Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Joshua Mcdonald
Sementara perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut mengancam akan membenamkan Kiribati, pemerintah negara itu telah mengusulkan rencana baru yang radikal, untuk menaikkan negara kepulauan tersebut.
Beberapa pekan lalu, Presiden Kiribati, Taneti Maamau, mengumumkan bahwa negaranya akan meminta bantuan dari mitra diplomatik baru mereka, Tiongkok, dan sekutu lainnya, untuk menaikkan ketinggian pulau-pulau bangsa itu dalam upayanya melawan kenaikan permukaan air laut.
Dengan ketinggian negara itu hanya 2 meter dari permukaan laut (pada titik tertingginya), pakat perubahan iklim telah lama berpendapat bahwa Kiribati bisa sirna dari peta dunia dalam 70 tahun ke depan karena pemanasan global yang terus memburuk.
Dalam wawancara pertamanya sejak terpilih kembali sebagai presiden pada bulan Juni lalu, Maamau mengungkapkan kepada the Guardian bahwa salah satu strategi pemerintahnya adalah menetapkan “menaikkan pulau-pulau kita” sebagai upaya untuk melawan dampak perubahan iklim, dan berencana “untuk mendapatkan peralatan untuk mengeruk yang akan mendukung upaya ini.”
“Kita sudah punya rencana untuk menimbun sejumlah bagian di Tarawa dengan material yang dikeruk dari laguna. Dalam visi 20 tahunnya, Kiribati juga memiliki strategi untuk mencari kapal-kapal pengeruk yang akan mendukung upaya ini, serta mengeruk kanal-kanal di pulau-pulau terluar,” jelasnya.
“Strategi ini masih dalam tahap pengembangan, tetapi itu sudah dengan pasti mengidentifikasikan menaikkan pulau-pulau Kiribati sebagai langkah maju dalam perjuangan kita melawan perubahan iklim. Ini juga diindikasikan dengan jelas dalam kebijakan perubahan iklim nasional kita.”
Mantan Presiden Anote Tong sudah lama mengkritik Maamau karena pandangannya tentang perubahan iklim. Saat menjabat, Mantan Presiden Tong telah menghabiskan sebagian besar waktunya bertemu muka dengan pemimpin-pemimpin dunia, melakukan advokasi di PBB, COP21, dan forum-forum lainnya. Dia menarik perhatian media internasional, meningkatkan kesadaran publik akan kesengsaraan di tanah airnya dan masyarakatnya.
Perhatian itu berbuah sukses. Pemerintahan Tong didekati oleh para pengusaha dari seluruh dunia. Ide-ide, mulai dari membangun pulau terapung tiruan hingga tembok laut seperti layaknya kastel. Menanggapi pertanyaan apakah gagasan untuk membangun sebuah pulau tiruan itu akan dipertimbangkan, Tong berkata: “Ini radikal, belum pernah dilakukan sebelumnya, sangat langka, tetapi dengan absennya pilihan lain, kecuali kalian dapat menemukan alternatif lainnya, saya khawatir hanya ini opsi yang tersedia bagi kita.”
Pemerintahnya kemudian mendapatkan dana untuk membeli sebuah pulau di Fiji, dimana warga Kiribati bisa mulai bermigrasi untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi. Tong menciptakan istilah ‘bermigrasi dengan martabat’, sebagai usulan bahwa orang-orang bisa pindah sementara keputusan itu adalah sebuah pilihan, daripada menunggu sampai detik terakhir.
Setelah Maamau menggantikan Tong, dia mengumumkan bahwa intensi resmi pemerintahnya sekarang adalah untuk “menyampingkan skenario-skenario yang menyesatkan dan pesimistis tentang bangsa yang tenggelam dan menelantarkan” tanahnya. Pemerintahnya lalu merombak kebijakan iklim yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya dan menangkap, menahan, dan mendeportasi jurnalis karena melaporkan perubahan tersebut.
Maamau mengatakan kepada the Guardian bahwa ia menolak kebijakan untuk bermigrasi sebagai strategi perubahan iklim, dengan alasan bahwa negara pulau-pulau tersebut masih dapat bertahan hidup dengan langkah-langkah adaptasi iklim yang tepat, dan menegaskan bahwa orang-orang Kiribati tidak akan dipaksa untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Berbicara dalam konferensi iklim internasional di Bonn, Jerman, pada tahun 2017, Maamau berkata, “Perubahan iklim adalah permasalahan yang serius, tapi kita tidak percaya Kiribati akan tenggelam bak kapal Titanic. Negara kita, tanah kita yang indah, diciptakan oleh tangan Tuhan.“ Alih-alih meminta bantuan pemimpin-pemimpin dunia dalam melawan perubahan iklim, ia meminta kerja sama negara-negara dalam rencana nasional 20 tahun baru negara itu, yaitu membangun Kiribati menjadi seperti Dubai-nya Pasifik, dengan gedung pencakar langit dan hotel-hotel berbintang 5 menjamur.
Meski detail lebih rinci tentang siapa yang akan terlibat dalam upaya untuk menaikkan permukaan pulau-pulau itu masih diperdebatkan, sejumlah ilmuwan iklim telah memuji pengumuman tersebut karena perubahan itu dilihat menandakan adanya perombakan dalam prioritas Maamau.
Paul Kench, ahli geomorfologi pesisir dan Dekan Sains di Universitas Simon Fraser di Kanada, adalah penasihat pemerintah Maamau dalam upayanya untuk meninggikan negara kepulauan itu. Saat ditanyai, Kench menerangkan kepada Canadian Broadcasting Corporation bahwa meskipun proyek ini adalah proyek yang menantang, secara teknik ini dapat dilakukan.
“Kita perlu menaikkan pulau-pulau ini mungkin satu meter atau lebih, jadi kita akan memerlukan agregat, yang sebagian besar berupa pasir dan kerikil. Dalam skenario ini, agregat yang berasal dari laguna-laguna yang dalam, di mana pasir dan kerikil berakhir di-depositkan, jadi kita perlu mengeruk material itu dari laguna dan kemudian menumpuknya di pulau-pulau,” katanya. “Tapi ada rumah-rumah dan infrastruktur di pulau-pulau itu, jadi perlu dilakukan relokasi bertahap dan penggantian banyak infrastruktur di permukaan.”
Ditanyai tentang pergeseran dari upaya Tong, yang menekan para pemimpin dunia agar mengambil tindakan untuk melawan perubahan iklim, ke upaya Maamau untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, Kench menjawab: “Anote Tong telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam meningkatkan kesadaran global akan situasi negara-negara atol yang mengenaskan, dan kita masih perlu berkomitmen pada mitigasi perubahan iklim. Namun terlepas dari itu, kenaikan permukaan air laut yang diperkirakan akan terjadi selama abad berikutnya ini sudah pasti akan terjadi. Bahkan jika kita berhenti memompa gas rumah kaca besok ini, permukaan air laut masih akan terus naik.“
“Menurut saya salah satu hal yang menarik adalah perubahan sikap dari negara-negara tersebut, untuk menegaskan bahwa kita tidak ingin melarikan diri dari tanah kelahiran kita dan pindah ke tempat lain. Kita ingin tetap tinggal… Mari kita mencari strategi adaptasi (perubahan iklim) yang layak sehingga kita dapat tetap tinggal di tempat dan mempertahankan identitas budaya kita.” (The Diplomat)
Joshua Mcdonald adalah seorang jurnalis multimedia di Melbourne, Australia.
Editor: Kristianto Galuwo