Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Jayapura, Jubi – Bagaimana mengetahui kondisi suatu bangsa pada masa lalu? Melalui penuturan dan catatan sejarah serta temuan benda-benda purbakala?
Dalam diskusi yang digelar Sekolah Menulis Papua (SMP) bertajuk “Arkeologi dan Sastra Merunut Masa Lalu Papua” di Abepura, Minggu (25/9/2016), arkeolog dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakam arkeologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang mengkaji manusia dan aktivitasnya berdasarkan benda-benda peninggalan masa lalu.
Data-data arkeologis dapat disajikan dalam dua bentuk; bentuk ilmiah berupa laporan atau artikel di jurnal ilmiah dan bentuk populer, salah satunya muncul sebagai setting lokasi dalam film.
Bagaimana dengan sastra? Bisakah data-data arkeologis dipadukan dalam karya sastra?
“Salah satu yang mendorong saya menekuni arkeologi adalah film petualangan Indiana Jones yang banyak menampilkan artefak-artefak kuno yang bernilai sejarah. Film ini menjadikan salah satunya setting-nya berada di situs Petra Yordania,” katanya.
Beberapa film yang memanfaatkan situs-situs arkeologis sebagai lokasi cerita, misalnya Tomb Rider dengan latar Angkor Temple, Kamboja dan Java Heat yang berlatar Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.
Ia menyebutkan beberapa contoh proses penggalian yang dilakukannya sebagai arkeolog di Balai Arkeologi Papua, seperti penemuan tengkorak manusia kuno di di situs Yomokho, Kalhote Sentani. Penemuan terbaru adalah situs kolam air garam di Beneeraf, Sarmi.
Menurut Hari, dengan penemuan situs-situs arkeologis ini bisa ditarik kesimpulan terkait aktivitas-aktivitas manusia yang dilakukan di daerah tersebut pada zaman dahulu. Misalnya, masyarakat Beneeraf zaman dahulu sudah mengenal teknologi pengawetan daging dengan cara merendam binatang hasil buruan dalam kolam air garam yang memang terasa asin dan mengandung garam.
Hari membenarkan pernyataan salah satu peserta bahwa arkeologi memerlukan ilmu batu dari disiplin ilmu lain, seperti antropologi, etnografi, geologi, forensik, penanggalan melalui radio karbon dan lain-lain.
Berbeda dari etnografi yang narasumbernya adalah manusia yang masih hidup di zaman sekarang, sumber informasi arkeologi adalah benda-benda yang ditemukan pada situs-situs tertentu yang memiliki nilai sejarah. Sebagai catatan, Hari menandaskan bahwa suatu benda dimasukkan kategori arkeologis salah satunya minimal sudah berumur 50 tahun.
Pegiatan literasi Papua Dzikry el Han mengatakan empat teknik bagaimana memanfaatkan data-data arkeologis yang sangat kaya ke dalam karya sastra, baik puisi, cerpen atau novel.
Pertama adalah menetapkan setting atau latar cerita, kedua mengumpulkan data terkait latar cerita, baik dari sisi sosial, budaya, agama maupun gambaran lingkungan hidupnya. Ketiga memasukkan data-data dan informasi tersebut ke dalam alur cerita. Sehingga data-data apapun yang diceritakan bukan sekadar tempelan, tetapi menjadi bagian dari cerita yang tidak bisa dipisahkan.
Dzikry menyebutkan novel bernuansa arkeologis di Indonesia masih sangat jarang. Belum banyak sastrawan yang menjadikan data-data arkeologis sebagai kekuatan ceritanya. Salah satunya adalah novel berjudul Manusia Langit karya J.A Sonjaya yang mengisahkan seluk beluk budaya Pulau Nias dengan memanfaatkan data-data arkeologis tentang tradisi mengubur anak.
Melalui forum tersebut diharapkan pegiat sastra menggali dan memanfaatkan data arkeologis ke dalam karya sastra sehingga ragam sastra di tanah air semakin diperkaya. (*)