Sebab geografis, solusi relokasi, hingga pelibatan TNI
Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Jakarta, Jubi – Presiden Joko Widodo, yang selama ini gencar memprioritaskan insfrastruktur sebagai fokus pembangunan Papua, memilih tawaran relokasi untuk atasi Keadaan Luar Biasa (KLB) kesehatan di Kabupaten Asmat akibat wabah penyakit campak dan gizi buruk.
Dilansir Antara Senin (22/1), Presiden mengatakan dirinya akan menyampaikan tawaran solusi tersebut kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe, dan Bupati terkait.
“Nanti akan saya sampaikan ke gubernur (Lukas Enembe) dan bupati, langkah lebih baik kalau itu direlokasi ke kota karena jumlahnya juga nggak banyak," kata Presiden saat kunjungannya ke Palembang, Sumatera Selatan.
Sebelumnya (14/1) di Stadion GBK Jakarta, juga dilansir Antara, Presiden yang didampingi Menkes Nila Moeloek, menyoroti kondisi geografis yang berat di wilayah yang terkena wabah.
"Kita lihat medan di sana sangat berat, contoh di Nduga, jalan ke Wamena saja empat hari, ke Asmat juga sama, lewat rawa, gunung, hambatan sangat berat dan biaya juga mahal," katanya.
Tawaran opsi Presiden tersebut menyusul KLB campak dan kekurangan gizi anak yang tidak saja terjadi di Kabupaten Asmat tetapi, berdasarkan temuan terbaru, terjadi juga di Kabupaten Pegunungan Bintang (Pegubin).
Gubernur Lukas Enembe saat menangapi KLB Asmat di Jayapura (17/1) membenarkan bahwa kasus-kasus kematian anak juga sebelumnya telah menyerang Kabupaten Nduga, Deiyai, Korowai, dan Yahukimo, semuanya di Provinsi Papua.
Untuk itu dia memerintahkan respon segera dan pendataan korban yang valid.
Enembe mengakui selama ini masyarakat Asmat hidupnya selalu berpindah-pindah, sehingga Pemerintah Provinsi Papua merasa perlu ada pendataan secara rinci mengenai anak-anak yang meninggal akibat wabah campak.
"Masyarakat Asmat ini hidupnya di sungai, kami harap kejadian ini bisa tertangani secara baik dan tidak terulang lagi," ujar Enembe.
Faktor geografis dan infrastruktur transportasi menjadi sorotan Presiden. "Yang di Asmat juga, menyeberangi rawa sehingga harus naik boat tiga jam dan biayanya hingga Rp4 juta," kata dia.
Menurut Presiden langkah lebih baik adalah merelokasi masyarakat ke kota,. Namun opsi itu, lanjutnya, juga harus mempertimbangkan adanya budaya berpindah pindah dan tentang kesiapan rumahnya sendiri.
Pelibatan aparat keamanan
Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan (KSP) yang baru, Moeldoko menanggapi KLB Asmat sebagai kejadian yang disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang kurang peduli lingkungan dan kesehatan, sehingga perlu edukasi untuk mengubah kebiasaan tersebut.
"Kira-kira seperti cara buang airnya ini perlu edukasi masyarakat di sana," kata Jenderal TNI purnawirawan itu di Kantor Kemenko Polhukam, Jumat (19/1) seperti dikutip CNN Indonesia.
Moeldoko juga meminta Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek untuk memanfaatkan pihak kepolisian dan TNI untuk membantu edukasi masyarakat setempat.
"Kita harus menggunakan teman-teman kita Babinsa dan kepolisian yang sehari-hari bergaul dengan masyarakat setempat," ujarnya.
Sejauh ini, dikutip Reuters, 53 personel dari unsur aparat keamanan termasuk dokter dan paramedis telah dikirim ke Asmat, termasuk peralatan medis, vaksin dan 11,100 paket makanan instan.
CNN Indonesia menyebutkan data sementara berdasarkan laporan Posko Satgas Kesehatan TNI Kejadian Luar Biasa (KLB) hingga 18 Januari menyebutkan, sekitar 2.027 warga Asmat telah mendapatkan pelayanan kesehatan.
Selain itu, Satgas Kesehatan TNI KLB juga menempatkan dua dokter spesialis anak di RSUD Agats, Kabupaten Asmat. “Gizi buruk bukan sebuah penyakit seperti batuk pilek yang mudah untuk diobati, tetapi harus dilakukan secara bertahap. Apalagi demografis Asmat yang sulit dan pola hidup sehat yang masih minim,” kata Letkol Ckm dr. Rachmanto lewat keterangan tertulisnya.
Pembenahan sistem
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty mendorong Kementerian Kesehatan untuk berbenah diri soal pelayanan kesehatannya.
Kepada Antara di Jakarta, Senin (22/1) Sitti mengatakan kasus jatuhnya seorang anak normal menjadi malnutrisi sampai dengan gizi buruk, kata dia, bukanlah terjadi secara instan. Apalagi jika temuan kasus gizi buruk terjadi dalam jumlah besar hingga masuk kategori luar biasa.
"Pemerintah baik itu pemda maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkes perlu melakukan introspeksi terkait deteksi dini kasus-kasus gizi buruk," kata dia.
Menurut dia, sistem pelaporan kesehatan yang berjenjang tidak berjalan dengan baik sehingga persoalan tersebut menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk berbenah diri.
"Bagaimana sistem pelaporan berjenjang yang ada di Kementerian Kesehatan? Hingga tidak memiliki waktu untuk melakukan deteksi kasus ini dan menunggu meledak," kata kata Komisioner bidang kesehatan KPAI itu.
Terpisah, Asian Human Rights Commision (AHRC) dalam rilisnya 22 Januari mendesak agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, segera mengumumkan situasi darurat kesehatan di Papua, sekaligus membuka akses bagi bantuan medis internasional.
“Akses terhadap pantauan media juga harus dibuka untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan penanganan epidemic tersebut. Pemerintah juga perlu aksi dan kebijakan afirmasi untuk mendorong pembangunan akses kesehatan di Papua. Bantuan pemerintah pusat jangan hanya terbatas pada penanganan penyakit di Kabupaten Asmat, namun juga memastikan daerah-daerah pedalaman lainnya mendapatkan prioritas akses, fasilitas dan infrastruktur yang sama,” tulis AHRC.(Bersambung)