Berduka, bukan berkampanye: dampak Covid-19 terhadap referendum di Kaledonia Baru

Penduduk pro-kemerdekaan Kaledonia baru di Pulau Ouen, Kaledonia Baru, saat referendum 2020. - The Guardian/ Dominique Catton

Papua No.1 News Portal | Jubi

Kredibilitas referendum kemerdekaan ketiga dan terakhir Kaledonia Baru dari negara Prancis telah dipertanyakan setelah pemimpin-pemimpin pribumi memberikan peringatan bahwa partisipasi pemilih dalam plebisit itu dapat dipengaruhi secara negatif oleh pandemi Covid-19 disana.

Pemerintah Prancis telah mengumumkan keputusannya bahwa referendum ini akan diselenggarakan sesuai dengan rencana awalnya, yaitu pada bulan Desember mendatang, setelah krisis kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh virus Corona di wilayah itu mereda.

Read More

Tetapi partai yang pro-kemerdekaan, FLNKS, telah mendesak agar referendum ditunda dan telah meminta para pendukungnya untuk tidak berpartisipasi pada 12 Desember mendatang karena penduduk pribumi Kanak – kelompok yang cenderung akan memilih untuk merdeka – sedang berkabung atas kematian para korban pandemi Covid-19 disana. Dampak pandemi yang dirasakan oleh masyarakat Kanak dilaporkan jauh lebih tinggi dan parah daripada keturunan orang-orang Eropa di wilayah Pasifik itu.

Referendum ini merupakan plebisit ketiga dan terakhir yang diadakan untuk menjawab pertanyaan apakah wilayah Pasifik itu ingin menjadi sebuah negara yang berdaulat atau tetap menjadi bagian dari Prancis. Suara yang diamankan oleh sisi pro-kemerdekaan telah meningkat, dari 43,3% dalam referendum pertama pada 2018, menjadi 46,7% pada 2020. Angka itu diperkirakan akan mendekati, jika tidak melebihi, batas minimum 50% yang diperlukan dalam memenangkan sebuah referendum.

Namun, naiknya kembali kasus Covid-19 telah membawa dampak yang signifikan pada sisi pro-kemerdekaan dan pendukungnya.

Hampir 82% dari 267 kematian dan 10.500 kasus Covid-19 yang dilaporkan di Kaledonia Baru terjadi pada orang-orang Kanak dan orang-orang pribumi Pasifik lainnya disana, yang lebih cenderung mendukung sisi kemerdekaan dalam referendum sebelumnya.

Lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta yang ganas telah mengubah situasi di wilayah itu secara drastis, dari nol kasus pada awal September menjadi lebih dari 10.000 kasus dalam waktu hanya enam minggu. Hal ini lalu semakin sulit karena penerapan kebijakan pemerintah dalam menerapkan karantina wilayah juga telah membatasi upacara-upacara berkabung adat orang Kanak. Langkah-langkah yang diambil sebagai bagian dari karantina wilayah itu termasuk pembatasan jam malam, larangan untuk melakukan pertemuan yang dihadiri lebih dari lima orang, dan membatasi jumlah pelayat di pemakaman menjadi maksimal sembilan orang.

Ketika karantina wajah itu dicabut, para pemimpin FLNKS pun menegaskan bahwa prioritas pertama komunitas Kanak adalah melanjutkan dan menyelesaikan upacara-upacara adat untuk pasien-pasien yang meningga. Hal ini seringkali memakan waktu beberapa bulan. Dan selang periode ini, mereka tidak akan berkampanye untuk referendum kemerdekaan yang akan datang.

Salah satu anggota FLNKS, Charles Wea, menekankan bahwa virus itu telah membunuh orang-orang Kanak. Dalam keluarganya saja, ia menjelaskan, ada 30 kematian yang terjadi, mulai dari kerabat di Pulau Ouvea dan Pulau Lifou, serta di sebelah utara pulau utama.

Dia lalu menyebut Menteri Luar Negeri Prancis, Sébastien Lecornu, “bagai seorang koboi, karena dia tidak mau mempertimbangkan apa yang kami minta, dia tidak menghormati adat kami”.

Wea menjelaskan bahwa karena berkabung, ada persyaratan-persyaratan yang akan mempersulit orang-orang Kanak untuk berkampanye di seluruh wilayah, karena mereka akan memberikan perhatian mereka untuk mengunjungi komunitas-komunitas yang berduka untuk menghadiri upacara-upacara adat.

Menurut Wea, umumnya kerumunan besar masyarakat akan datang untuk berkabung dengan keluarga langsung yang berduka, dimana upacara-upacara itu termasuk pidato yang panjang oleh seorang paman, kepala suku, dan tentang apa yang telah dicapai mendiand selama hidupnya.

“Kami bukan dalam situasi dan kondisi untuk berkampanye,” ungkap Annie Wakaine. Sepupu Wakaine, ia adalah janda dari seorang pemimpin pro-kemerdekaan terkemuka – meninggal karena Covid-19 baru-baru ini. “Saat ini sedang sangat sulit bagi kami. Kami tidak pernah menyangka keadaan bisa seperti ini. Seluruh negeri ini sedang berduka, terutama orang-orang Kanak dan Kepulauan Pasifik. Kami telah menggunakan aplikasi Messenger, video Facebook, tetapi tidak ada keluarga yang bisa datang, tidak ada pertemuan langsung. Kami hanya bisa tinggal di rumah. Ini sangat sulit bagi kami.”

FLNKS telah melaporkan hal ini komite dekolonisasi PBB, daftar dimana nama wilayah itu tertulis sejak 1986, menekankan bahwa kondisi saat ini di sana tidak kondusif untuk menyelenggarakan sebuah referendum kemerdekaan.

Desakan agar masyarakat Kanak tidak berpartisipasi dan desakan untuk menunda referendum juga telah dilaporkan ke PBB dengan dukungan Melanesian Spearhead Group (MSG), yang mencakup Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu.

Saat di wawancara dalam stasiun televisi lokal minggu lalu, Victor Tutugoro, pemimpin salah satu partai dalam koalisi FLNKS, memperingatkan bahwa jika referendum dilanjutkan pada 12 Desember, FLNKS dan segenap pendukungnya tidak akan hadir pada tanggal 13, untuk merencanakan masa depan negara.

“Untuk apa kami mengambil bagian jika suara kami tidak didengarkan?” tanyanya. (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply