Bupati Wondama sebut telah berupaya membantu Patra

Bupati Bernadus Imburi dan pejabat Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama menyampaikan klarifkasi pemberitaan media terkait kronologis meninggalnya Mantri Patra – Jubi/IST
Bupati Bernadus Imburi dan pejabat Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama menyampaikan klarifkasi pemberitaan media terkait kronologis meninggalnya Mantri Patra – Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Bupati Teluk Wondama menilai pemberitan tidak berimbang dan provokatif. Pemkab Wondama berusaha membantu, namun terkendala tak ada helikopter yang bisa digunakan ke lokasi.

Read More

Bupati Teluk Wondama (Papua Barat) Bernadus Imburi menilai pemberitaan berbagai media tentang meninggalnya perawat Patra Marinna Jauhari, 31 tahun, di desa terpencil di Kampung Oya, Distrik Naikere tidak berimbang dan cenderung provokatif.

Pemberitaan demikian, katanya, berdampak pada merosotnya citra Pemkab Teluk Wondama di mata masyarakat.
Melalui siaran pers yang diterima Jubi, Selasa, 25 Juni 2019, Bupati Imburi menyebutkan bahwa Pemkab Teluk Wondama telah menerima informasi tentang kondisi kesehatan almarhum Patra.

Setelah itu, katanya, segala upaya telah dilakukan untuk menjemput almarhum yang telah dalam kondisi sekarat. Namun Pemkab Wondama tidak memiliki helikopter. Mengingat Kampung Oya di Distrik Naikere hanya bisa ditembus dengan helikopter.
“Kampung Oya belum bisa ditempuh dengan transportasi darat kecuali dengan berjalan kaki empat sampai lima hari, satu-satunya transportasi yang dapat digunakan selama ini hanya dengan helikopter,”ujarnya.

Tapi Pemkab Wondama tidak memiliki helikopter khusus.

“Helikopter yang digunakan selama ini adalah helikopter melalui kerja sama dengan gereja dan Pemkab Wondama memenuhi kewajiban pembayarannya,” tulis Imburi dalam rilisnya.
Ia mengaku telah menerima kabar tentang mantri Petra yang sedang sakit. Dia lalu memerintahkan kepala Puskesmas untuk mengupayakan helikopter langganan guna menjemputnya di Kampung Oya pada18 Juni.
Komunikasi berlanjut ke pihak maskapai Helivida, namun tidak bisa dilayani karena helikopter sudah terjadwal dengan pihak lain. Saat itu pilot yang melayani Teluk Wondama juga sedang cuti.
“Upaya terus berlanjut, hingga 21 Juni, helikopter kedua yang disepakati, juga tidak bisa terbang ke Wondama dari Timika, karena kondisi cuaca tidak mendukung,” katanya.
Belakangan, perawat  Puskemas  Distrik Naikere baru menerima informasi dari masyarakat Kampung Oya bahwa Patra telah meninggal pada 18 Juni.
“Helikopter baru bisa mendarat di Wondama pada 22 Juni, namun Sekda Wondama menyampaikan bahwa perawat yang hendak dijemput telah meinggal dunia sehingga helikopter harus tetap menjemput jenazah almarhum,” tulisnya.
Setelah menjemput jenazah almarhum, Pemkab Teluk Wondama menyanggupi tanggungan biaya keluarga almarhum dari Palopo untuk mengikuti prosesi pemakaman.
Meski sebelumnya, jenazah almarhum hendak dipulangkan ke kampung halaman, namun kondisi jasad almarhum sudah tidak memungkinkan.
“Prosesi pemakaman telah dilakukan pada Senin 24 Juni 2019, Pemkab Teluk Wondama sekaligus memberikan penghargaan dan kenaikan anumerta sesuai Surat Keputusan Bupati Teluk Wondama,” tulis siaran pers.

Evaluasi Menyeluruh

Terkait peristiwa tersebut, Bupati Bernadus Imburi akan melakukan evaluasi menyeluruh terkait penempatan petugas kesehatan di daerah pedalaman.
Imburi di Wasior, Rabu, 26 Juni 2019 menyatakan pelayanan medis di kampung Oya serta daerah terpencil lainnya di Distrik Naikere tidak akan terhenti sejak meninggalnya Mantri Patra Kevin Marinnha Jauhari.
Menurut Bupati, kematian Patra memberi pelajaran berharga bagi pemda untuk menyiapkan pola pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi. Evaluasi dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Sekali lagi dengan kondisi ini bukan berarti pelayanan dihentikan, pelayanan akan tetap kami laksanakan sebagai bagian dari tugas pemerintah dan negara, tapi kami harus pikirkan cara-cara tersendiri agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi,” katanya.
Sebelumnya sejumlah pihak mengkhawatirkan kematian Patra yang tragis akan menimbulkan trauma, bahkan ketakutan kepada para petugas kesehatan sehingga mereka enggan ditempatkan di wilayah terpencil seperti di Kampung Oya.
Dari isu tersebut Bupati menyebut pembenahan yang menjadi prioritas adalah pada aspek komunikasi dan transportasi. Pada semua titik pelayanan di daerah terpencil harus tersedia alat komunikasi yang bisa berfungsi dengan baik.
Ia mengatakan juga harus ada jaminan sarana transportasi khususnya helikopter yang bisa dipakai sesuai jadwal yang telah dibuat. Termasuk dalam kondisi darurat.
“Transportasi dan komunikasi yang penting, tapi melihat kondisi yang ada (alat) komunikasi yang didahulukan,” katanya.

Sedangkan untuk menyediakan transportasi berarti Pemkab harus membangun jalan dan harus menunggu puluhan tahun lagi.

“Jadi mungkin kami harus siapkan Base Tranciever Station (BTS) atau telepon satelit ya seperti itu kita siapkan, sehingga alat komunikasi dan transportasi itulah yang jadi tugas Pemda untuk siapkan agar meminimalisir kemungkinan jatuhnya korban,“ katanya.
Wakil Bupati Teluk Wondama Paulus Indubri menambahkan Pemkab akan menggelar rapat khusus untuk membahas langkah-langkah pembenahan yang akan dilakukan untuk memastikan layanan medis di daerah terpencil agar tetap berjalan.

Sementara itu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyampaikan ucapan duka atas meninggalnya perawat Patra.
“PPNI menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada Patra Marinna atas pengabdiannya dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedalaman di Papua Barat,” kata Ketua Umum DPP PPNI, Harif Fadhillah melalui siaran pers di Jakarta, Rabu, 26 Juni 2019.

Disebutkan, almarhum Patra Marinna adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama sejak 2009. Pada 2019 ia mendapat tugas mengikuti program dari Pemkab Teluk Wondama untuk pelayanan kesehatan di desa terpencil.
Menurut Harif Fadilah, dari informasi yang dihimpun oleh PPNI, Patra meninggal dunia karena sakit di tempat bertugas. Di tempat tugasnya di desa terpencil, Patra tinggal seorang diri sebagai tenaga kesehatan dengan keterbatasan logistik dan obat-obatan, serta tidak ada transportasi dan alat komunikasi. (*)

Reporter: Hans Arnold Kapisa & Antara

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply