Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Fabiala Pattiruhu wali Kelas X di SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, Papua. Jumlah siswa di kelasnya 34 orang. Sejak belajar tatap muka mulai dijalankan di Nabire pada 7 Januari 2021, ia harus membagi siswanya dalam dua kelompok belajar, masing-masing 17 orang.
Itu salah satu aturan belajar sesuai protokol kesehatan di era pandemi Covid-19. Setiap pagi sebelum siswanya tiba, Fabiala menyiapkan sabun di tempat cuci tangan. Ketika siswa berdatangan, ia akan memeriksa masker mereka dan menyuruh mereka mencuci tangan terlebih dulu. Suhu siswa juga dicek.
Meski setiap hari jam belajar cuma empat jam atau jauh berkurang dari jam normal, Fabiala cukup bersyukur. Sudah setahun siswa di Nabire, Papua belajar daring atau tidak datang ke sekolah, pelajaran menurutnya kurang maksimal.
BACA JUGA: Pembelajaran tatap muka di Nabire mulai Januari 2021
Tantangan yang lebih berat baginya adalah mengelola siswa baru, Kelas X atau sama dengan kelas 1. Siswa berasal dari SMP yang berbeda dan sudah pasti sudah setahun siswa tersebut belajar daring ketika kelas 3 SMP atau Kelas IX.
“Kami khawatir mereka agak sulit dengan adaptasi baru, karena sudah setahun belajar daring, sebagai pengajar, rasanya apakah mereka bisa tangkap pelajaran atau seperti apa, karena waktunya berkurang,” katanya kepada Jubi, Senin (25/1/2020).
Fabiala berusaha agar siswa kembali terbiasa dengan belajar tatap muka. Ia menggunakan dua trik menghadapi anak. Trik pertama, tiap kelas memiliki grup WhatsApp. Sehari sebelum jadwal tatap muka, ia membagikan materi yang akan dipelajari ke grup agar siswa bisa mempelajari sebelum masuk kelas.
Trik kedua ia mengajari siswa bermain “mapping” (pemetaan) yang bertujuan merekam memori materi pelajaran.
“Misalnya gejala sosial ada tiga sebab, siswa diminta membuat satu gambar lingkaran, kemudian tiga cabang yang berisi penyebab masing-masing,” katanya.
Penyebab tersebut ditulis dengan jembatan konsep dengan maksimal dua kata. Ketiga jembatan bisa bertemu atau saling terkait dan bisa tidak.
“Di sinilah guru dituntut mengarahkan anak kepada pembelajaran untuk ditangkap sebaik mungkin, jadi kami bukan hanya mengajar saat di sekolah, tetapi dari rumah juga akan mengntrol siswa melalui grup WhatsApp,” ujarnya.
Berbeda dari situasi normal, kini guru tidak hanya mengajar, tapi juga mengawasi anak-anak agar mematuhi protokol kesehatan selama mereka di sekolah. Siswa harus menjaga jarak, selalu memasang masker dengan benar, dan sering mencuci tangan atau memakai “hand sanitizer”.
Semua siswa SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire, Papua telah mengkikuti belajar tatap muka. Jam belajar dibagi dua shift, A dan B. Pada Senin Kelas A, Selasa Kelas B, dan seterusnya. Satu shift lima jam pelajaran dalam sehari dengan satu mata pelajaran hanya 60 menit.
Karena waktunya dipersingkat, materi yang dipelajari yang esensial atau materi yang lebih penting. Misalnya pada mata pelajaran Sosiologi diutamakan sejarah sosiologi, kajiannya, dan teori sosiologi.
Fabiala merasakan waktu tatap muka sekarang masih kurang. Namun ia sadar kesehatan dan keselamatan siswa adalah yang terpenting.
“Bagi saya yang terpenting adalah siswa tidak merasa terbebani dengan situasi saat ini, tetapi bagaimana menciptakan agar anak merasa belajar itu adalah kewajibannya dan menyenangkan dalam situasi apapun,” ujarnya.
Wahyudi Diantori, guru SMA Negeri 2 Distrik Wanggar, Nabire, Papua mengaku ia dan guru lainnya tetap merasa was-was mengajar tatap muka, meski sudah ketat menjalankan protokol kesehatan.
“Was-was itu ada, karena kita tidak tahu interaksi anak-anak di luar sana seperti apa dan ketemu siapa,” katanya.
Hanya saja, Wahyudi lebih khawatir lagi jika pendidikan dilaksanakan daring seperti tahun sebelumnya. Ia khawatir anak tidak bisa memahami pelajaran dengan baik melalui gawai. Terlebih memperoleh pendidikan karakter.
Menurut Wahyudi, pembelajaran tatap muka lebih efektif, mengingat selain materinya disampaikan langsung kepada siswa, guru juga melakukan pendidikan karakter kepada siswa, disiplin waktu, membiasakan sikap sopan santun, tata karma, dan lainnya.
Maria Jesica, siswi kelas X (kelas 1 SMA) YPPK Adhi Luhur Nabire, Papua mengaku tak mengalami kendala mengikuti belajar tatap muka mulai sementer ini. Ia selalu waspada dengan ancaman Covid-19 sehingga tetap menerapkan prokes.
“Belajar tatap muka lebih dimengerti dibandingkan belajar daring, jika ada kendala memahami satu pelajaran bisa langsung bertanya kepada guru, sedangkan belajar online membutuhkan waktu memahaminya,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Cintya Devi Wulandari, Kelas XII SMA Negeri 2 Distrik Wanggar, Nabire, Papua. Ia merasa nyaman belajar tatap muka karena dapat memahami materi dengan baik dan lebih bersemangat.
“Perbedaan yang sangat dirasakannya sekarang dibanding sebelum pandemi adalah
tidak lagi bebas bergaul dengan kawan-kawan, serta tidak bisa mengikuti kegiatan ekskul dan porseni,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi