Budaya maritim di pesisir utara Papua (1)

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Oleh: Hari Suroto

Letak pesisir utara Papua sangat strategis berada di selatan Samudera Pasifik serta menjadi jalur pelayaran yang menghubungkan barat dengan timur Pulau New Guinea. Selain itu  wilayah pesisir utara Papua memiliki potensi alam yang sangat kaya, yang menjadi sumber makanan penduduk setempat. Sumber makanan ini meliputi berbagai jenis kerang, ikan, udang, kepiting, serta biota laut lainnya.

Wilayah pesisir utara Papua sejak masa prasejarah telah memiliki berbagai macam kontak yang ekstensif dengan berbagai macam budaya dari luar. Sekitar 3.000 tahun yang lalu penutur Austronesia dalam migrasinya ke pesisir utara Papua, membuat dan menggunakan perahu yang disesuaikan untuk pelayaran laut. Merekalah yang berhasil menemukan sistem cadik (penyeimbang di kiri dan kanan perahu) untuk mengatasi ganasnya ombak lautan.

Penelitian Balai Arkeologi Papua di Sarmi berhasil menemukan situs Karbos dan situs Fromadi. Kedua situs ini merupakan situs hunian yang terletak di pesisir pantai. Temuan artefak berupa manik-manik, fragmen gerabah, serta keletakan geografis Sarmi yang strategis, penduduk pesisir Sarmi pada masa lalu telah menjalin kontak perdagangan dengan luar Papua memalui jalur laut.

Pesisir utara Papua pertama kali didatangi oleh orang Eropa pada tahun 1545, ketika pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, dengan kapal San Juan berlabuh di muara Sungai Mamberamo dan memberi nama Sungai Mamberamo dengan Sungai Santo Agustin.

Pelaut Eropa lainnya yaitu Bougainville yang berkebangsaan Perancis, berlabuh di Teluk Humboldt pada tahun 1768. Ia menamai pegunungan Dafonsoro dengan sebutan Cyclops.

Pada tahun 1827, pelaut Perancis lainnya yaitu Dumont d’ Urville, dengan kapal L’Astrolabe tiba di Teluk Humboldt. Sedangkan Belanda datang ke Teluk Humboldt dalam suatu ekspedisi yang dikenal dengan ekspedisi Etna pada tahun 1858. Perusahaan pelayaran komersial Belanda memulai pelayaran regular ke pesisir utara Papua pada tahun 1890.

Pesisir pantai utara Papua meliputi Nabire, Waropen, Mamberamo Raya, Sarmi, Jayapura, dan pulau-pulau di utara Papua. Sungai Mamberamo menandai suatu batas yang cukup jelas antara kebudayaan ke arah timur dan arah barat. Perbedaannya terletak pada struktur sosial, kepercayaan religius, dan materi budaya.

Masyarakat pantai utara Papua sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka menggunakan perahu sebagai alat transportasi dalam mencari ikan. Laki-laki mencari ikan dengan cara memancing, menjala, memasang perangkap, menombak atau meracun air dengan akar tumbuh-tumbuhan. Sementara perempuan mencari kepiting, udang, dan kerang di muara sungai atau hutan bakau.

Perahu di Pasifik memiliki berbagai bentuk dan ukuran. Perahu ini menggunakan cadik sebagai penyeimbang. Meskipun prinsip-prinsip dasar pengetahuan membuat dan menggunakan perahu bercadik berasal dari luar, masyarakat Pasifik tampaknya telah mengembangkan fitur desain khusus perahu mereka yang disesuaikan dengan kondisi perairan setempat, cuaca, dan kegunaan.

Masyarakat Pasifik menggunakan perahu mereka untuk berbagai tujuan, termasuk memancing, pergi ke kebun, mengunjungi tempat-tempat terdekat untuk berdagang, penaklukan atau berperang, melarikan diri dari serangan musuh, dan sebagainya. Selain itu, banyak dari mereka melakukan pelayaran ke wilayah yang belum diketahui untuk mencari tempat baru. Alasan lainnya dalam beberapa kasus yaitu keinginan untuk bertualang.

Jenis-jenis perahu yang digunakan di sepanjang pesisir utara Papua bentuknya beragam. Perahu dibuat dari berbagai jenis pohon. Meskipun sekarang ini, peralatan besi digunakan untuk memotong maupun melubangi pohon. Perahu hanya dapat bertahan selama dua tahun sebelum perahu baru harus dibuat kembali.

Sungai Mamberamo menjadi tanda bagi pembagian utama jenis-jenis perahu yang ada di pesisir utara Papua. Ke arah timur, perahu-perahu layar memiliki cadik tunggal, dilengkapi dengan papan datar sebagai pengayuh yang diikat pada bibir perahu. Cadik penyeimbang harus tetap berada pada posisi arah tiupan angin untuk menjaga keseimbangan. Ketika angin berubah arah dan mengubah jalan perahu, maka haluan pun menjadi buritan. Metode berlayar seperti ini dipraktikkan di seluruh Pasifik.

Di daerah Teluk Humboldt, terdapat dua jenis perahu. Perahu untuk perempuan sangat sederhana, lebih kecil, dan tanpa bercadik. Perahu laki-laki dilengkapi dengan cadik di sisi kanan. Pada lambung, haluan, dan buritan ditandai dengan paduan lukisan dan ukiran.

Haluan perahu-perahu yang lebih besar memiliki tambahan ‘hiasan kepala perahu’, diberi motif burung, ikan, dan ikan terbang. Semua perahu kaum lelaki memiliki sebuah cadik di sisi kanan dan sebuah tiang dengan layar berbentuk segi empat dari daun pandan. Papan-papan ditambahkan pada kedua sisi perahu untuk menambah tingginya sisi perahu itu dari atas permukaan air. Perahu-perahu ini dapat mencapai kecepatan tinggi jika melaju di depan angin, tetapi jika melawan angin tetap dapat bergerak maju sedikit.

Masyarakat pesisir utara Papua biasanya menggunakan pengetahuan tradisional dalam beraktivitas di laut. Pengetahuan ini berdasarkan pengalaman turun-temurun. Mereka telah dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk menentukan tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya.

Bentuk kebudayaan maritim di pantai utara Papua meliputi mata pencaharian hidup, pengetahuan tradisional terkait dengan maritim, peralatan hidup, dan kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya maritim.

Penduduk pesisir utara Papua memiliki tradisi melaut. Mereka memiliki kearifan lokal mengenai laut berupa aturan dan pantangan turun temurun yang dipraktikkan, dipelihara, dan ditaati oleh masyarakatnya serta mengenai kebiasaan-kebiasaan yang juga dikemas turun-temurun dijadikan sebagai tradisi.

Penduduk pesisir utara Papua juga memiliki aturan adat yang melarang warga desa untuk melaut pada hari-hari tertentu yang disebut hari pantang melaut. Aturan atau pantangan tersebut tetap merupakan hukum adat bagi nelayan yang melakukan penangkapan di daerah itu dan berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir. Adapun hari-hari pantang melaut itu adalah hari minggu dan hari raya dalam agama Kristen.

Dalam kaitannya dengan kegiatan melaut, sejak lama masyarakat nelayan pesisir utara Papua mempunyai pengetahuan tradisional tentang lingkungan laut. Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju, pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakatnya masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut. Mereka masih mengandalkan gugusan bintang, arah angin dan arus gelombang laut untuk menentukan arah boat dan perahu saat mencari ikan. Selain pada gugusan bintang, gejala-gejala alam yang menjadi pedoman para nelayan kuala bubon adalah gumpalan awan yang berarak, serta ketika burung bangau dan elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Taburan bintang digunakan sebagai pedoman arah dalam pelayaran di malam hari, seperti bintang pari untuk menandai arah selatan dan bintang fajar yang menandai ufuk timur. Berdasarkan bintang-bintang tersebut para nelayan tidak mudah kehilangan arah atau tersesat dalam pelayarannya di tengah laut.

Sementara untuk gumpalan awan, gambaran awan yang biasanya dijadikan pedoman adalah oleh awan yang memerah di ufuk barat, biasanya pada saat menjelang senja. Apabila awan tersebut tampak, maka itu pertanda ikan-ikan di laut sudah banyak, nelayan beranggapan sudah tiba saatnya untuk melaut. Kemudian ketika burung bangau dan elang mendekati permukaan laut ketika air surut menandakan lebih banyak akan keberadaan hewan dan biota laut yang dapat ditangkap oleh nelayan selain menjadi mangsa burung tersebut.

