Analisis utang dan resep pengelolaannya di Pasifik

Bank Dunia memperkirakan kebutuhan pembiayaan jangka panjang - tidak hanya untuk proyek infrastruktur. - Development Policy Centre/Australian National University/Sean Kelleher/Flickr/CC BY-SA 2.0
Bank Dunia memperkirakan kebutuhan pembiayaan jangka panjang – tidak hanya untuk proyek infrastruktur. – Development Policy Centre/Australian National University/Sean Kelleher/Flickr/CC BY-SA 2.0

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Rommel Rabanal dan Cara Tinio (keduanya bekerja di Departemen Pasifik, Bank Pembangunan Asia)

Read More

Saat menganalisis keberlanjutan utang atau debt sustainability di Pasifik, kita perlu sangat berhati-hati.

Rasio utang asing terhadap PDB nasional negara, tolok ukur yang umumnya digunakan untuk menentukan kesehatan ekonomi suatu negara, dari pandangan sejenak mungkin terlihat tinggi dan tidak proporsional. Tetapi hal ini disebabkan oleh kecilnya basis ekonomi, secara umum, di Pasifik, dimana pada tahun 2017, delapan dari 14 negara anggota berkembang Pasifik (developing member countries; DMCs) anggota ADB memiliki jumlah PDB tahunan di bawah $ 500 juta.

Keunikan lainnya dari negara-negara Pasifik yang juga mempengaruhi hal ini adalah karena, untuk negara-negara paling kecil di kawasan ini – Kiribati, Tuvalu, dan Nauru – rasio antara pendapatan negara terhadap PDB selalu melebihi 100%. Memang benar, jumlah pendapatan pemerintah lebih tinggi daripada jumlah utang yang perlu dibayar di sembilan dari 14 negara DMC Pasifik pada 2017. Namun, ini tidak boleh ditafsirkan sebagai alasan untuk terus menerus meningkatkan jumlah utang negara.

Total pendapatan negara di Kepulauan Pasifik datang dari berbagai sumber yang tidak berkelanjutan atau tidak stabil kesuksesannya, seperti dari pembayaran lisensi penangkapan ikan, pembayaran royalti dari industri ekstraksi sumber daya alam, dan hibah. Dengan populasi berjumlah kecil yang tersebar di wilayah yang meluas, biaya operasional pemerintah naik menjadi sangat mahal, dan akibatnya, anggaran tahunan negara-negara ini umumnya defisit atau kalaupun surplus jumlahnya sangat minim, meskipun mereka memiliki pemasukan yang tinggi.

Geografi pulau-pulau yang terpencil dan tersebar luas, seperti sebagian besar negara di Kepulauan Pasifik, juga berarti biaya yang diperlukan untuk menyediakan infrastruktur pun meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri bahwa jarak menaikkan biaya impor untuk input, apa pun jenis input itu, apalagi input yang sebagian besar tidak tersedia di daerah setempat, atau untuk peralatan-peralatan yang diperlukan untuk proyek besar yang penting.

Selain itu, kerentanan negara-negara Pasifik terhadap bencana alam dan goncangan lainnya terkait iklim mendongkrak biaya infrastruktur, karena nilai investasi awal yang diperlukan lebih tinggi agar dapat memulai desain-desain tahan iklim. Demikian juga dengan pembelanjaan untuk memelihara dan melakukan perbaikan, yang pasti lebih besar akibat kerusakan yang sering terjadi karena iklim.

Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat risiko utang (debt risk ) di negara-negara berkembang telah meningkat secara substansial sejak 2013. Di Pasifik, khususnya, jumlah utang luar negeri dan utang negara sebagai persentase dari PDB, telah meningkat sampai sekitar 12 % rata-rata dalam lima tahun terakhir. Penaikan ini, terutama, didorong oleh pembiayaan proyek infrastruktur besar-besaran.

Ke depannya, Bank Dunia memperkirakan kebutuhan pembiayaan jangka panjang – tidak hanya untuk proyek infrastruktur, tetapi juga untuk investasi dalam modal manusia (human capital) atau potensi individu – akan mencakup lebih dari sepuluh persen dari PDB per tahun, untuk sebagian besar ekonomi Pasifik. Bank Dunia juga memproyeksikan bahwa biaya adaptasi perubahan iklim dapat menambah hingga lima sampai sepuluh persen dari PDB, dalam pendanaan tahunan hingga tahun 2040-an; persentase ini bisa mencapai lebih dari 20% untuk PDB negara-negara kepulauan dataran rendah dan atol seperti Kiribati dan Kepulauan Marshall, dengan penyebaran penduduk yang meluas serta kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan naiknya permukaan laut.

Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, setelah melakukan kajian atas sejumlah studi kasus, menemukan bahwa pengelolaan utang sehari-hari di Pasifik telah meningkat dari dulu hingga sekarang, namun bidang ini harus tetap dikembangkan lebih lanjut kapasitasnya. Pengalaman dari seluruh ekonomi di Pasifik yang telah berhasil mengelola utang negaranya dengan bijaksana, menunjukkan pentingnya mengembangkan pendekatan komprehensif yang mencakup, antara lain: memiliki strategi pengelolaan utang yang menyeluruh dan/atau membentuk badan penasihat pengelolaan utang antarpemerintah, menguatkan prioritas dalam investasi dan mekanisme uji tuntas ekonomi dan keuangan untuk memastikan keberlanjutan dari setiap proyek, memiliki hukum dan UU tentang manajemen keuangan negara yang umumnya dilaksanakan dengan cara mengadopsi kerangka fiskal jangka menengah dan rasio tanggung jawab fiskal, dan reformasi manajemen dalam organisasi sektor publik yang lebih meluas untuk meningkatkan efisiensi operasional.

Pendanaan melalui utang (debt financing) dapat memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur yang substansial di Pasifik, tetapi kerangka kerja uji tuntas dan pemantauan utang yang ketat diperlukan untuk melindungi semua pihak, termasuk kekhawatiran dalam pelunasan utang di masa depan dan kendala lainnya dari sumber daya pemerintah yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Komitmen tegas dalam pengelolaan utang, dipadukan dengan komitmen atas investasi publik dengan keuntungan ekonomi signifikan, akan sangat penting untuk menjaga ketahanan fiskal yang keberlanjutan (fiscal sustainability) sambil tetap mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Pasifik. (Devpolicy Blog oleh Development Policy Centre, Australian National University)

 

Reporter : Elisabeth C. Giay

Editor : Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply