Bencana dan ancaman kemanusiaan di Wamena

Jubi | Tetap No. 1 di Tanah Papua

Oleh Soleman Itlay

RSUD Wamena menyebut tingkat kematian ibu hamil dan bayi yang lahir terus mengalami peningkatan. Pada 2015 dari 1.888 orang, 7 lainnya meninggal dunia. Kemudian berikutnya 2016 tercatat sebanyak 2.009 yang melakukan persalinan, 6 orang ibu hamil diantaranya meninggal dunia.

Direktur RSUD Wamena, dr. Felly G. Sahureka mengatakan, pada 2016, dari 2.009 yang lahir, hanya 293 bayi yang hidup (arsip.jubi.id, 16/6/2017).

Jika dihitung secara matematis 2.009 dikurangi 293 berarti 1.716 orang meninggal. Jumlah tersebut sangat fantastis. Bayangkan dalam setahun mengalami jumlah seperti itu. Belum lagi tahun sebelumnya. Seandainya sembilan/sepuluh tahun belakangan ini dikalikan dengan 2.000-an atau 3.000-an orang meninggal karena dilahirkan di RSUD Wamena, bisa diasumsikan 15.000 orang meninggal dunia.

Kalau membaca berita di link tersebut, dokter Felly selaku direktur RSUD tidak mengatakan sendiri. Dokter spesialis kandungan RSUD Wamena, dr. Charles C. Ratulangi, Sp.Og juga mengatakan, angka kematian ibu dalam persalinan masih tinggi hingga 2016.

Menurutnya, kematian tersebut disebabkan pendarahan, infeksi kehamilan dan masih kekurangan gizi bagi ibu hamil. (Jubi, ibid.)

“Kalau di Wamena, rata-rata pendarahan ada tapi masih sedikit, yang paling banyak itu faktor lain seperti infeksi, ada yang hamil dengan kanker rectum atau anus, kalau pendarahan biasa disebabkan karena memiliki banyak anak.”

Jadi, masyarakat diharapkan melakukan pemeriksaan secara dini. Bagi ibu dan suami kalau sudah lihat atau rasa badan makin berat, artinya hamil. Berarti segera melakukan pemeriksaan. Hal ini sangat penting untuk meminimalisir risiko kematian. Kalau tidak, ancaman bagi ibu hamil sangat besar. Efek buruknya sangat besar.

“Kalau tidak pernah periksa dan pas bersalin tensinya sudah mencapai 200, ini yang mengakibatkan potensi kematian, begitu tensinya tinggi efeknya bukan pada kehamilan saja tetapi bisa juga ke yang lain seperti jantung dan ginjal,” jelasnya.

Namun berita tersebut kembali diklarifikasi direktur RSUD Wamena (18/6). Pemberitaan Jubi sebelumnya (15/6/2017) dinilai keliru. Dokter Sahureka menjelaskan angka kematian perempuan saat persalinan kecil.

Tahun 2015 terdapat 7 kasus kematian perempuan dari total 1.888 persalinan. Sementara, pada 2016 terdapat 6 perempuan yang meninggal dunia dari total 2.009 orang persalinan. Lebih lanjut, dokter mengatakan tahun berjalan ini tercatat 319 persalinan (Januari-Maret 2017). Dari ratusan persalinan itu tidak ada kematian selama rentan waktu itu.

“Terdapat 293 yang masih hidup. Kurang dari 48 jam, sebanyak 15 bayi meninggal dan lebih dari 48 jam 11 orang meninggal. Sehingga total bayi yang meninggal sejak Januari-Maret sebanyak 26 bayi,” Jubi (18/6/2017).

Kendati demikian, kondisi tersebut benar-benar memprihatinkan. Bagaimana pun yang lebih penting adalah memikirkan bersama dan mencari langkah-langkah solutif.

Tidak hanya di RSUD Wamena, semua rumah sakit di Papua mengalami hal yang sama. Tidak perlu banyak berpikir di tempat. Karena berpikir di tempat sama halnya dengan jalan di tempat. Tidak akan membawa perubahan yang signifikan.

Persoalan rumah sakit di Wamena harus menjadikan sebagai masalah bersama. Semua pihak harus bersatu. Semua harus mencari langkah maju guna menekan rantai kematian di kabupaten induk ini. Paling penting adalah semua kepala daerah di wilayah pegunungan tengah bersatu dan memikirkan segala sesuatu terkait rumah sakit ini.

Wamena adalah barometer dari kabupaten Yalimo, Mamberamo Tengah, Puncak Jaya, Tolikara, Lanny Jaya, Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Papua umumnya. Diharapkan setiap kepala daerah yang merasa masyarakatnya sering ke Wamena, harus merasa bertanggung jawab terhadap RSUD Wamena. Karena RSUD ini tidak semata-mata melayani masyarakat Hugula, Jayawijaya sendiri, tetapi juga masyarakat dari luar yang sering berobat.

Untuk itu dalam upaya peningkatan kualitas dan layanan kesehatan bagi masyarakat umum, semua kepala daerah di pegunungan tengah harus bersatu dan memikirkan bersama. Kalau sudah demikian, semua masyarakat yang berobat di RSUD ini akan tertolong.

Khusus Pemkab Jayawijaya ini teguran yang baik. Sehingga perlu membenahi kembali setiap kebijakan dan program pembangunan di bidang kesehatan. Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata, tetapi lebih penting adalah bagaimana pemerintah mendorong RSUD ini sebagai tempat yang membuat semua pasien merasakan sentuhan pemerintah.

Pemerintah Jayawijaya sebagai kabupaten induk mesti memikirkan dan membangun pendekatan kepada pemda kabupaten lain.

