Papua No. 1 News Portal | Jubi
PASAR Wamanggu terasa ramai di pagi itu. Hiruk-pikuk mewarnai transaksi pedagang dan pembeli. Di pasar itu pula Ema Arun menggantungkan hidupnya selama belasan tahun sebagai penjual sayur-mayur.
Gedung pasar di Jalan Paulus Nafi, Kelurahan Maro itu berlantai dua. Arun menempati salah satu lapak di lantai dasar yang memang diperuntukan bagi pedagang komoditas segar. Lantai II ditempati pedagang kelontong dan pakaian.
Mama Arun menjajakan aneka sayur yang dibelinya langsung dari petani. Ada 12 pelanggan tetap yang rutin menyuplai kebutuhan dagangannya.
“Saya sejak awal berjualan sayur di sini. Dahulu pasar ini pernah terbakar sehingga kami berpindah ke Pasar Mopah,” kata Arun kepada Jubi, Kamis (14/2/2019).
Arun memulai aktivitas rutinnya sejak dini hari. Dia bertolak dari rumah sekitar pukul 01.30 Waktu Papua, dengan menumpang angkutan kota langganannya. Kedatangannya selalu disambut para petani yang siap menyuplai dagangannya.
Arun merogoh Rp 1 juta hingga Rp 1,8 juta sebagai modal membeli sayur setiap hari.
“Saat kemarau (stok) sayur berkurang dan harga belinya pasti mahal sehingga saya harus menyiapkan modal yang cukup.”
Ibu enam anak ini berjualan hingga sekitar pukul 19.00 Waktu Papua. Jika jualannya laris manis, Arun bisa membawa pulang keuntungan sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu setiap hari. Hasil jerih payahnya itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan disisihkan buat pendidikan anak-anaknya.
Utamakan pendidikan
Arun sangat memperhatikan kebutuhan pendidikan bagi anak-anaknya. Dia berupaya semuanya mengenyam pendidikan formal setinggi mungkin.
Anak pertama Arun merupakan calon pastor. Dia saat ini sedang menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Filsafat Theologia (STFT) Jayapura. Anak keduanya berkuliah di Universitas Negeri Musanus (Unmus) Merauke. Anak ketiga di SMA, dan keempat di SMP, sedangkan kelima dan keenam masih SD.
Anak-anak turut membantu usaha Arum setiap pagi dan sore.
“Setiap pagi mereka membantu membereskan jualan di pasar. Sorenya, mereka kembali lagi untuk menyimpan (mengemasi) jualan.”
Perempuan asli Papua ini rela bersusah payah berjualan di pasar, semata-mata demi masa depan pendidikan anak-anaknya. Arum sangat tidak berharap mereka putus sekolah, dan terpengaruh pergaulan negatif.
“Saya selalu mengingatkan anak-anak agar memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Biarlah saya yang berusaha mencarikan uang buat kebutuhan mereka,” kata Arun.
Arun mengaku menjadi tulang punggung keluarga lantaran suaminya tidak berpenghasilan tetap. Dia sebetulnya berharap bantuan modal dari pemerintah, tetapi belum pernah kesampaian.
“Kami memang butuh modal, tetapi mau minta bantuan siapa?”
Anggota DPRD Hendrikus Hengky Ndiken meminta Pemerintah Kabupaten Merauke memberi bantuan modal kepada pedagang asli Papua di Pasar Wamanggu.
“Dana Otonomi Khusus semestinya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha Mama-Mama Papua di pasar.” (*)
Editor: Aries Munandar