Apakah benar Tiongkok picu kerusuhan di Kepulauan Solomon?

Anak-anak muda lokal di Honiara, Pulau Guadalcanal, Kepulauan Solomon. - Flickr

Papua No.1 News Portal | Jubi

Kebencian terhadap pengusaha keturunan Tiongkok dan usaha-usaha mereka sudah lama ada dan telah memicu kekerasan di daerah Chinatown di Kota Honiara, Kepulauan Solomon.

Keputusan yang diambil oleh pemerintah Kepulauan Solomon untuk mengalihkan pengakuan diplomatiknya dari Taiwan ke Beijing telah disebut sebagai alasan dibalik pembakaran dan penjarahan di ibu kota negara itu, Honiara, di mana para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri perdana menteri negara itu.

Polisi, tentara, dan diplomat asal Australia telah berupaya membantu kepolisian setempat untuk memulihkan kedamaian dan ketertiban, sambil terus berusaha tidak campur tangan dalam perselisihan politik dalam negeri. Mereka lalu digabung dengan bantuan personil dari Selandia Baru, Fiji, dan Papua Nugini.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pecahnya kerusuhan tersebut.

Hal pertama adalah terkait sejarah negara itu. Kepulauan Solomon merupakan salah satu medan pertempuran Perang Dunia Ke-2, Pertempuran Guadalcanal yang sangat penting menerima namanya dari pulau terbesar di negara itu, di mana ibu kota Honiara yang kaos berada.

Saat itu Kepulauan Solomon masih dikenal sebagai Kepulauan Solomon Wilayah Protektorat Inggris atau British Solomon Islands Protectorate, itu kemudian menjadi Kepulauan Solomon sebelum merdeka pada tahun 1978. Negara di Pasifik Selatan dengan populasi 700.000 jiwa — kebanyakan orang Melanesia, tetapi ada juga orang Polinesia, Mikronesia, Tiongkok, dan Eropa — adalah, seperti negara-negara tetangganya Australia dan Selandia Baru, sebuah negara dengan sistem monarki konstitusional dimana Ratu Elizabeth II adalah kepala negaranya.

Migrasi orang-orang dari Malaita, pulau terbesar kedua di negara itu dan provinsi terpadat, untuk mencari peluang ekonomi di Guadalcanal dan Honiara memicu ketegangan etnis dan, akhirnya, kerusuhan.

Pada akhir 1990-an, penduduk asli Pulau Guadalcanal, yang dikenal sebagai Guales, melakukan kampanye kekerasan dan intimidasi untuk mengusir orang-orang Malaita dari pulau itu. Kelompok yang disebut Malaita Eagle Force dibentuk untuk melindungi mereka selang kerusuhan yang lalu menyebabkan pemerintah mengumumkan keadaan darurat selama empat bulan pada 1999.

Saat itu Australia dan Selandia Baru menolak permohonan pemerintah Kepulauan Solomon untuk mengerahkan bantuan aparat. Dengan anggota kepolisian berasal dari dua etnis yang berlawanan, hukum dan ketertiban di Guadalcanal pun kolaps.

Pada 2000, Malaita Eagle Force menculik Perdana Menteri Bartholomew Ulufa’alu, juga berasal dari Malaita, karena mereka merasa dia tidak maksimal dalam membantu perjuangan orang-orang Malaita.

Ulufa’alu lalu mengundurkan diri sebagai agar dapat dibebaskan, dan Perdana Menteri yang menjabat saat ini, PM Manasseh Sogavare, memulai masa jabatannya yang pertama dari empat periodenya sebagai pemimpin negara yang tidak stabil.

Keterlibatan Tiongkok dalam kerusuhan kali ini

Tiongkok telah memberikan satu alasan lain bagi masyarakat untuk terpecah. Sementara pemerintah pusat mendukung Beijing, pemimpin-pemimpin Malaita masih bersikeras untuk mendukung Taiwan.

Pulau Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri berpisah dari daratan Tiongkok setelah ada perang sipil pada tahun 1949, tetapi sampai sekarang Beijing masih mengklaim itu sebagai bagian dari wilayahnya dan telah meyakinkan hampir semua negara di seluruh dunia, kecuali 15 negara dimana kebanyakan dari mereka negara-negara kecil di Afrika dan Amerika Latin, untuk mengakui Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok.

Tetapi para ahli memiliki pandangan yang berbeda. Menurut mereka kerusuhan di Kepulauan Solomon baru-baru ini dipicu oleh faktor-faktor fundamental yang sama yang telah merusak tatanan sosial selama beberapa dekade, yaitu pertentangan antar pulau dan etnis, pandangan bahwa pembagian sumber daya antara Guadalcanal dan Malaita itu tidak memadai, kemiskinan yang meluas, dan angka pengangguran orang muda yang tinggi.

“Ketegangan geopolitik memang telah menjadi pemicu kerusuhan ini, tetapi itu bukan penyebab utama,” tutur Jonathan Pryke, direktur program Kepulauan Pasifik di lembaga think tank kebijakan internasional, Lowy Institute.

“Saya tidak mempertanyakan tingginya sentimen pro-Taiwan di Malaita, tetapi (kerusuhan) itu juga merupakan cara lain bagi orang-orang Malaita untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka pada pemerintah nasional,” tambahnya.

Pryke juga menekankan bahwa masih terlalu dini untuk menilai apakah Kepulauan Solomon akan mendapat keuntungan finansial dari peralihan hubungan diplomatik mereka ke Beijing yang terjadi pada 2019. Meskipun iming-iming dukungan finansial yang dijanjikan Beijing bagi Kepulauan Solomon untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan belum juga membuahkan hasil, Kepulauan Solomon juga sudah menutup perbatasannya selama pandemi, yang membatasi keterlibatan Tiongkok di sana.

Kebencian terhadap pengusaha keturunan Tiongkok dan usaha-usaha mereka sudah lama ada dan telah memicu kekerasan di daerah Chinatown di Honiara pada 2006, dan hal yang sama berulang lagi pekan lalu.

“Komunitas Tionghoa di Kepulauan Solomon itu rentan karena mereka tidak memiliki dukungan berbasis adat,” ungkap Pryke. “Mereka tidak punya suku-suku atau keluarga yang akan memberi mereka kekuatan dalam keadaan rusuh semacam ini.”

Bagaimana Australia bisa terlibat?

Australia dan Kepulauan Solomon menandatangani perjanjian keamanan bilateral pertama mereka pada 2017 lalu. Perjanjian ini memberikan dasar hukum untuk pengerahan kilat aparat polisi, pasukan militer, dan warga sipil terkait dari Australia ke sana jika terjadi masalah keamanan yang besar.

Kepolisian Australia, Australian Federal Police, langsung merapat dengan menggunakan pesawat militer beberapa jam setelah Sogavare menyinggung perjanjian itu Kamis lalu.

Australia telah memimpin pasukan polisi dan militer negara-negara Kepulauan Pasifik di lapangan di bawah misi Regional Assurance Mission to Solomon Islands, atau RAMSI, dari 2003 sampai 2017. Misi ini mencakup 2.300 polisi dan tentara dari 17 negara, diundang oleh pemerintah Solomon. Pengerahan itu berhasil mengakhiri konflik yang menewaskan 200 orang.

Dalam lima tahun yang oenuh kerusuhan sebelum RAMSI tiba, Kepulauan Solomon hampir menjadi negara gagal.

Perjanjian bilateral itu mengakui bahwa penyebab utama kerusuhan itu sebenarnya masih ada dan menimbulkan tantangan-tantangan dalam pembangunan.

“Kepulauan Solomon akan memerlukan dukungan yang berkelanjutan agar dapat mempertahankan capaian-capaian di bawah RAMSI dan untuk membantu membangun kestabilan secara jangka panjang dan pertumbuhan yang bertahan lama,” tekan pemerintah Australia pada 2017. (The Diplomat)

Rod McGuirk melaporkan untuk Associated Press dari Canberra, Australia.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply