Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1
Jayapura, Jubi – Di Distrik Obio, Kabupaten Yahukimo itu tidak ada SMP. SD di Kampung Penegik tidak ada guru, sehingga anak-anak mencari ilmu dan sekolah ke kota.
Aminus Senik, baru saja masuk kuliah Agustus lalu di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Santo Thomas Aquinas Jayapura, Jurusan Agro Teknologi. Dia datang menemui Jubi Minggu, Sabtu (1/10/2016) menceritakan pengalaman anak-anak Kampung Penegik, Distrik Obio, Kabupaten Yahukimo mencari sekolah.
Menurutnya butuh waktu sekitar satu setengah hari berjalan kaki dan seberangi setidaknya 6 Kali menuju Dekai, Ibu Kota Yahukimo, untuk masuk SMP.
Aminus melakukan perjalanan itu di tahun 2008, sewaktu ingin masuk SMP. “Sampai saat inipun masih seperti itu, adik-adik harus berjalan jauh dengan bekal seadanya. Biasanya di pegunungan semua seperti itu,” kata dia lagi.
Sambil mengingat perjalanannya Aminus menceritakan bagaimana dia bersama dua tiga kawannya yang lain sehari sebelum berangkat, sudah menyiapkan tikar untuk pelindung jika hujan, petatas dan pisang untuk bekal di jalan.
“Karena perjalanan jauh, biasanya orang tua sering menghalangi, karena mereka sayang kami, tidak mau kami pergi jauh-jauh,” ujar Aminus sambil mengenang perjalanannya.
Mereka sudah bergerak sejak pukul 3 pagi sebelum orang tua bangun. “Dalam perjalanan kami bisa tidur dimana saja, kadang di gua batu atau di camp seadanya. Itupun harus dengan rasa was-was, apalagi kalau hujan deras biasa longsor, atau batu-batu pegunungan yang pecah dan jatuh,” ujarnya.
Perjalanan itu ditempuh melewati Kali Obio, Kali Baliem, Kali Sumo, Kali Seng, Kali Brasa satu, Kali Brasa dua. “Menyeberang Kali Baliem ke Kampung Sumo dengan perahu biasa harus bayar antara Rp.700.000 sampai Rp.1.000.000. Perjalanan kira-kira 2 jam, lalu bermalam di Kampung Sumo.”
Aminus sebelumya sudah mengumpulkan uang untuk bekal dari berjualan hasil-hasil kebun di Asmat.
Dari Sumo perjalanan masih dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 4 jam, menyeberang kali lagi, berjalan lagi hingga bertemu Kali Brasa Satu dan menyeberang hingga tiba di Kota Dekai.
“Sekitar tahun 2009 saya akhirnya masuk SMP Negeri Dekai. Di kota saya tinggal dengan keluarga. Semua ini dilakukan anak-anak kecil di kampung hanya karena ingin sekolah.” kata Aminus.
Aminus berharap SMP sudah semestinya dibangun di Obio agar adik-adiknya ke depan tidak mesti melakukan perjalanan serupa. “SD Inpres YPK di Distrik Obio itu ada, tapi rumput tinggi karena guru seringkali tidak ada. Datang hanya saat ujian saja. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya.
Bagi Aminus, infrastruktur jalan itu nomor dua, yang paling penting justru sekolah dibangun dan aktif di distrik setempat.
Hal senada diungkapkan Koran Senik, mahasiswa USTJ Fakultas Teknik Industri dan Kebumian jurusan Teknik Pertambangan yang juga dari Kampung Penegik.
“Saya ke Wamena untuk masuk SD Inpres Aikima. Waktu itu saya juga dilarang Mama pergi, tapi saya betul mau sekolah, karena ada satu kaka di kampung yang sudah berhasil jadi mantri dan melakukan pelayanan kepada masyarakat. Melihat kaka itu rasa ingin sekolah agar bisa seperti dia,” kenang Koran ketika menceritakan pengalamannya sendiri.
Koran juga mengatakan, waktu pergi dari kampung bersama Kelaus, Wempi dan kawannya, dia hanya bilang akan pergi ke kota. “Mama tidak tahu saya mau ke Wamena untuk sekolah, saya hanya bilang kami mau ke kota. Kalau bilang nanti Mama tidak kasih izin. Mama mau kami jaga kampung di rumah,” kata Koran.
Koran berharap kampungnya bisa berubah, sekolah harus ada dan aktif. “Jangan hanya bangunan SD tapi malas mengajar. Pembangunan SMP itu harus. Kami orang-orang gunung ini pengalaman yang dirasakan hampir sama, hanya untuk mendapat ilmu dan sekolah jauh ke kota,” ujar Koran.(*)