Berita Papua di media luar negeri dan akses jurnalis ke Tanah Papua

papua-kebebasan-pers
Poster kampanye pembukaan akses jurnalis ke Papua dalam World Press Freedom 2017 – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Apa yang sesunguhnya terjadi di Tanah Papua? Bagaimana media-media asing mengabarkannya ke kalangan pembaca luar negeri? Informasi apa yang tersebar di luar Indonesia soal Papua, khususnya di Pasifik? Mengapa pemerintah Indonesia tidak juga mengakui adanya fakta pembatasan akses masuk ke Papua terhadap jurnalis asing?

Saat Anda mengetik kata kunci “Papua July 2020” atau “West Papua July 2020” di mesin pencari Google, Anda akan segera menyadari satu hal: dominannya berita-berita politik dan HAM serta konflik di Papua. Selain berita-berita terkait situasi perkembangan pandemi korona, dominasi berita politik dan HAM di Papua mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari masyarakatnya.

Read More

Berita-berita maupun artikel bernuansa sama juga kita temukan saat kata kunci “Papua” dan “West Papua” tanpa tahun pencarian. Wajah Tanah Papua dalam berita seakan-akan diwakili oleh konflik dan pelanggaran HAM.

Hal ini tak terhindari karena untuk dapat memahami dengan utuh informasi yang beredar di luar Papua, dibutuhkan akses yang luas kepada para jurnalis.

Inilah yang sering memicu perbedaan pendapat antara pemerintah Indonesia dan pihak-pihak yang mengadvokasi kebebasan pers, termasuk jurnalis. Pemerintah tidak pernah mengakui ada pembatasan akses jurnalis asing untuk melakukan peliputan di Papua.

Persoalan ini kembali terungkap pada webinar yang diselenggarakan oleh Redaksi Jubi, Kamis, 2 Juli 2020 lalu, dengan tema Understanding Information About the Land of Papua.

Direktorat urusan Eropa Kementerian Luar Negeri, Sade Bimantara, dan Profesor jurnalisme Selandia Baru, David Robie, berbeda perspektif soal akses terhadap jurnalis dan media ke Tanah Papua.

Pejabat senior Indonesia itu mengklaim bahwa Papua telah “jauh lebih terbuka” daripada yang dituding sebaliknya di media sosial. Sementara Direktur Pacific Media Centre, Professor David Robie, menyatakan sangat susah bagi jurnalis di Australia, Selandia Baru, dan Pasifik untuk berkunjung dalam rangka tugas ke Papua.

Mengutip laporan Pacific Media Centre (3/7/2020) tentang webinar itu, Robie mengakui disamping banyak hambatan, laporan-laporan jurnalistik  yang sangat baik masih bisa dihasilkan. Tetapi itu bersifat pengeculian, karena akses ke Papua tetap terbatas dan media arus utama di Australia juga umumnya masih mengabaikan isu West Papua.

Dr Robie mengambil contoh dua dokumenter investigatif terbaru, The Secret War for West Papua dari ABC Foreign Correspondent pada bulan May dan Al Jazeera’s Selling Out West Papua, bulan Juni yang telah membongkar keserakahan industri kelapa sawit dan deforestasi di Papua. Keduanya adalah karya jurnalisme terobosan yang berkualitas.

Beda dulu dan sekarang

Terhadap Papua, Bimantara mengatakan era Presiden Joko Widodo berbeda dari era sebelumnya. Menurutnya, Widodo memimpin kebijakan “yang lebih terbuka” terhadap Papua sejak 2015, tahun yang sama dimana dua orang kru video cerita Selandia Baru dapat dengan susah payah berkunjung ke Papua.

Kebijakan yang berbeda, karena “pendekatannya lebih humanis dimana pembangunan dan ekonomi menyentuh langsung kehidupan orang-orang Papua kebanyakan untuk memberi keadilan, stabilitas, dan kesejahteraan sebagai inti kebijakan di nasional maupun lokal,” kata Bimantara.

Dr Robie mengutip kritisisme terhadap pendekatan pembangunan, seperti Jalan Trans-Papua yang kurang melibatkan atau tidak berkonsultasi dengan orang asli Papua (OAP), yang diungkap dalam sebuah buku berjudul The Road oleh John Martinkus. Martinkus mengungkap eksploitasi oleh perusahaan asing, pengrusakan lingkungan dan kolonisasi oleh para transmigran Indonesia”.

Akses yang tak kunjung dibuka

David Robie menegaskan Papua perlu sekali mendapat kunjungan peliputan dari lebih banyak jurnalis dengan bebas tanpa “pemantau” sehingga bisa melaporkan isu-isu pembangunan dan tantangannya maupun isu keadilan sosial dan hak azasi manusia.

Bimantara bilang proses bagi jurnalis untuk pergi ke Papua telah dipercepat dan media berbasis di Jakarta serta jurnalis-jurnalis asing “bebas pergi kapanpun” dengan syarat memberitahukan kemana mereka pergi.

Menurut Bimantara antara tahun 2016 hingga tahun ini ada 69 permohonan untuk mengunjungi Papua, 55 diantaranya disetujui, “artinya 80 persen disetujui,” kata dia.

Namun Robie menegaskan proses yang dimaksud tak semudah yang disebutkan Bimantara.

“Bisa dibilang mendapatkan visa untuk jurnalis meliput ke Papua itu luar biasa sulit, karena melalui clearing house di Jakarta. Liputan ABC yang saya sebut di atas itu benar-benar mengandalkan jurnalis Papua di lapangan,” kata Robie.

Soal clearing house ini juga tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Namun dalam laporan awal tahun AJI Indonesia bertajuk “Janji yang tak dipenuhi”, disebutkan untuk melakukan liputan di Papua, jurnalis asing harus mendapatkan izin dari clearing house itu.

“Meskipun Presiden Joko Widodo merilis pernyataan pada 10 Mei 2015 – hampir setahun setelah dia berkuasa – bahwa pembatasan untuk jurnalis asing di Papua akan dicabut, pada kenyataannya, kontrol atas peliputan terus berlanjut,” tulis AJI Indonesia.

Bahkan jurnalis asing yang bekerja sesuai ketentuan hukum di Indonesia bisa dideportasi jika mereka bepergian ke Papua tanpa izin resmi. Wartawan asing yang meliput diawasi Badan Intelijen Negara (BIN) setiap saat selama kunjungan di daerah tersebut, sehingga menghambat pelaporan secara independen, terutama pada isu-isu ‘sensitif.

David Robie mengakui dalam liputan program ‘Selling Out’, produser mengandalkan liputan “kamuflase”– para kru mengambil film Taman Nasional Wasur di masifnya lahan gambut di Merauke sambil melakukan liputan investigasi sebenarnya terkait perkebunan sawit, lanjut Robie.

“Baik sebagai jurnalis maupun akademisi media, saya sering menyebut informasi soal West Papua itu sebagai black hole di banyak artikel dan video sejak saya menulis pertama kali tentang Papua tahun 1983,” ujar Robie.

Lalu jurnalis lain mulai mengikuti sebutan ini, “ada black hole atau black spot dalam setiap informasi tentang dan di Tanah Papua,” katanya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply