Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Grant Walton, Elena Ryan, dan Imelda Deinla
Menjelang KTT APEC tahun lalu, pejabat-pejabat senior sektor pertanian dari PNG dan Filipina, bertemu di tepi sawah di pinggiran Port Moresby untuk menandatangani suatu perjanjian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Memorandum perjanjian (MoA) berjangka lima tahun yang baru saja ditandatangani ini, memperkuat kerja sama kedua negara di berbagai komoditas di bidang pertanian, termasuk kelapa, kakao, kopi dan minyak kelapa sawit.
Namun, beras adalah komoditas paling penting dalam kesepakatan ini. Menteri Pertanian Filipina, Manny Piñol, dan Menteri Pertanian dan Peternakan PNG, Benny Allen, menandatangani perjanjian itu di sebuah lahan uji coba padi seluas 25 hektare yang terletak di sebelah Pacific Adventist University. Proyek percobaan itu telah dimulai sebelumnya sejak Agustus tahun lalu, dibantu 19 pakar beras asal Filipina dengan menggunakan persediaan dan peralatan yang diimpor dari sana.
Pada hari penandatanganan itu, di podium, Piñol dan Allen menggambarkan perihal tersebut dengan berapi-api. Piñol menyatakan produktivitas proyek itu jauh melebihi harapan mereka. Dia memperkirakan fase berikutnya dari proyek ini, akan menambah 4-5 megaton (4-5 juta metrik ton) produksi beras di PNG dalam 2 tahun.
Itu adalah prediksi yang sangat luar biasa. Angkat itu menunjukkan peningkatan 5-600 kali lipat dari produksi PNG saat ini: PNG saat ini hanya memproduksi kurang dari 2 persen dari 400.000 ton beras yang dikonsumsi setiap tahun. Untuk merealisasikan ini, pakar dari Filipina akan membantu mengembangkan lahan padi yang lebih besar di Provinsi Sepik Timur.
Kementerian Pertanian PNG berencana memberikan lahan sebesar 100.000 hektare kepada perusahaan-perusahaan Filipina. Namun kedua pemerintah ingin mengembangkannya menjadi satu juta hektare dalam lima tahun mendatang, jika berhasil. Lahan padi kecil di pinggiran ibu kota PNG telah disulap menjadi ‘ladang impian’ Piñol dan Allen.
Dari sisi PNG, perjanjian itu menjanjikan kemandirian, sebagai tujuan utama dari kebijakan beras Rice Policy PNG 2015-2030. Seperti yang diuraikan oleh peneliti Ron Sofe dan Francis Odhuno dari National Research Institute, selama beberapa dekade belakangan pemerintah PNG telah menggunakan berbagai cara, untuk meminta pemilik tanah adat menyerahkan lahan demi produksi beras besar-besaran, namun mereka tidak pernah berhasil. Pemerintah PNG berharap keahlian dan optimisme Filipina akan berhasil setelah berulang kali gagal. Kesepakatan itu juga berkomitmen untuk mengubah PNG menjadi negara pengekspor beras, yang nantinya akan menaikkan devisa negara.
Meskipun disebut-sebut sebagai contoh tindakan filantropi Selatan-selatan, Filipina juga memiliki banyak harapan dari kesepakatan ini. Pertama, Filipina berharap untuk bisa mengimpor beras dari PNG yang tidak digunakan di dalam negeri, agar bisa mengamankan pasokan berasnya sendiri. Meskipun Filipina memproduksi 93 persen dari keperluan beras dalam negeri, keamanan pangan beras (rice security) merupakan salah satu tujuan kebijakan yang sudah lama ada dan sangat politis.
Menteri Piñol telah mendorong kerja sama dengan PNG ini, sebagai cara mengurangi ketergantungan bangsanya pada eksportir lainnya – India, Vietnam, Thailand, dan Birma – yang kadang-kadang mengalami kesulitan memberi makan populasi mereka sendiri, dan dapat menghentikan ekspor beras mereka sewaktu-waktu untuk melindungi kepentingan mereka sendiri (seperti krisis pangan 2007-8). Piñol percaya PNG dapat memproduksi beras dengan harga yang sama, bahkan mungkin lebih murah, daripada negara-negara eksportir lainnya.
Namun, Filipina ingin jauh lebih banyak dari kesepakatan itu daripada sekadar beras. Saat mempromosikan perjanjian tersebut, Piñol juga menyinggung keputusan PNG untuk menaikkan biaya bagi kapal-kapal penangkap ikan di perairan negara itu. Proposal itu ‘tidak adil’ bagi perusahaan-perusahaan perikanan Filipina lainnya, menurut Piñol. Selain itu, Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill, juga ingin agar semua ikan yang ditangkap di perairan PNG diproses di dalam negeri, ini akan mengancam industri pengolahan ikan tuna Filipina. MoA ini diharapkan bisa membantu mempermudah perusahaan-perusahaan Filipina yang bekerja di PNG dan perairannya.
Banyak warga Filipina skeptis atas perjanjian tersebut. Akhir tahun lalu, Trinidad Santiago, anggota National Movement for Food Sovereignty, dikutip mengatakan, “Mengapa kita harus memborong produk-produk negara lain, ketika pemerintah kita bisa mendukung petani lokal kecil – mereka juga bisa memberi makan negara”. Politisi-politisi terkemuka juga telah mendesak alokasi sumber daya agar lebih banyak diberikan untuk petani Filipina, bukan PNG.
Namun di PNG, diskusi publik tentang implikasi dari perjanjian tersebut sangat terbatas. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat gagalnya beberapa skema pertanian baru-baru ini, dan tantangan-tantangan lainnya terkait kepemilikan tanah yang komunal.
Sektor swasta di Filipina akan memimpin penerapan dalam produksi beras, Piñol menjanjikan saham sebesar 20 persen kepada para pemilik tanah. Di PNG, pengaturan semacam itu akan sulit untuk dikelola. Misalnya, skema izin khusus Special Agricultural Business Lease PNG (dimulai sekitar 2004) yang menjanjikan mekanisme hukum, untuk memungkinkan pemilik tanah lokal menyewakan tanah mereka pada perusahaan asing, yang lalu akan dikembangkan menjadi proyek-proyek pertanian.
Berbagai analisis atas skema itu menunjukkan, hal itu telah menyebabkan semakin maraknya isu korupsi, kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan pelanggaran HAM. Komite Penghapusan Diskriminasi Ras (UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination) berpendapat bahwa skema tersebut, mungkin telah melanggar hak-hak masyarakat adat.
Besarnya skala proyek beras yang diusulkan – hingga satu juta hektare – berarti pihak yang terlibat perlu bernegosiasi dengan berbagai kelompok pemilik tanah. Untuk memenangkan hati dan persetujuan pemilik-pemilik tanah itu tidak mudah, dan bisa menjadi sangat sulit – tanyakan saja pada berbagai perusahaan tambang di PNG.
Perjanjian ini memerlukan pengawasan yang ketat dan berkesinambungan. Sementara upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan kedua negara patut dipuji, tata kelola PNG yang buruk dan sistem kepemilikan tanah komunal dapat mengubah ‘ladang impian’ Piñol dan Allen menjadi mimpi buruk. (Development Policy Centre, Australian National University)
Editor: Kristianto Galuwo