Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jaro Saidi, salah seorang tokoh masyarakat Baduy di Leuwidamar mengatakan selama ini kepercayaan yang mereka yakini tidak bisa dicantumkan dalam kolom agama di KTP.
Karena itu, dia dan warga suku Baduy gembira dengan keluarnya keputusan MK yang membolehkan kolom agama diisi dengan kepercayaan yang dimiliki pelbagai penghayat .
"Selama ini dalam kolom agama KTP kami tidak pernah dicantumkan agama kami. Padahal kolom agama kami juga penting dicantumkan karena kami diakui," ujar penganut Sunda Wiwitan ini kepada Merdeka.com.
Para penghayat Kepercayaan sebelumya, banyak mengalai diskriminasi. Mereka umumnya mengalami penolakan saat hendak mencatatkan perkawinan adat ke catatan sipil. Hingga dekade 1990-an, masih banyak kasus masih terjadi terkait hambatan pencatatan perkawinan karena persoalan yang sama.
Hingga pada akhirnya pada 7 November 2017, empat warga negara Indonesia bernama Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dianggap merugikan mereka.
Hal itu utamanya karena mereka harus mengosongkan status pada kolom isian agama dalam kartu identitas tanda penduduk atau KTP. Padahal, kekosongan status tersebut dapat mempersulit mereka untuk mengakses berbagai hak administrasi sebagai penduduk. Misal: perkawinan, akta kelahiran, syarat masuk sekolah dan lain-lain.
Meski keputusan itu akan melegakan bagi para penghayat Kepercayaan, persoalan administratif birokrasi tetap jadi dilema. Pertama, keputusan tetap perlu dibarengi oleh revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memang mensyaratkan hal itu.
Hal ini tidaklah mudah. Menuliskan secara seragam pada kolom status agama dengan “penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” tentu mudah dilakukan.
Jika ada ribuan kategori, apakah lantas semuanya akan ditulis satu persatu? Selain itu, sampai hari ini masih belum ada data yang valid atas jumlah penganut Kepercayaan di Indonesia. Berapakah sebenarnya jumlah total para penghayat Kepercayaan di Tanah Air?
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penghayat Kepercayaan di Indonesia dapat dikatakan relatif kecil. Tercatat, kelompok penghayat Kepercayaan itu hanya berjumlah 299.617 orang, atau sekitar 0,13 persen dari total penduduk.
Angka itu didapatkan dengan melihat indikator kategori “Lainnya” sebagai jawaban di luar enam agama resmi. Meskipun, dalam SP2010 ini dimungkinkan bahwa para penghayat Kepercayaan mendaftarkan dirinya dengan salah satu dari status “agama” yang resmi.
Sayangnya, data berapa sebenarnya jumlah penghayat Kepercayaan di Indonesia tidak pernah valid. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) misalnya, melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi berada, memberi perkiraan sekitar 10-12 juta orang di seluruh Indonesia.
Padahal, kebutuhan data yang pasti dan valid, setelah adanya keputusan MK, sangatlah diperlukan. Hal ini terkait dengan perubahan ataupun penambahan isian status agama dalam kartu identitas tanda penduduk. Tidak pastinya jumlah penghayat Kepercayaan tentu dapat berakibat tidak terlaksananya dengan baik putusan MK itu.
Setelah adanya putusan MK, tentu nama masing-masing kelompok penghayat Kepercayaan berpeluang mendapatkan aspek legal pertama untuk menggunakan nama-nama tertentu. Kemendikbud mencatat ada 187 organisasi penghayat Kepercayaan diseluruh Indonesia, untuk tingkatan pusat.
Apa artinya? Andaikan data Kemendikbud itu benar adanya, tentu akan ada sekitar 187 nama status tambahan agama/kepercayaan dalam kolom isian KTP. Namun, tidak semua organisasi namanya lantas secara langsung tercatat di KTP.
Mayoritas organisasi penghayat Kepercayaan cenderung banyak di wilayah Pulau Jawa. Jawa Tengah menjadi wilayah pertama dan utama tempat organisasi penghayat Kepercayaan berada, dengan total sebanyak 53 organisasi (5 tidak aktif). Wilayah kedua terbanyak adalah Jawa Timur. Di wilayah itu, ada sebanyak 50 organisasi dengan 7 di antaranya tidak aktif.
Sementara di DI Yogyakarta ada 25 organisasi (6 tidak aktif), serta 7 organisasi di Jawa Barat (2 tidak aktif). Untuk di DKI Jakarta, ada 14 organisasi penghayat Kepercayaan dan 2 di antaranya tidak aktif.
Dari semuanya, usai putusan MK berpeluang besar membawa beban dilema tersendiri. Mereka mungkin akan sudah dimudahkan dalam administrasi kependudukan, tapi atas dasar administrasi itu pulalah, ekspresi yang beragam dari para penghayat Kepercayaan itu mungkin malah akan dipersamakan satu dengan yang lainnya. (*)
Sumber: Merdeka.com/Tirto.id