Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Felix Degei
Dua minggu belakangan ini, beberapa media lokal di Papua, baik cetak maupun elektronik, ramai memuat berita tentang rencana pemberlakuan Kartu Tanda Penduduk khusus Orang Asli Papua (KTP OAP). Ide tersebut diinisiasi langsung oleh beberapa petinggi daerah di tingkat provinsi, antara lain Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Gubernur Papua.
Sebagai salah satu putra daerah asli Papua, saya pribadi sangat setuju dengan rencana ide brilian tersebut.
Rencana program tersebut dirasa sangat wajar dan menjadi kebutuhan daerah, karena ada beberapa daerah di Indonesia juga yang memberlakukan program dengan misi yang sama, yakni untuk memproteksi hak-hak dasar dari warga asli setempat.
Bali adalah salah satu contoh provinsi yang selama ini menerapkan program tersebut. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas secara khusus mengenai tiga hal.
Pertama, apa program yang telah dan sedang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali? Kedua, bagaimana program tersebut diterapkan selama ini? Ketiga, mengapa Provinsi Papua butuh perberlakuan KTP OAP?
Wajib miliki KIPPEN
Sebagai daerah wisata yang sangat tersohor namanya hingga di mancanegara, tentu harus memiliki data dan fakta, serta regulasi yang ketat guna mengontrol mobilitas masyarakat. Hal ini merupakan kebutuhan untuk menjamin keamanan dan ketertiban bagi penduduk asli maupun para pengunjung. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali selama ini mewajibkan pengunjung yang hendak tinggal di Bali lebih dari tiga bulan untuk memiliki Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPPEN).
Penerapan KIPPEN
Kewajiban untuk memiliki KIPPEN telah diatur oleh pemerintah daerah setempat. Siapa saja yang mengunjungi Pulau Dewata wajib memiliki kartu identitas tersebut jika hendak tinggal lebih dari tiga bulan. Kartu tersebut wajib dimiliki karena setiap triwulan selalu ada pemeriksaan oleh pecalang.
Pecalang adalah tenaga sukarelawan masyarakat adat sendiri yang turut mengambil bagian dalam menjaga kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) daerah setempat. Mereka juga bekerja sama dengan pihak keamanan, yakni polisi dalam tugas dan tanggung jawabnya atau lazim disebut (polisi tradisional/polisi adat).
Pada tahun 2013 silam, penulis bersama 29 teman lainnya dari Papua mengurus dan memiliki kartu tersebut. Berhubung rombongan rencana tinggal selama enam bulan untuk belajar di IALF Bali, kami harus memiliki kartu tersebut dan memperbaharuinya setiap tiga bulan.
Persyaratan yang diminta antara lain alamat lengkap sementara, foto kopi KTP, dan pasfoto ukuran 2×3 sebanyak dua lembar. Kartu tersebut harus urus melalui kelurahaan terdekat.
Namun rombongan kami beruntung karena dibantu oleh pihak IALF dalam pengurusannya.
Program pendataan ini tentu memiliki peran yang sangat vital dalam pemetaan penduduk berdasarkan status. Terlebih khusus untuk mengetahui arus mobilisasi masyarakat dan mengklasifikasi angka penduduk asli dan pendatang.
Manfaat jangka panjangnya adalah ia (akan) menjadi barometer yang sangat penting dalam mendesain rencana strategis dalam segala aspek pembangunan (skala prioritas). Dengan demikian, data tersebut memudahkan pemerintah dalam merealisasikan misi perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak hidup orang asli Bali.
Mengapa Provinsi Papua butuh pemberlakuan KTP OAP?
Setelah membaca dan menelaah rencana pemberlakuan KTP OAP di Papua oleh gubernur, ketua DPRP dan ketua MRP via beberapa media, saya sebagai sebagai putra daerah asli Papua merasa bahwa ini program positif dan konservatif. Ada dua alasan mendasar mengapa saya pribadi setuju dengan gagasan yang luar biasa tersebut.
Pertama, Papua surplus SDA, tapi defisit SDM
Tanah Papua telah lama dikenal dengan pesona Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah. Luasnya saja tiga kali lebih besar dari pulau Jawa. Tidak hanya itu, berdasarkan data dari Bank Dunia (2009) Papua adalah provinsi dengan SDA terkaya kedua setelah Kalimantan Timur, termasuk mineral non-minyak dan gas serta hasil hutan.
Papua juga menjadi provinsi terkaya pertama dari aspek Sumber Daya Fiskal (SDF) di bawah Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) sejak tahun 2001. Kondisi tersebut tentu membuat Papua menjadi daerah primadona bagi banyak orang dari berbagai daerah, bahkan dunia untuk datang, tinggal, dan hidup di sini.
Kendati demikian pada saat yang sama Papua juga sedang mengalami krisis Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut sangat jelas jika ditelaah dari aspek kuantitas dan kualitas SDM OAP yang semakin merosot.
