Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Saat seluruh dunia sedang berpacu dengan waktu dan berjuang untuk melawan virus corona. Hingga seolah terlupa bahwa setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia.
Tujuan peringatan ini untuk membangun kesadaran umum tentang penyakit ini serta bagaimana mengurangi wabah penularannya. Antara Mycobacterium TB dan virus corona sama sama bisa menelan korban jiwa.
Bedanya hanya vaksin virus corona masih dalam ujicoba dan penelitian sedangkan TB sudah lama ditemukan obatnya berupa suntikan BCG. TB bisa disembuhkan asalkan rajin minum obat secara teratur selama enam bulan. Jika tidak minum secara teratur dan terhenti justru membahayakan, bisa resisten terhadap obat tersebut.
Dikutip dari Wikipedia.org, pada 24 Maret 1882 merupakan hari di mana Robert Heinrich Herman Koch, seorang ilmuwan asal Jerman yang mengumumkan bahwa ia telah menemukan penyebab dari penyakit Tuberkulosis, yakni Mycobacterium tuberculosis.
Pada saat itu, wabah ini sedang menyebar di Eropa dan Amerika, yang menyebabkan kematian satu dari tujuh orang. Untuk mengenang jasanya inilah sehingga tanggal penemuan penyakit TB ditetapkan sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia.
Robert Heinrich Herman Koch lahir di Jerman, kota Clausthal, pada 11 Desember 1843, meninggal di Karlsruhe pada 27 Mei 1910. Ia dianggap sebagai pendiri modern bakterilogi karena perannya dalam mengindentifikasi agen penyebab spesifik TB, kolera, dan anstraks.
Untuk memberikan dukungan eksperimental untuk konsep penyakit menular, selanjutnya dalam usaha penanganan kuman ini, peneliti Alberth Calmette dan Jean Camille Guerin mengembangkan vaksin yang dikenal dengan nama Bacille Calmete Guerin atau disingkat BCG pada 1921.
Umumnya vaksin ini tak diberikan kepada para penderita TB, tetapi anak-anak dan manula (manusia usia lanjut) guna menanggulangi pencegahan tuberkulosi. Bukan berarti setelah mendapat vaksin ini orang itu terbebas dari penyakit TB karena tetap akan menderita kalau tidak melindungi diri dari serangan kuman, baik lewat udara maupun berdekatan. Tak heran kalau di RS sudah pasti ruangan penderita TB pasti berbeda atau tertulis ruang khusus paru tuberculosis.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesadas) 2018, prevalensi TB di Indonesia mencapai 0,42 persen. Angka ini terdistribusi pada semua kelompok umur dan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung termasuk di perkotaan. Global TB Report 2019 mencatat, insiden TB di Indonesia sebanyak 845 ribu kasus, nomor dua tertinggi di dunia setelah India sebanyak 2,69 juta kasus.
“Tantangan penangulangan TB di tahun 2020 ini diperberat dengan adanya pandemi virus Corona (COVID-19) yang membutuhkan langkah tepat dan efektif,” pernyataan resmi dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), berdasarkan rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (24/3/2020).
Lalu bagaimana dengan kondisi penderita TB di Papua? Mengutip Antara, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mencatat terdapat 6.394 kasus sepanjang 2017. Sedangkan angka keberhasilan pengamatan TB baru sekitar 65 persen. Secara penemuan sudah bagus karena melewati target nasional.
Kasus TB di Tanah Papua, menurut Handbook on Netherlands New Guinea, published by the New Guinea Institute of Rotterdam, 1958 melaporkan pada 1956 dalam ikatan kerjasama dengan WHO dan UNICEF dilakukan satu kampanye dengan menggunakan vaksin BCG. Kampanye itu bertujuan melindungi 100.000 jiwa, dalam waktu tiga tahun.
Jubi mengutip www.who,int/news room menyebutkan TB tetap menjadi pembunuh yang paling mematikan di dunia. Setiap hari, lebih dari 4000 orang kehilangan nyawa karena TB dan hampir 30.000 orang jatuh sakit dengan penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan ini.
Upaya global untuk memerangi TB telah menyelamatkan sekitar 58 juta jiwa sejak tahun 2000. Untuk mempercepat respons TB di negara-negara untuk mencapai target – Kepala Negara berkumpul dan membuat komitmen kuat untuk mengakhiri TB pada Pertemuan Tingkat Tinggi PBB yang pertama kalinya di September 2018.
Tema Hari TB Sedunia 2020 – ‘Saatnya’ – menempatkan aksen pada urgensi untuk bertindak berdasarkan komitmen yang dibuat oleh para pemimpin global untuk:
- meningkatkan akses ke pencegahan dan perawatan;
- membangun akuntabilitas;
- memastikan pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan termasuk untuk penelitian;
- mempromosikan diakhirinya stigma dan diskriminasi, dan
- mempromosikan tanggapan TB yang adil, berbasis hak, dan berpusat pada orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan inisiatif bersama “Find. Memperlakukan. Semua. #EndTB ” dengan Global Fund dan Stop TB Partnership, dengan tujuan untuk mempercepat tanggapan TB dan memastikan akses ke perawatan, sejalan dengan dorongan WHO secara keseluruhan menuju Universal Health Coverage.
Hari TB Sedunia tahun ini, WHO menyerukan kepada pemerintah, masyarakat yang terkena dampak, organisasi masyarakat sipil, penyedia layanan kesehatan, dan mitra nasional/internasional untuk menyatukan kekuatan di bawah panji “Temukan. Memperlakukan. Semua. #EndTB ”untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. (*)
Editor: Dewi Wulandari