Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jakarta, Jubi – Pelapor Khusus Hak atas Pangan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Hilal Elver bertemu dengan sekitar 40 Orang Asli Papua (OAP) dalam rangkaian kunjungannya di Indonesia, 9 – 18 april 2018. Dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta, Sabtu (14/4/2018) pelapor khusus PBB ini mendengarkan berbagai laporan OAP yang berkaitan dengan pemenuhan pangan mereka.
Sekitar 40 (OAP) yang bertemu dengan pelapor khusus ini datang dari berbagai daerah di Tanah Papua, diantaranya Merauke, Asmat, Timika, Kota dan Kabupaten Jayapura, Yahukimo, Wamena, Nduga, Dogiyai, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Manokwari dan Kota Sorong. Mereka menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sebagai dampak dari kebijakan pangan dan pertanian Indonesia. Selain itu, juga aktivitas pertambangan, pembangunan infrastruktur, kegiatan perekonomian hingga keberadaan aparat keamanan yang berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.
Hilal Elver dalam pertemuan tersebut mengatakan tujuan kunjungannya adalah untuk berdialog secara konstruktif dengan para pemangku kepentingan yang relevan, untuk mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan dan tantangan yang ada serta untuk mengusulkan berbagai rekomendasi kepada pemerintah dan pihak-pihak lainnya.
“Ini bukan pertemuan pertama kali (OAP) dengan pelapor khusus. Sebelumnya sudah pelapor khusus untuk hak kesehatan sudah berkunjung ke Papua dan bertemu dengan masyarakat dan kelompok masyarakat sipil. Walaupun saya tidak berkesempatan ke Papua namun saya senang masyarakat Papua bisa datang bertemu saya di Jakarta dan berdiskusi,’ kata Hilal kepada Jubi usai pertemuan.
Seorang warga asal Kabupaten Nduga bermarga Tabuni, dalam pertemuan tersebut menyampaikan kebijakan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Nduga telah menghilangkan ruang-ruang sumber pencaharian masyarakat dan tempat berkebun. Ia mengibaratkan kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur bagaikan malaikat maut yang datang tanpa permisi, tanpa suara langsung mencabut nyawa.
‘Tidak ada kesempatan buat masyarakat untuk berdialog menyampaikan pandangan tentang pembangunan. Pembangunan datang begitu saja, lalu bunuh (budaya) kami,’ ujar warga berusia lebih dari 50 tahun ini.
Kebijakan pembangunan menurutnya telah membunuh budaya masyarakat Nduga yang punya relasi erat dengan tanah dan hutan.
Servasius Servo, tokoh masyarakat Keerom berkisah tentang peralihan lahan yang sangat tidak adil untuk kepentingan transmigrasi maupun perkebunan kelapa sawit yang dialami masyarakat Keerom. Menurutnya, lahan masyarakat di Keerom beralih ke tangan perkebunan kelapa sawit dengan harga yang sangat murah, bahkan tidak masuk akal. Ini telah menjadi persoalan sejak dulu yang terus berlanjut hingga saat ini. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Jayapura.
‘Bahkan ada yang hanya ditukar dengan gula dan garam,’ ujar Servius.
Foto yang diambil pada tahun 2008 ini menunjukkan sebuah excavators membabat pohon sagu untuk menyiapkan perkebunan kelapa sawit di lereh, Jayapura, Papua – Green peace
Persoalan lahan antara penduduk asli dengan masyarakat transmigrasi pemilik hak ulayat di dua kabupaten ini memang selama ini sering memicu konflik. Selain digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, hutan masyarakat dan hutan sagu banyak yang dihabisi untuk pembangunan jalan dan infrastruktur pemerintahan.
Servius bahkan mengkritik program sertifikasi tanah yang dijalankan pemerintah saat ini. Program sertifikasi tanah ini semestinya dilakukan setelah konflik-konflik tanah yang melibatkan masyarakat pemilik ulayat dengan pemerintah mendapatkan solusi yang jelas.
Pemerintah, melalui Menteri Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil mengatakan persoalan tersebut hingga kini masih dicarikan solusi penyelesaian terbaik. Ia mengakui bahwa masalah tanah ini adalah masalah lama yang harus dicarikan solusinya.
“Ini bukan hanya terjadi di Papua namun ditempat lain juga ada,” kata Sofyan Djalil usai menghadiri pembagian sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi di kantor Bupati Jayapura, Sentani, Rabu (11/4/2018).
Fransiska, seorang perempuan asal Kabupateni Yahukimo menjelaskan saat ini masyarakat di kampungnya menghadapi tantangan sangat berat dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Pengembangan makanan lokal, yakni ubi jalar tidak mendapatkan dukungan pemerintah, sebaliknya masyarakat dibanjiri dengan makanan dan minuman dari luar seperti mie instant, beras (raskin) dan makanan kaleng.
‘Anak-anak di kampung lebih banyak makan mie instant daripada ubi jalar yang sudah kami konsumsi sejak dulu. Sekarang mie instant lebih mudah didapatkan di kios daripada ubi jalar di pasar atau kebun’ ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Philipus dari Asmat. Ia membenarkan jika saat ini anak-anak lebih banyak makan mie instant. Bahkan di Agats, anak-anak diberi minum kopi instant. Hal ini terjadi karena makanan dan minuma instant tersebut begitu mudah masuk ke kampungnya.
“Ini mengancam generasi kami yang akan datang,” kata Philipus.
Limbah tailing PT. Freeport Indonesia dituding telah merusak ekosistem beberapa sungai di Kabupaten Mimika – Dok. Jubi
Pertambangan raksasa PT. Freeport Indonesia juga disinggung dalam pertemuan antara (OAP) dengan perempuan pelapor khusus asal Turki ini. Aktivitas Freeport disebutkan telah menyebabkan ‘kehidupan’ dua suku utama dikawasan pertambangan tersebut, yakni Komoro dan Amungme ‘sekarat’. Sungai-sungai di Timika hampir ‘mati’ karena limbah tambang. Masyarakat lokal semakin sulit mencari ikan dan pohon sagu banyak yang kering.
“Ditambah lagi dengan masuknya nelayan-nelayan dari luar Papua, kami semakin terdesak. Ini sudah makan korban satu orang mati karena ditembak aparat keamanan saat terjadi konflik antara nelayan (OAP) dengan nelayan non (OAP),’ ungkap mama Agustina, perempuan asal Suku Komoro, Mimika.
Hak atas pangan, menurut Hilal sangat berkaitan dengan kepemilikan lahan. Dan ia sangat menyadari bahwa di seluruh bagian dunia ini banyak lahan masyarakat yang hilang karena pembangunan dan bisnis. Karena itu, ia berniat memfokuskan kunjungannya pada upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengatasi kekurangan gizi serta dampak kegiatan bisnis terhadap pemenuhan hak atas pangan.
‘Juga memberikan perhatian lebih dalam kepada keadaan perempuan, anak-anak dan masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dan daerah terpencil,’ ujarnya menanggapi apa yang disampaikan oleh OAP dalam pertemuan dengannya itu.
Tujuan kunjungannya memang untuk berdialog secara konstruktif dengan para pemangku kepentingan yang relevan, untuk mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan dan tantangan yang ada serta untuk mengusulkan berbagai rekomendasi kepada pemerintah dan pihak-pihak lainnya.
“Saya akan menyelenggarakan konferensi pers untuk menyampaikan berbagai temuan awal kunjungan ini pada Rabu, 18 April 2018, di Jakarta,” kata Hilal.
Pengamatan dan rekomendasi Pelapor Khusus ini, menurutnya akan direfleksikan dalam laporan yang akan dilaporkan pada Sidang Dewan HAM PBB pada Maret 2019.
Hilal Elver ditunjuk sebagai Pelapor Khusus Hak Pangan oleh Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2014. Elver adalah seorang Profesor Riset, dan salah satu direktur Proyek tentang Perubahan Iklim Global, Keamanan Manusia, dan Demokrasi yang bertempat di Orfalea Center untuk Pusat Studi Global & Internasional dan anggota terhormat di University of California Los Angeles Law School (UCLA) Resnick Food Law and Policy Center. Pelapor Khusus adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia.Prosedur Khusus, badan ahli independen terbesar dalam sistem Hak Asasi Manusia PBB, merupakan nama umum dari mekanisme pencarian fakta independen dan mekanisme pemantauan yang membahas situasi negara tertentu atau masalah tematik di seluruh bagian dunia. Ahli Prosedur Khusus bekerja secara sukarela; mereka bukan staf PBB dan tidak menerima gaji untuk pekerjaan mereka. (*)