Sejalan dengan peredaran siang dan malam, para nelayan juga mempunyai perangkat pengetahuan tentang peredaran musim yaitu musim barat dan musim timur. Musim timur dianggap baik untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karena di hari musim timur kondisi laut saat tenang, tidak ada badai, dan arus gelombang laut tidak terlalu kuat sehingga ikan-ikan banyak berada ke pinggir atau tepi laut yang memudahkan para nelayan untuk menangkap/menjaring ikan.

Pada musim timur aneka jenis burung camar akan banyak berdatangan untuk memangsa ikan, karena memang pada musim itu jumlah ikan dan hewan laut lainnya sangat melimpah. Sedangkan pada musim barat justru sebaliknya. Masyarakat pesisir utara Papua telah membuktikan bahwa mereka telah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Dengan kearifan lokal tersebut, masyarakatnya dapat menjaga kelestarian pesisir dan laut dan menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif agar dapat memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi, sehingga mereka dapat terus melangsungkan kehidupannya bahkan dapat berkembang dan terberdayakan secara berkelanjutan bersama kearifan lokal dan tradisinya.

Perahu merupakan representasi budaya maritim yang memberikan gambaran terhadap masyarakat pesisir utara Papua yang memiliki gagasan, motivasi, prinsip, dan visi mengenai laut. Pemahat dan pengukir perahu mempunyai peranan penting dalam masyarakat pesisir utara Papua. Pengukir dan pemahat perahu cukup disegani dalam masyarakat, karena umumnya mereka mempunyai perahu-perahu besar berukiran indah. Perahu besar dan berukiran indah dipandang sebagai simbol kekayaan dan prestise. Dalam kehidupan ekonomi kampung, keahlian seorang pengukir merupakan salah satu mata pencaharian baginya.

Kondisi perairan pesisir utara Papua menentukan jenis perahu yang digunakan. Kehidupan masyarakat pesisir utara Papua yang memiliki kebiasaan meramu (subsisten) pada daerah berawa dan banyak sungai mengharuskan setiap kepala keluarga memiliki perahu.

Masyarakat pesisir Sarmi yang terdiri atas sungai dan anak sungai yang panjang serta sebagian besar merupakan daerah berawa, menyebabkan model perahu jenis kole-kole paling banyak digunakan sebagai sarana transportasi sungai, ataupun untuk menangkapikan/hasil buruan.

Peran serta masyarakat pesisir utara Papua cukup besar dalam pelaksanakan sistem konservasi berdasarkan persepsi masyarakat terhadap konsep alam. Pertama, didasarkan atas konsep dasar mengenai pandangan masyarakat tentang alam yang disimbolkan sebagai seorang ibu, sumberdaya sebagai air susu ibu, atau diibaratkan sebagai mama atau perempuan. Kedua, adanya praktik hak ulayat laut yang dilakukan oleh masyarakat tersebut memiliki fungsi sosial.

Pada masyarakat pesisir utara Papua, mencari ikan memang mata pencaharian pokok yang sama pentingnya dengan mencari sagu. Dalam aktivitas ini termasuk usaha mencari kerang, udang, dan kepiting, binatang-binatang pantai, kura-kura, dan sebagainya, yang semuanya dimakan. Laki-laki dan perempuan mencari ikan, kerang berbagai jenis udang dan kepiting di rawa-rawa, muara sungai dan laut. Waktunya tidak tentu, bisa pagi, siang, sore ataupun tengah malam.

Usaha mencari ikan jarang dilakukan secara gotong-royong luas dalam hubungan kelompok-kelompok bekerja sama yang besar. Di sini pun keluarga-keluarga batih suami istri, atau paling banyak keluarga batih pergi ke rawa, muara sungai, atau laut dengan menggunakan perahu, untuk memancing atau menombak ikan. Malam hari, orang memakai lampu obor, atau seringkali sekarang dipakai lampu senter.

Potensi besar sumber daya ikan dan non ikan di Sarmi telah lama dimanfaatkan secara tradisional. Salah satu contoh adalah Pulau Liki. Karena pengaruh adat yang sangat kuat, ada beberapa aturan adat yang melarang untuk mengambil hasil laut non ikan, seperti bia lola (Trocus niloticus), juga aturan yang tegas soal perusakan terumbu karang. Meskipun beberapa suku mengatur hak ulayat perairan laut, sekarang aturan adatnya mulai longgar dan tidak ada larangan bagi nelayan lain untuk mengambil ikan di zona yang masuk dalam wilayah adat. Bersambung. (*)

Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua

Related posts

Leave a Reply