogor, Selasa (23/1), karena terkait dengan adat istiadat, budaya, serta hak ulayat yang ada di sana.

"Memindahkan orang tidak segampang itu. Bagaimana mereka menanam? Kami harap masyarakat ada di kampung atau tidak bermaksud memindahkan mereka ke tempat yang jauh dari wilayah mereka," ucapnya. 

Menurutnya, opsi terbaik adalah merevitalisasi pemukiman warga serta perkampungan di distrik terdampak campak serta gizi buruk. 

Hal itu didukung oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. "Tidak bisa relokasi. Paling mungkin di tempat mereka sendiri di satu distrik bangun perumahan, jalan tapi untuk pindah ke tempat lain tidak bisa,” kata Enembe. 

Atas dasar koordinasi tersebut, alih-alih relokasi Jokowi akan menginstruksikan seluruh jajaran pembantunya merampungkan infrastruktur di Asmat.

Dikutip CNN Indonesia (24/1), Jokowi juga akan meminta Menteri Pertanian Amran Sulaiman membangun pertanian di Asmat. “Jadi tadi malam setuju harus ada pertanian sehingga bisa menetap,” kata Presiden.

TNI kirim satgas lagi

Sementara itu Tentara Nasional Indonesia mengirimkan Satuan Tugas (Satgas) kesehatanya ke Asmat. Kali ini sebanyak 206 personel.

"Kami akan memberangkatkan 206 personel yang dibagi dalam dua kelompok. Tugasnya untuk membantu KLB di Asmat, " kata Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI Mayjen TNI dr Ben Yura Rimba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (25/1) seperti dilansir Antara.

Menurut Rimba, personel yang akan diberangkatkan terdiri dari enam dokter spesialis, 23 dokter umum dan sejumlah tenaga perawat yang akan dirotasi dua bulan sekali.

Sebelumnya TNI juga telah mengirim sekitar 53 orang tim kesehatan dan sudah berjalan 10 hari.(*)

Related posts

Leave a Reply