“Apa gunanya ada rumah sakit tanpa satu pun dokter?”

Seorang ibu muda di Samoa, Fuatai Vaea Tupuola, menggendong bayinya, Satai Penina Tupuola, bersama dengan putranya, Mathew Tupuola. - Samoa Observer/Aufa'i Areta Areta
Seorang ibu muda di Samoa, Fuatai Vaea Tupuola, menggendong bayinya, Satai Penina Tupuola, bersama dengan putranya, Mathew Tupuola. – Samoa Observer/Aufa’i Areta Areta

Oleh: Mata’afa Keni Lesa*

Seorang ibu muda dari Siumu bernama Fuatai Vaea Tupuola tampil dengan bayinya di halaman depan koran Samoa Observer pada hari Kamis (25/4/2019) dengan cerita bertajuk ‘Terbatasnya tenaga dokter sebabkan kesalahan diagnosis – tuding seorang ibu.

Read More

Kisahnya ini layak ditinjau kembali. Karena kita sangat yakin, dia bukan satu-satunya ibu di Samoa yang terpaksa menghadapi hal itu.

Fuatai menceritakan saat ia mengantarkan bayinya yang berumur dua minggu ke Rumah Sakit tingkat Distrik di Poutasi pada hari Sabtu, 13 April. Bayinya mengalami infeksi dada dan kesulitan bernapas karena terus-menerus batuk.

Seperti yang dilakukan oleh setiap ibu, Fuatai membawa bayinya ke rumah sakit dengan harapan mendapat bantuan. Tetapi setiba di rumah sakit petugas mengatakan tidak ada dokter bekerja pada hari Sabtu.

Namun bukan itu saja persoalan yang terjadi. “Kami diarahkan oleh seorang perawat agar bayi saya diberikan obat,” katanya. Dan ternyata dokter memang tidak ada karena di rumah sakit itu, pasien hanya bisa bertemu dokter pada hari Jumat. Hari-hari lainnya orang-orang dirawat oleh para perawat.

Bayi Fuatai tidak kunjung membaik, dan ketika Fuatai kembali lagi pada hari Minggu, ia menerima saran yang sama, untuk meminum obat. Namun bayinya tetap tidak membaik sampai hari Senin (15/4/2019), dan sang ibu pun memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit Meaole Tupua Tamasese di Moto’otua.

“Kami harus bangun pagi-pagi untuk bisa naik bus ke kota,” katanya. “Saya tidak punya uang, tetapi untungnya sopir bus itu kasihan melihat kami.”

Sesampainya di Rumah Sakit Tupua Tamasese Meaole, kisah ini menjadi lebih luar biasa. “Dokter, yang kami temui, segera memasukkan putri saya ke rumah sakit dan memerintahkannya agar menjalani berbagai tes dan pemeriksaan sinar-X,” cerita ibu itu.

“Menurut dokter, anak saya seharusnya tidak diberikan obat sama sekali. Sebaliknya (dokter berkata ia) seharusnya langsung dirawat di rumah sakit saat saya membawa dia untuk pertama kalinya. Meskipun obat yang ia konsumsi itu berguna, tetapi dia baru berusia beberapa minggu dan obat ini tidak akan dapat mengobati kondisinya saat ini.”

Nah, ini menakutkan. Kita bahkan tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi jika bayi itu ternyata memiliki reaksi fatal terhadap obat yang diberikan kepadanya.

Dan jika dokter ini berkata bayi itu seharusnya tidak diberikan obat apa pun, mengapa seorang perawat memberikannya obat? Apakah ini biasa terjadi disini? Padahal ini sangat tidak normal.

Bukan kasus Fuatai saja

Namun di Samoa, skenario seperti ini tidak hanya terjadi pada Fuatai dan Rumah Sakit Distrik Poutasi. Kita melihat dan mendengar begitu banyak kasus serupa dari seluruh penjuru negeri. Ini adalah gambaran dari sistem pengelolaan kesehatan di Samoa saat ini. Ini sudah tahun 2019, namun kita masih terus mendengar cerita-cerita menakutkan seperti ini.

Kabar baiknya bagi ibu berusia 26 tahun ini adalah, setelah bayinya dirawat selama tujuh hari, mereka dipulangkan dan bayinya sekarang dalam keadaan baik. “Saya berterima kasih kepada semua perawat dan dokter di rumah sakit untuk layanan mereka,” katanya penuh haru.

“Tetapi saya sangat percaya bahwa kita memerlukan tenaga dokter setiap hari di semua rumah sakit tingkat distrik – karena bagi sebagian kita yang tidak mampu membiayai perjalanan ke kota dan pulang kembali, proses ini sangat merepotkan – apa gunanya ada rumah sakit tanpa satu pun dokter?”

Dan itulah inti permasalahannya.

Ayah Fuatai berusia 68 tahun, Tiatia Vaea Tupuola, mengungkapkan sentimen serupa. “Kami tidak ini mendiskreditkan pekerjaan para dokter atau perawat, tetapi kami meminta agar layanan mereka juga disediakan untuk kami, tidak hanya untuk rumah sakit di kota, tetapi juga yang lebih dekat ke kampung-kampung.”

Ia menambahkan, orang yang sakit tidak bisa menunggu sampai hari Jumat, hingga dokter datang ke Poutasi. “Jika kita terpaksa menunggu sampai hari Jumat, siapa yang akan disalahkan jika ada tragedi menimpa orang-orang  sakit saat mereka menanti dokter yang datang hanya seminggu sekali?”

Sekali lagi, ini adalah pertanyaan yang sangat masuk akal. Itulah sebabnya, penting sekali bagi pihak yang berwenang untuk tidak masa bodoh dan mengabaikan kekhawatiran-kekhawatiran yang diungkapkan oleh Fuatai.

Berapa banyak nyawa yang perlu dipertaruhkan sebelum sistem pengelolaan kesehatan saat ini akhirnya diperbaiki? Sepertinya Menteri Kesehatan yang baru, Faimalotoa Kika Stowers, memerlukan bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa, saat ia menjejakkan kaki di kantor barunya Senin lalu.(*)

*Mata’afa Keni Lesa adalah salah satu editor untuk Samoa Observer. (Samoa Observer)

Editor: Zely Ariane

Related posts

Leave a Reply