Secara kuantitas OAP sedang jadi minoritas di atas tanahnya sendiri. Berdasarkan hasil analisis oleh Profesor Jim Elmslie (2010) dari Pusat Studi Konflik dan Perdamaian, Universitas Sydney Australia dalam laporan berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: Slow Motion Genocide or not?” menyimpulkan: pada tahun 1971 jumlah OAP sebanyak 887.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405 jiwa. Artinya pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 1,84%.
Sementara jumlah penduduk non-OAP tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708.425 jiwa. Jadi, persentase pertumbuhan penduduk non-OAP per tahun sebesar 10.82%. Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah OAP mencapai 1.730.336 atau 47.89%. Sementara non-OAP mencapai 1.882.517 atau 52,10%.
Akhir tahun 2010, OAP mencapai 1.760.557 atau 48.73%. Populasi non-OAP mencapai 1.852.297 atau 51.27%. Jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3.612.854 atau 100%.
Dengan melihat proses pertumbuhan penduduk tersebut, Jim memperkirakan bahwa di Tanah Papua tahun 2020, jumlah OAP hanya mencapai 28,99% dari total populasinya yang diperkirakan mencapai 7.287. 463 jiwa. Jumlah ini menandakan bahwa dari total perkiraan penduduk di Tanah Papua, OAP hanya berjumlah kurang lebih 2.112.681. Selebihnya, yakni 5.174.782 atau 71.01% adalah perkiraan persentase jumlah penduduk non-OAP di Papua tahun 2020.
Fenomena tersebut terjadi karena beberapa faktor, salah satu yang paling dominan adalah migrasi penduduk besar-besaran dari luar ke Tanah Papua.
Hal lain yang membuat krisis OAP secara kuantitas adalah meningkatnya angka kematian. Salah satu penyebabnya adalah HIV-AIDS. Angka Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) terus meningkat setiap tahun.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, 31 Desember 2016 total 26.973 ODHA, tahun berikutnya 31 Desember 2017 sebanyak 32.263 ODHA, sementara data per 31 Maret 2018 sebanyak 35.837 ODHA.
Kedua fenomena di atas ini sungguh menjelaskan bahwa OAP secara kuantitas sudah dan sedang mengalami penurunan yang sangat drastis di atas tanah leluhurnya sendiri.
Secara kualitas SDM OAP juga sedang berada pada urutan paling terakhir dari total 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jakarta (2017) menunjukkan bahwa Papua masih berada pada tingkat terendah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan 59,09 dari total 34 provinsi di Indonesia. Selain itu, Papua juga memiliki tingkat buta aksara tertinggi dengan 71,04 untuk usia di atas 15 tahun (BPS, 2018). Data ini mengungkapkan bahwa pendidikan sedang menjadi salah satu isu sentral di Papua;
Kedua, Esensi Papua sebagai daerah otonomi khusus
Secara etimologis berbagai sumber menyebutkan bahwa otonomi berasal dari bahasa Yunani yakni outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan nomos berarti “perintah”. Otonomi berarti “memerintah sendiri.” Jika dalam konteks administrasi publik di daerah, maka otonomi sering disebut sebagai ‘local self-government’. Sehingga dapat dipahami bahwa ‘Daerah Otonomi Khusus’ (Otsus) adalah daerah yang pemerintahnya diberikan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat.
Di Indonesia sejauh ini ada empat provinsi yang sedang dalam status otonomi khusus (Otsus), antara lain, 1) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2) Daerah Istimewa Yogyakarta; 3) Provinsi Aceh; dan 4) Provinsi Papua (dan Papua Barat). Keempat daerah ini memiliki sejarah yang berbeda dalam pemberian status sebagai daerah otsus.
Khusus untuk Provinsi Papua, otsus diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).
Esensi dari pemberian otsus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subyek utama.
Salah satu upaya yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat untuk mewujudkan misi Otsus di Provinsi Papua adalah pembentukan MRP. Dalam pasal 1 huruf (g), UU No.21/2001, MRP adalah representasi kultural OAP, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam UU Otsus.
Jika ditelaah dari kondisi Papua yang sedang surplus SDA tapi defisit SDM serta esensi adanya Otsus, maka sebenarnya sangat memungkinkan bagi pemerintah provinsi untuk mewujudkan rencana pemberlakuan KTP OAP.
Provinsi Bali yang notabene bukan daerah otsus saja menerapkan peraturan yang menjamin perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak hidup orang asli setempat. Maka dari itu, Pemerintah Provinsi Papua–dalam hal ini gubernur dan DPRP–hendaknya segera membuat regulasi untuk perbelakuan KTP OAP. Sementara MRP diberikan kewenangan sepenuhnya dalam penerapan dan penertiban soal penggunaan KTP OAP seperti pecalang di Bali.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan oleh kita siapa lagi? Orang asli Papua sedang minoritas di atas tanah leluhurnya sendiri adalah fakta. Kini saatnya perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak hidup Orang Asli Papua.” (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana asal Tanah Papua yang sedang kuliah di Jurusan Master of Education di The University of Adelaide Australia Selatan