Papua No. 1 News Portal | Jubi
Keerom, Jubi – Sekolah bagi Bertho (Kelas 5), David (Kelas 2), dan Yunitha (Kelas 4) harus dijalani dengan penuh perjuangan. Ketiga siswa Sekolah Dasar tersebut berasal dari Kampung Sawanawa.
Kampung Sawanawa berada di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Kampung tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua atau roda empat dan membutuhkan waktu kurang lebih dua jam.
Lamanya perjalanan ke sana karena kondisi jalan yang rusak, terlebih jika turun hujan. Jarak terdekat 15 km dari kampung ke Arso Kota.
Di Kampung tersebut ada sekitar 60 kepala keluarga. Mata pencaharian warga adalah berkebun umbi-umbian, seperti singkong, petatas, dan keladi, serta berburu hewan seperti babi, kasuari, dan rusa di hutan. Kemudian hasil berburu dan berkebun mereka jual di Pasar Arso 2.
Kehidupan yang sederhana tersebut membuat tidak semua warga bisa memiliki kendaraan. Itu pula yang membuat anak-anak mereka harus berjalan kaki jika ingin sekolah.
BACA JUGA: Bupati Paniai sekolahkan anak yatim piatu ke Jayapura
Agar bisa bersekolah Bertho, David, dan Yunitha setiap hari mesti berjalan kaki sejauh 5 km menuju Kampung Ubiyau, lokasi SD YPPK St. Petrus Ubiyau.
“Kami biasa kumpul jam 6 pagi begitu baru jalan sama-sama ke sekolah,” kata Bertho.
Selain Bertho, David, dan Yunitha masih ada 47 siswa lainnya dari Kampung Sawanawa yang sekolah di SD YPPK St. Petrus Ubiyau. Ada juga 9 siswa SMP dan tiga orang siswa SMA di Kampung Sawanawa.
“Kalau lewat kami biasa nebeng sama truk kayu perusahaan, tapi lebih sering jalan kaki,” ujar Bertho.
Jika sudah SMP dan SMA anak-anak harus menempuh sekitar 10 km lagi ke Arso Kota agar bisa bersekolah di SMP YPPK Teruna Tegasa atau di SMP Negeri 1 Arso.
Jarak yang jauh serta tidak didukung fasilitas kendaraan membuat sebagian anak-anak akhirnya putus sekolah. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan mengikuti orang tua ke kebun dan bermain di sungai.
Reni Wake dan Nawuk, kedua perempuan ini sebelumnya berpindah-pindah tempat tinggal agar bisa tetap sekolah. Akan tetapi ketika duduk di bangku SMP mereka kembali ke kampung. Karena tidak memiliki kendaraan akhirnya mereka berhenti sekolah.
“Tidak punya kendaran, jadi kita tidak sekolah,” kata Wake.
Orang tua mereka telah berusaha menyampaikan ke desa agar bisa dianggaran dana desa untuk membeli sebuah mobil yang digunakan mengantar anak-anak ke sekolah.
“Anak-anak mau sekolah tapi tidak ada kendaraan, sudah sampaikan ke kepala desa tapi belum dibeli,” ujar Babra Tet, orang tua di kampung Sawanawa.
Kepala SD YPPK Ubiyau, Piter Randongkir mengatakan ada anak-anak dari tiga kampung yang bersekolah di sana, yaitu dari Kampung Ubiyau Lama, Kampung Ubiyau Baru, dan Kampung Sawanawa.
Sejak pandemi Covid-19 di mana pembelajaran dialihkan daring, kata Randogkir, sekolahnya tetap melaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah dengan mengikuti prosedur protokol kesehatan.
Hal itu dilakukan sekolah setelah melalui rapat bersama orang tua siswa dan juga mempertimbangkan kondisi fasilitas di daerah tersebut.
“Rata-rata siswa tidak punya handphone serta jaringan internet tidak lancar, jadi Bapak dong sepakat dengan orang tua murid untuk proses belajar di masa Covid-19 tetap di sekolah,” ujarnya.
Kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ubiyau diadakan Senin sampai Kamis mulai pukul 7.30 pagi sampai pukul 12.00 siang. Ada 103 siswa yang diajar sembilan guru.
“Jumat dan Sabtu kami istirahat sebab ini masa Covid-19, jadi anak-anak butuh istirahat juga,” katanya.
Daring tidak optimal
Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Keerom Muchsin Wibowo, MPd mengakui pembelajaran daring dari rumah selama masa pandemi Covid-19 tidak berjalan optimal.
Dari data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Keerom terdapat 79 SD/MI, 20 SMP/MTs, dan 15 SMA/SMK/MA dengan jumlah keseluruhan siswa 14.704.
Hanya saja, kata Wibowo, selama pandemi pembelajaran daring hanya bisa dilaksanakan di sekolah yang berada di Distrik Arso, Distrik Arso Barat, Skanto, dan Mannem. Sebagian yang tidak bisa belajar daring terutama sekolah yang berada di Distrik Arso Timur, Distrik Waris, Senggi, Web, Yaffi, dan Distrik Towe.
“Karena sekolah di daerah-daerah tersebut jaringan internet belum ada, sarana seperti handphone hingga kualitas tenaga pendidik yang masih terbatas,” ujarnya.
Di tengah kondisi tersebut, tambahnya, Pemkab Keerom mengambil langkah sekolah-sekolah yang tidak bisa melaksanakan pembelajar daring dialihkan pembelajaran luring terbatas dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Itu dilakukan sejak 6 Januari 2021 berdasarkan surat edaran bupati.
Ia berharap pada tahun ajaran baru Pemprov Papua mengizinkan pembelajaran luring secara terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan, karena menurutnya lebih optimal dan juga belum ada jaringan internet di beberapa daerah di Kabupaten Keerom.
“Serta orang tua dan siswa pengen seperti itu, karena ada kejenuhan kalau daring,” katanya.(*)
Editor: Syofiardi