Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Inisiator kelompok perupa Udeido, Dicky Takndare mengatakan pandemi COVID-19 berimbas terhadap perupa dan aktivitas mereka dalam berkarya. Meskipun demikian, Takndire menyatakan seorang seniman harus mampu mencari alternatif untuk tetap berkarya.
Pandemi COVID-19 membuat perhelatan seni rupa tidak bisa digelar, sehingga para perupa kehilangan kesempatan untuk menghadirkan karyanya kepada publik. “Tapi kami di kelompok Udeido tetap berusaha untuk survive dengan segala cara. Udeido berpikir bahwa semua kemungkinan yang bisa membawa kami agar produktif harus diambil,” kata Takndire saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Kamis (24/6/2021).
Kelompok Udeido sendiri terbukti cakap bersiasat dengan pandemi COVID-19. Pada 15 Juli hingga 17 Agustus 2020 lalu, mereka menggelar pameran seni rupa secara daring, bertajuk “Tonawi Mana” atau “Tonawi Berbicara”.
Baca juga: Untuk Papua yang bebas dan setara, “Tonawi Mana” dalam kolaborasi seni rupa
Pameran itu menggalang karya-karya anak Papua dan non Papua yang mengilustrasikan kekerasan, ketidakadilan, marginalisasi, eksploitasi alam, kematian, pembungkaman, dan kerinduan akan kebebasan. Melalui laman internet udeido.com, pameran itu menghadirkan 36 karya seni visual oleh 21 seniman.
Melalui bekerja sama dengan Asia Justice and Rights (AJAR), Udeido menggelar pameran lukisan daring bertajuk “Sa Pu Kisah; Buka Mata, Buka Hati.” Perhelatan ini merupakan kampanye digital yang fokus pada cerita-cerita Perempuan Papua. Pameran yang menghadirkan karya sepuluh perupa perempuan Papua. Udeido memang bisa bersiasat menghadapi pandemi COVID-19.
Seniman dan PON
Takndire menyatakan ia tidak tahu menahu soal ada tidaknya perupa yang dilibatkan dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua. “Kami sendiri secara kelompok tidak terlibat di even tersebut. Akan tetapi, kami berharap seniman-seniman proto Papua mendapat bagian, bukan hanya untuk pamerkan karya atau barang kerajinan mereka,” katanya.
Takandre menyatakan pelibatan seniman dalam perhelatan non seni seperti PON XX Papua hanya akan memberdayakan para seniman jika mereka diberi ruang untuk berkarya. “Kalau seniman Papua dilibatkan, namun tidak punya karya, tentu pemberdayaan terhadap seni itu tidak terlaksana. Tetapi, seorang seniman harus tetap bisa berkarya,” katanya.
Perupa asal Nabire, Kuarnianto Degei mengatakan meskipun perhelatan PON XX Papua bukan perhelatan seni, pemerintah harus memberikan kesempatan kepada seniman Papua untuk menghadirkan karya mereka di sana. “Kalau tidak, seniman tidak akan mendapatkan porsi pada momentum di mana semua orang berkumpul dan mempromosikan budaya Papua,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G