Hal ini tidak terlalu berat. Karena pemerintah mempunyai modal besar untuk melakukan gebrakan di rumah sakit tertua ini.

Kaki pimpinan daerah jangan terkesan panjang. Hal ini kadang kala membuat pemimpin lupa melihat persoalan utama, terutama di daerah. Karena terlalu sibuk keluar daerah, urus kepentingan pribadi, masa depan keluarga dan seterusnya. Akhirnya masyarakat kecil dan uang negara menjadi korban. 

Rumah sakit ini bukan baru. Setidaknya ada perubahan. Tetapi herannya 10 tahun belakangan ini tidak ada pembangunan fisik dan non fisik. Harga obat di rumah sakit mahal, bahkan stoknya terbatas. Masyarakat sering mengeluh dan menggunakan uang pribadi untuk membeli obat di luar RSUD Wamena. Bagi orang berada tidak mengapa, tapi bagi masyarakat biasa mengalami persoalan berlapis.

Masalah lain adalah pemerintah daerah tak mampu menekan kondisi kritis endemi HIV/AIDS di lembah agung tercinta. Jumlah orang Papua yang terinfeksi penyakit mematikan ini bertambah banyak.

Data Dinkes Papua per 30 Juni 2016 menyebutkan 25.349 kasus.  Lagi-lagi, Jayawijaya berada pada urutan pertama, dengan 5.293 kasus HIV/AIDS. Informasi terkait data ini silahkan baca buku Papua di Ambang kehancuran, SKPKC Fransiskan Papua: 11. Sebelumnya Merauke berada pada urutan pertama. Namun penyebarannya bisa ditekan karena dibangun rumah khusus bagi ODHA.

Data di atas belum termasuk penderita penyakit lain, baik yang sudah memeriksa maupun yang belum sama sekali. Kalau begini kapan akan ada perubahan? Akankah pemekaran lurah, kampung dan distrik solusi? Sungguh seratus persen tidak akan pernah menjamin itu. Akankah pergi ke Jakarta, Jayapura, Biak, Timika dan lainnya akan membawa perubahan baru?

Pada 24 Desember 2008 bupati Jayawijaya, Jhon Wempi Wetipo berjanji akan memmberi pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat. Di lapangan Sinapuk juga pernah disampaikan, akan melakukan pencanangan gratis untuk pendidikan dan beras miskin untuk masyarakat. Tapi apa buktinya? Tidak ada.  

Sekarang masalah yang paling krusial adalah kesehatan dan pendidikan. Tetapi yang paling hangat adalah persoalan kesehatan di Jayawijaya. Pertanyaannya, selama ini apa saja yang pemerintah dorang bikin untuk lihat masyarakat punya keluhan sakit? Mana alokasi dana otonomi khusus 80 persen? Kan 15 persen dikhususkan untuk kesehatan. Belum lagi dana kesehatan dari sumber pendapatan lain.

Dokter Charles telah menjelaskan faktor yang menyebabkan kematian bagi ibu hamil dan bayi disebabkan oleh kekurangan gizi, darah, infeksi, dst. Pertanyaanya, dana untuk memperbaiki kesehatan ibu hamil dan bayi juga untuk mencukupi kebutuhan lain dikemanakan?

Bagaimana RSUD Wamena mau menjadikan rumah sakit bertaraf internasional kalau perhatian saja kurang seperti begini? Semua, baik yang bernapas dan tidak bernapas menjadi saksi bisu. Semua sedang menertawai, tapi juga masyarakat akar rumput sedang menangis karena tidak merasakan sentuhan pelayanan kasih bagaikan angin segar Wamena dulu.

Hanya Irian Jaya Joint Development Foundation sajalah yang mampu mempromosikan masyarakat asli. Hanya JDF-lah yang mampu membuat masyarakat mencintai identitasnya sebagai Apuni Hugula Mete. Hanya mereka sajalah membuat masyarakat mencintai berkebun, bertani, berternak, bersawah, berbudaya, beradat, beradab, bermartabat, dll. Bisakah sekarang tiru seperti program JDF dahulu kala?

Bisa tapi tak ada waktu. Bisa tapi di ujung masa. Waktu dan masa tak bersahabat lama. Keduanya bergantung pada waktu. Ketika waktunya tiba maka semua akan segera berlalu. Karena masa pun tak kuasa merayu waktu.

Kesehatan dan RSUD Wamena bukan segalanya, tetapi tanpa keduanya segala sesuatu akan sia-sia. DPRD Jayawijaya juga jangan diam dengan kesenangan pangkat tradisi, yakni datang, duduk, dengar, diam dan duit. Harus berani membuka mata, telinga dan hati guna melawan badai kepunahan. Ketidakpekaan menjuruskan kepentingan pribadi dan kelompok, jarang luangkan waktu untuk memperjuangkan kepentingan umum.

Jika masalah ini hanya dipandang biasa-biasa saja, maka semua pihak yang mempunyai kewajiban tapi santai dan tidak tahu apa-apa adalah melakukan pembiaran. Mendorong segala macam masalah harus konsisten sampai pada titik akhir. Jikalau kerjanya hanya untuk target suskses pribadi masa depan, stop!

Kapan sandiwara ini berakhir? Cukuplah derita terasa tiada akhir. Tiada lagi jalan bagi rakyat jelata menghirup bahagia. Tiada lagi jalan bagi penderitaan pergi menghilang dari rakyat. Cukup tetesan air mata membasahi lembah agung. Kaum tak bersuara menanti lembah diagungkan. Mohon merekontruksi filosofi hidup dari moyang. Wen, Wam, Wene”. (*)

Penulis adalah anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua

Related posts

Leave a Reply