Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Mama Mote bicara penuh emosi. Sesekali ia berdiri, menegaskan kesimpulannya dengan suara gahar. “Otsus itu seperti tidak dirasakan. Sekolah banyak tak terurus, guru tidak datang, yang sarjana mati bodok-bodok di jalan, di kali. Sakit hati sekali,” .
Matanya lalu berkaca-kaca.
Perempuan bernama lengkap Welmina Mote itu, bersama enam orang lainnya berpartisipasi dalam forum diskusi terbatas di Ugibutu, Enarotali Paniai, Kamis (25/10/2018) lalu. Forum itu membedah, menilai dan merenungi perjalanan Otonomi Khusus yang sudah 17 tahun berlangsung di Tanah Papua, sejak ditetapkan UU Otsus No.21 tahun 2001 silam.
“Tidak ada yang dijalankan serius, semua mau uang merah saja. Tidak ada itu jadi tuan di tanah sendiri. (Bagaimana) mau jadi tuan, tapi mati kiri kanan,” kata Mama Mote menyesalkan situasi pendidikan dan ekonomi di Tanah Papua serta kematian yang datang silih berganti.
Topik soal Otsus menghangat ulang akhir-akhir ini. Pemerintah Provinsi Papua mendorong RUU Otonomi Khusus Plus. Semacam pasang kuda-kuda menghadapi berakhirnya Otsus beberapa tahun mendatang.
Sem Pekei, tokoh masyarakat setempat dan Aparat Sipil Negara (ASN) menilai, selama era Otsus masing-masing institusi jalan sendiri-sendiri. “Dinas-dinas, gereja, masyarakat jalan sendiri. Sambil uang masuk kiri kanan. Kalau dulu (sebelum Otsus) secara moral orang bertanggung jawab atas tugas. Tapi setelah ada UU Otsus malah terbalik. Uang yang buat orang jalan, bahkan dikorupsi,” kata dia.
Kata dia, Sumber Daya Manusia Papua tidak sungguh-sungguh dibangun. Birokrasi pemerintahan diisi orang-orang tak berkompeten.
“Jabatan diberi karena lihat keluarga. Bukan kemampuan. Sepanjang SDM Papua tidak terbangun, Otsus tidak berguna,”
Padahal menurutnya, dulu pertanian maju. Tapi sekarang raskin (rastra) dan bantuan-bantuan tunai masuk merusak produktivitas masyarakat. Hasilnya orang-orang dari luar Papua akhirnya masuk ambil semua potensi ekonomi ”Sampai jual pinang saja dong ambil,” imbuhnya.
Perempuan tersingkir
Peserta diskusi yang didominasi perempuan itu menilai, 17 tahun Otsus di Papua lebih banyak buruknya ketimbang kebaikan. Khususnya terhadap perempuan dan anak-anak.
Maria Gobai, aktivis perempuan Paniai menyoroti era Otsus yang justru menghasilkan lebih banyak perempuan putus sekolah. Pembinaan keluarga pun nihil.
“Sangat memprihatinkan. Putus sekolah begitu saja. Kalau dulu ada pembinaan di SKB, sekarang tidak ada,” ujar perempuan yang telah lama aktif mengadvokasi hak-hak politik perempuan Paniai ini.
Sanggar Kegiatan Belajar Enarotali, ditujukan khusus membina kapasitas perempuan-perempuan muda Katolik. Sebelum era Otsus, SKB sangat aktif membantu meningkatkan kapasitas perempuan muda di Paniai.
Memang diakuinya, perempuan berpendidikan telah bertambah selama era Otsus. Namun hal itu tidak diikuti pendidikan khusus keterampilan dan kapasitas perempuan.
“Pendidikan khusus perempuan sangat kurang, (karena itu) SKB harus dipulihkan lagi,”
Selain itu, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Paniai pun nihil di periode lima tahun terakhir. Padahal, potensi perempuan setempat cukup besar. Tapi tidak terwadahi.
“Sekarang ini banyak perempuan-perempuan yang sudah selesai sekolah (sarjana—ed) tapi tidak ada yang bicara di legislatif. Padahal perempuan lebih merasakan langsung berbagai persoalan keluarga. Perempuan mampu berkebun, tanam nota (ubi jalar), pikul anak. Tapi siapa suarakan mereka?,”
Gobai juga mengingatkan, perempuanlah paling banyak jadi korban kekerasan. Mulai dari lingkungan keluarga hingga politik negara.
Selama Otsus berjalan ini, menurutnya belum ada kemajuan signifikan pada taraf hidup perempuan di Paniai. Padahal, kaum perempuanlah yang lebih banyak hadir ke muka publik.Mencegah konflik maupun mencari solusinya.
Otsus untuk ‘Orang Khusus’
Otsus punya tiga pilar yang jadi tolak ukur sejauh mana Orang Asli Papua mendapat manfaatnya. Yaitu: perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan.
Namun bagi Agustinus Pigai, tokoh pemuda Paniai, ketiga pilar itu trada wujudnya. “Pemberdayaan di semua sektor itu tidak ada, kita tersingkir di segala bidang. Tidak ada pasar, tidak bisa bersaing, tidak diberi kesempatan,” ujarnya.
Di samping itu, ada lapisan khusus masyarakat yang justru mendapat kemudahan akibat Otsus. Hsebagaimana disindir Agus Kadepa, seorang penggerak pendidikan komunitas asal Tuguwai, Agadide, Paniai.
Menurutnya, keberpihakan, perlindungan pemberdayaan itu hanya untuk orang khusus. “ Orang-orang khusus itu ya para pejabat Otsus, serta para pendatang yang mendapatkannya,” sindirnya.
Baginya Otsus itu terbukti hanya membawa kehancuran bagi mayoritas Orang Asli Papua. “Generasi Otsus itu sekarang berusia sekitar 18 tahun. Mereka justru lebih banyak hancur berantakan. Tidak terdidik,” ujarnya.
Diskusi terbatas itu difasilitasi Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA). Diselenggarakan sebagai bagian dari kajian FOKER (Forum Kerjasama) LSM Papua.
FOKER LSM, bersama partisipan, sejak awal terlibat dalam penyusunan rancangan UU Otsus 17 tahun lalu.
Dokumen Rencana Aksi Inpres No 9/2017 Bappenas mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua antara tahun 2011-2016, memang lebih rendah dibandingkan IPM nasional. Namun, disebutkan selama tahun 2015-2016, Provinsi Papua mencatat pertumbuhan IPM tertinggi di Indonesia (1,40 persen). Jauh di atas rata-rata nasional yakni 0,91 persen (BPS, 2017).
Kurun tujuh tahun terakhir (2011-2017), mengutip data Bappenas, Provinsi Papua mampu menaikkan IPM sebesar 4,08 persen. Lebih tinggi dibandingkan Provinsi Papua Barat yang naik sebesar 2,31 persen.
Ada kemarahan besar pada forum kecil para tokoh di atas. Klaim angka-angka itu seolah jauh dari fakta. Mungkin lebih jauh dari jarak Papua-Jakarta..(*)