Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Sheldon Chanel di Suva
Bagi sebuah negara kecil di Pasifik Selatan, untuk dapat bergabung dengan Dewan HAM PBB yang kuat untuk pertama kalinya pada 2019, Fiji telah mengalami kemajuan yang besar dalam organisasi tersebut: langsung ke posisi puncak… atau seharusnya tidak lama lagi.
Sesuai dengan konsensus, diplomat utama Fiji di Jenewa, Duta Besar Nazhat Shameem Khan, telah ditetapkan akan menjadi presiden dewan itu untuk mewakili Fiji pada 2021 mendatang. Kepresidenan Dewan HAM ini bukan hanya kali pertama untuk Fiji, tetapi juga untuk wilayah Pasifik yang seringkali keterwakilannya tidak memadai di panggung global.
Itulah rencananya hingga Bahrain – yang didukung oleh Tiongkok, Rusia dan Arab Saudi – mencegah keberhasilan rencana itu dengan mengusulkan, pada detik-detik terakhir, kandidat presidensial Dewan HAM yang lain, dan mengubah apa yang seharusnya merupakan transisi yang mulus, menjadi persaingan geostrategi.
Perselisihan yang tampaknya sangat nyata ini adalah mengenai negara mana yang akan menetapkan agenda untuk badan berpengaruh itu tahun depan.
Namun, menurut pengamat, pada tingkat yang lebih dalam, perselisihan itu mencerminkan negara-negara berkekuatan besar dengan riwayat pelanggaran HAM yang dipertanyakan, mencoba untuk mengajukan kandidat yang bersahabat dengan mereka sebelum Amerika Serikat mewujudkan komitmennya untuk kembali menjadi bagian dari dewan itu.
AS, di bawah kepresidenan Donald Trump, meninggalkan Dewan HAM pada tahun 2018 – menggambarkan kelompok itu sebagai pelindung pelanggar HAM – tetapi Presiden AS terpilih, Joe Biden, diharapkan akan segera terlibat kembali setelah ia dilantik bulan depan .
Menurut para pengamat, pemilihan presiden Dewan HAM PBB telah menjadi sangat politik dan kini menjadi persaingan antara kekuatan-kekuatan global yang saling berjejal-jejalan agar bisa mendapatkan pengaruh politik.
Profesor Steven Ratuva, Direktur pusat Macmillan Brown Center for Pacific Studies di University of Canterbury mengatakan bahwa mendukung sebuah negara proksi – negara yang akan menguntungkan kepentingan negara lainnya – agar bisa mendapatkan jabatan kepemimpinan di badan-badan multinasional, adalah strategi yang efektif dan dapat diandalkan sebelumnya.
“Baik Tiongkok maupun Rusia puas dengan kebijakan luar negeri ‘America First’ Trump yang sifatnya nasionalis, karena itu memberikan mereka kesempatan tanpa gangguan untuk mengisi kekosongan itu,” ungkap Ratuva.
“Istilah HAM itu tidak ada dalam kosakata Trump, jadi sekarang dengan kemenangan Biden, dan AS kembali ke panggung global, Tiongkok dan Rusia akan lebih puas jika mereka memiliki satu oknum yang dapat mereka kendalikan di dalam Dewan HAM,” tambahnya.
Dewan beranggotakan 47 anggota itu dibentuk pada 2006 untuk mendorong dan melindungi HAM di seluruh dunia, serta menyelidiki kemungkinan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara anggota PBB.
Memperebutkan kursi untuk kawasan Asia-Pasifik, periode tiga tahun Fiji sudah dimulai sejak 1 Januari 2019, setelah negara itu memperoleh 187 dari 192 suara. Tahun 2021 akan menjadi tahun terakhir Fiji sebagai bagian dari dewan tersebut.
Khan, hakim pengadilan tinggi perempuan pertama Fiji dan mantan kepala kantor jaksa penuntut umum, saat ini menjabat sebagai wakil presiden dewan itu dan telah memungkinkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM di Venezuela, Belarusia, Suriah, dan Yaman.
Sesuai dengan konvensi, kepresidenan dewan itu ditetapkan secara berurutan berdasarkan wilayah, dan Fiji diharapkan akan mengambil alih posisi itu tanpa perlawanan – sampai Bahrain mendadak maju tiga hari sebelum tenggat waktunya.
Prof. Ratuva mengatakan ini tampaknya merupakan contoh dimana negara-negara yang lebih besar mendorong negara-negara Pasifik kecil ke samping.
“Negara-negara dengan kekuasaan besar, terutama Tiongkok dan termasuk AS juga, menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan negara-negara Pasifik selama para negara bertindak sesuai dengan kepentingan geopolitik mereka,” katanya.
Nilesh Lal, Direktur Utama Dialogue Fiji, sebuah LSM yang bekerja di bidang tata kelola demokratis, mengatakan negara-negara yang lebih berkuasa mengucilkan negara-negara Pasifik dengan menciptakan kelompok-kelompok mereka sendiri di dalam badan-badan penting PBB.
“Itu tidak adil bagi negara-negara Kepulauan Pasifik kecil yang ingin memainkan peran penting dalam pemerintahan global,” tekan Lal.
Dewan HAM PBB telah menghadapi berbagai kritik karena masih juga menerima negara-negara dengan riwayat HAM yang gelap sebagai anggotanya. Catatan Fiji sendiri termasuk salah satu yang dipertanyakan, akibat kebebasan media, kekerasan aparat, dan pengesahan undang-undang yang membatasi, seperti ketetapan mengenai hasutan makar (sedition) dalam UU pidananya.
Sebuah investigasi oleh Guardian menemukan bahwa, secara keseluruhan, anggota-anggota polisi di Fiji telah dituntut dengan 400 pelanggaran berat antara Mei 2015 dan April 2020, termasuk untuk perkara pembunuhan yang direncanakan, pembunuhan yang tidak direncanakan, pemerkosaan, dan penculikan.
“Riwayat pelanggaran HAM Fiji itu kotor, tidak ada yang dapat dibanggakan dalam hal ini, dan itu pasti akan digunakan untuk melawannya. Ini sudah pernah dibahas di forum-forum internasional sebelumnya” tutur Ratuva.
Namun Lal yakin meskipun catatan pelanggaran HAM Fiji itu gelap, itu tidak ada kaitannya dengan pencalonannya untuk menjadi presiden dewan itu mengingat ada juga pelanggaran-pelanggaran lain yang dilakukan oleh negara anggota dewan itu.
“Negara-negara anggota seperti Afghanistan dan Pakistan, misalnya, memiliki sejarah HAM yang buruk. Dan, dengan adanya sejumlah negara gagal seperti Somalia, Libya, dan Venezuela di dewan itu membuat badan penting PBB ini tampaknya tidak masuk akal,”tambahnya.
Naiknya Fiji ke posisi kepresidenan dewan HAM akan membantu kawasan Pasifik secara umum dalam mendorong isu-isu HAM yang merupakan isu besar di kawasan ini, termasuk dampak HAM akibat perubahan iklim, kata Ratuva.
Tapi sekarang negara itu menghadapi perlawanan yang signifikan dalam mempertahankan kepresidenan dewan yang sebelumnya dianggapnya sebagai fait accompli, menghadapi Bahrain yang nekat dan tiga kekuatan besar yang berkeras untuk membatasi pengaruh AS dan memperkuat agenda mereka sendiri.
“Seperti yang kita lihat saat penunjukan dewan HAM,” tambah Ratuva, “negara-negara besar dapat menggunakan pengaruh ekonomi, strategis, dan politik mereka, baik untuk memobilisasi dukungan pada negara-negara kecil atau jika perlu, menyingkirkan mereka.” (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo