Papua No. 1 News Portal | Jubi
Masih dalam semangat International Women’s Day [8 Maret 2020], puluhan perempuan di Kota Jayapura berlatih menjahit pembalut kain. Kegiatan yang baru pertama kali dilakukan di Papua ini merupakan upaya positif keterlibatan perempuan untuk pengetahuan akan kesehatan alat reproduksi sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan Papua.
Sekitar dua-puluhan perempuan: filmmaker, jurnalis, pendeta, pegawai kantoran, tutor, mahasiswa, perempuan aktivis, hingga ibu rumah tangga, terlihat antusias mempraktikan keahlian sang-tailor [penjahit]. Mulai dari perkenalan istilah dalam dunia jahit-menjahit, membuat pola, mengenal jenis bahan [kain], hingga teknik menjahit dengan tangan dan mesin. Namun, pola yang dijahit sangat tidak biasa: pembalut kain.
“Adu…kakak, tolong bantu isi benang di [lubang] jarum ini ka?”, “Mata nene ini pakai bagaimana ka?”, “Augh…[jari] tatusuk jarum lagi,” dan masih banyak lagi kelucuan yang selalu disambut tawa peserta workshop “Perempuan Bantu Perempuan” melalui belajar bersama tentang kesehatan reproduksi dan membuat pembalut kain di Gedung Sophie P3W-GKI Padangbulan, Jayapura, Rabu (11/3/2020).
Kenapa pembalut kain? Westiani Agustina dari Biyung Indonesia—organisasi swadaya masyarakat yang berkerja pada isu perempuan dan lingkungan di Yogyakarta—menyampaikan bahwa pembalut kain sangat aman digunakan dan tidak memberikan dampak negative sekitar alat reproduksi perempuan. Beda cerita ketika menggunakan pembalut sekali pakai, seperti yang banyak tersebar di pasaran.
“Yang berbahaya, dalam proses daur ulang banyak zat kimia [dioxin] yang digunakan untuk proses pemutihan,” ujar Westiani dalam kelas workshop hari pertama.
Mengutip Zine yang dipublikasi Needle and Bitch—komunitas kolektif otonom, berbasis sukarela, non-hirarkis, terorganisir secara mandiri yang berfokus pada masalah gender, seksualitas, dan hak atas tanah—menjelaskan, pembalut sekali pakai menggunakan bahan baku kertas bekas dan serbuk kayu [pulp] yang didaur ulang untuk menjadikannya bahan dasar; Bahan baku tersebut mulai dari kertas koran, kardus, dan karton bekas yang penuh dengan bakteri, kuman dan berbau. Dioxin adalah sebuah hasil sampingan dari proses bleaching [pemutihan] yang digunakan pada pabrik kertas, termasuk pabrik pembalut perempuan, tissue, sanitary pad dan diaper [pembalut untuk anak-anak].
Dalam sesi diskusi, satu per satu perempuan mulai menguraikan permasalahan kewanitaan yang sering dialami kala menggunakan pembalut sekali pakai. Di antaranya iritasi dan rasa gatal. Menurut Westiani, dampak yang mulanya dianggap sepele ternyata berpotensi menjadi masalah serius apabila penggunaan pembalut sekali pakai tidak benar, seperti rentang waktu pergantian.
Gangguan serius pada kesehatan reproduksi tersebut bisa hingga menyebabkan kanker. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan penderita kanker mulut rahim nomor satu di dunia, dan 62 persen dipicu oleh penggunaan produk pembalut yang tidak berkualitas. Sementara menurut Yayasan Kanker Indonesia [YKI], penyakit leher rahim [serviks] menyebabkan korban meninggal sedikitnya 200.000 perempuan setiap tahunnya [www.cegahkankerserviks.org].
Miris melihat gangguan pada kesehatan reproduksi perempuan, sang inisiator workshop: Javiera Rosa—perempuan aktivis Papua—menggandeng Biyung Indonesia dan Needle and Bitch menyelenggarakan workshop tersebut untuk pertama kalinya di Papua. Kota Jayapura mengawali tour workshop ini, diikuti Manokwari dan Sorong. Rosa ingin mendorong perempuan Papua untuk menggunakan pembalut kain untuk alasan kesehatan dan lingkungan.
Menurut Rosa, banyak kasus tentang kesehatan reproduksi yang dialami oleh perempuan Papua dan salah satu alasannya adalah karena penggunaan pembalut sekali pakai. Meski belum mengantongi data resmi, mayoritas perempuan secara lisan mengaku mengalami seperti rasa gatal-gatal dan iritasi.
“Jadi, salah satu solusinya adalah membuat pembalut kain sendiri, untuk dipakai sendiri, dan tidak ikut mencemari lingkungan dengan sampah pembalut. Apalagi, di Jayapura saja kita belum punya sistem pengelolaan sampah,” kata Rosa.
Bonus lain yang diperoleh ternyata bukan saja aman, namun pembalut kain juga bisa mengirit isi dompet karena bisa digunakan berulang kali.
Poin penting kedua bagi sang-inisiator adalah untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang menjadi sumber unsur-unsur penting bagi kehidupan manusia. Begitu pula sungai, danau dan laut.
“Bayangkan saja kalau setiap perempuan menggunakan pembalut sekali pakai lalu dibuang [ke alam]. [Padahal], di Papua belum ada sistem pengelolaan sampah pembalut wanita maupun pampers untuk bayi,” lagi kata Rosa.
“Bayangkan kalau itu [pembalut, diaper] dibuang bebas ke tempat-tempat sampah, ke kali atau got, larinya [bermuara] ke laut dan tentu akan pengaruhi ekosistem di laut. Kalau pun dibakar, bahannya tidak mudah terurai dalam tanah, butuh puluhan tahun,” tegasnya.
Teluk Youtefa saat ini mulai mengalami pendangkalan. Apalagi saat musim penghujan, teluk cantik itu berubah menjadi muara bagi timbunan segala jenis sampah dari Kali Acai yang terhubung dengan puluhan saluran air di sekitar Abepura dan sekitarnya.
“Hutan mangrove di Teluk Youtefa, kita bisa lihat di akar-akar bakau penuh dengan pempers, pembalut, belum lagi sampah plastik lainnya. Jadi, di Papua ini, saya rasa penting sekali kita untuk menjaga lingkungan kita bersama-sama,” harap Rosa.
Jadi, ini satu peringatan keras buat kita orang Papua harus sadar bahwa masalah lingkungan itu tidak hanya datang dari luar tapi juga dari gaya hidup kita. “Itu salah satu alasan kenapa kita perlu membuat pembalut kain dan memakai pembalut kain untuk kesehatan tapi juga untuk lingkungan kita,” ujarnya.
Rosa kembali mengingatkan, bagi masyarakat adat Papua, tanah dan alam merupakan simbol perempuan atau mama yang memberi kehidupan. Ibarat rahim mama, rahim alam juga harus dijaga sehat agar bisa menumbuhkan tunas-tunas baru.
“Mari tong jaga lingkungan kita, mama alam kita, yang memberi kehidupan untuk kita. Tong, perempuan Papua bisa mulai dengan pakai pembalut kain,” pinta Rosa.
Editor: Kristianto Galuwo