Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Grant Wyeth
Disamping Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ke-73 tahun ini, ada sejumlah kegiatan lainnya yang lebih berpusat pada tujuan khusus setiap organisasi dalam PBB. Kegiatan-kegiatan sampingan ini memberikan kesempatan bagi negara-negara anggota, untuk merenungkan pendekatan dan kontribusi unik mereka kepada PBB, serta meluruskan perspektif dan rencana mereka untuk keterlibatan selanjutnya dengan berbagai organisasi PBB.
Kegiatan seperti ini, terutama, sangat penting untuk negara-negara lebih kecil, yang mungkin tidak memiliki kekuatan untuk masuk ke Dewan Keamanan, atau sumber daya yang memadai agar bisa memberikan kontribusi yang lebih besar, tetapi bisa menemukan niche dalam PBB dimana mereka dapat memberikan kontribusi yang berharga.
Untuk Fiji, berbagai operasi pemelihara perdamaian PBB (UN Peacekeeping Operations), telah memberikan kesempatan yang penting bagi mereka, untuk menunjukkan komitmen negaranya terhadap aspirasi kerja sama internasional. Meskipun ukurannya kecil (dengan populasi sekitar 900.000 jiwa), Fiji telah memainkan peran penting dalam misi perdamaian PBB selama empat dekade terakhir.
Sejak tahun 1970-an, pasukan perdamaian Fiji telah berbakti di hampir setiap zona konflik besar, termasuk Angola, Bosnia dan Herzegovina, Kerajaan Kamboja, Kroasia, Darfur, Irak, Kosovo, Lebanon, Liberia, Sinai, Namibia, Kepulauan Solomon, Rwanda, Somalia, Sudan Selatan, dan Timor-Leste. Per kapita, sejak tahun 1970, Fiji telah mengerahkan lebih banyak personel militer untuk misi penjaga perdamaian PBB daripada negara mana pun. Sekitar setengah dari militer Fiji sedang dikerahkan ke luar negeri, atau sedang mengikuti pelatihan untuk menggantikan mereka yang sedang ditempatkan ke luar negeri.
Pekan ini, dalam Pertemuan Tingkat Tinggi tentang inisiatif Action for Peacekeeping (A4P), Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, memberikan pidato menjelaskan alasan dibalik komitmen negaranya kepada operasi penjagaan perdamaian PBB.
“Di rumah kami di Fiji, kami diberkati untuk bisa merasakan perdamaian, keamanan, dan kemakmuran yang tidak bisa dirasakan oleh jutaan warga global,” kata Bainimarama. “Itulah mengapa begitu banyak warga Fiji yang bersedia mendaftar untuk menjadi pasukan perdamaian global. Karena kami percaya bahwa hak atas perdamaian harusnya dirasakan oleh seluruh umat manusia. Itulah alasan mengapa kami telah memberikan pelayanan dan pengorbanan, selama 40 tahun, untuk tujuan ini. Dan itulah mengapa kami sekarang siap, seperti biasa, untuk melakukan tugas kami dalam upaya global yang penting ini.“
Bainimarama melanjutkan dengan menerangkan bahwa komitmen Fiji untuk Operasi Perdamaian PBB, telah menjadi bagian integral dari sentimen nasional negara itu, menjelaskan, “Kebanggaan dan penghargaan terhadap pasukan perdamaian kami adalah bagian penting dari bagaimana setiap warga Fiji melihat negara kami di mata dunia.”
Ia menghubungkan sentimen nasional negaranya dengan nilai-nilai universal lebih luas yang ingin Fiji perjuangkan secara global: “Meskipun kita mungkin hanya sebuah negara kecil, kita telah menunjukkan diri bahwa kita bersedia untuk melakukan tugas kita untuk melindungi mereka yang tidak bersalah, melindungi mereka yang rentan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia semua orang.”
Ini adalah sentimen yang patut dikagumi, yang harus diakui sebagai suatu itikad baik, dan harus dijauhkan dari sinisme apapun tentang negara berkembang dan negara kecil yang menggunakan organisasi PBB sebagai sumber pendapatan nasional. Namun, ada beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan akibat partisipasi Fiji dalam operasi perdamaian PBB.
Sementara pemerintah negara berkembang lainnya, melihat keterlibatan dalam operasi perdamaian sebagai cara untuk meningkatkan anggaran militer mereka, dan tidak meneruskan penggantian dana dari PBB kepada pasukannya, Fiji benar-benar memberikan kompensasi dengan murah hati kepada militernya.
PBB membayar pemerintah yang bersedia menyumbangkan pasukannya untuk misi perdamaian dengan tarif $1.428 per personel per bulan (per Juli tahun ini), dan setiap tentara Fiji menerima sebagian besar dari bayaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bergabung dengan militer adalah suatu opsi yang menguntungkan, secara finansial, bagi banyak orang Fiji, dan menciptakan tekanan sosial kepada pemerintah, untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi warganya dalam militer. Pengalaman berharga yang diperoleh selama operasi perdamaian, juga membuat tentara Fiji sesuai untuk jabatan-jabatan keamanan swasta, yang menerima bayaran cukup baik di tempat-tempat penuh konflik seperti Irak.
Faktor-faktor seperti ini tampaknya telah memfasilitasi pertumbuhan militer yang jauh lebih besar, daripada negara serupa yang juga terisolasi secara geografis, tanpa perlu terlibat dalam perselisihan luar negeri, yang kemudian dapat dinilai telah meningkatkan peran militer dalam urusan dalam negeri Fiji, termasuk tiga kudeta militer yang dialami negara itu (kudeta keempat dipimpin oleh masyarakat sipil).
PM Bainimarama sendiri bertanggung jawab atas dua kudeta militer ini, dan pemimpin blok oposisi saat ini di Parlemen Fiji, Sitiveni Rabuka, bertanggung jawab atas kudeta pertama pada tahun 1987. Presiden Fiji, Jioji Konrote, memerintahkan pasukan Fiji dalam misi perdamaian PBB pertama mereka, di Lebanon pada tahun 1978. Tren ini adalah indikasi tentang betapa sentralnya militer dalam masyarakat Fiji, dan bagaimana tokoh-tokoh besar dengan latar belakang militer yang menonjol sekarang, menjabat di dalam lembaga-lembaga politik negara itu.
Bainimarama menggunakan pidatonya untuk menegaskan kembali keterlibatan berkelanjutan Fiji dalam Operasi Perdamaian PBB. Ini merupakan keputusan yang disetujui secara meluas dalam dunia politik Fiji, Rabuka juga baru-baru ini menegaskan komitmen partainya terhadap operasi pemeliharaan perdamaian, jika mereka terpilih untuk membentuk pemerintahan dalam pemilihan yang akan datang (yang akan diadakan November ini). Hal ini menunjukkan bahwa insentif dalam negeri di Fiji untuk mempertahankan aparatus militernya yang besar masih tetap kuat, dan bahwa pengaruh militer yang sudah cukup besar dalam urusan domestik negara ini akan tetap bertahan.
Meskipun mungkin ada niat mulia di balik keinginan Fiji untuk terus berpartisipasi dalam misi penjagaan perdamaian dunia, dampak dari keputusan ini yang menyebabkan institusi politiknya dipenuhi dengan mantan pasukan operasi militer, masih jauh dari kondisi ideal setelah kembalinya demokrasi ke negara itu pada tahun 2014. (The Diplomat 27/9/2018)