Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Amnesty Internasional Indonesia menyebut tahun 2021 sebagai tahun yang berbahaya bagi para pembela hak asasi manusia di Indonesia. Hal itu dinyatakan Amnesty Internasional Indonesia saat mengumumkan catatan akhir tahunnya pada Senin (13/12/2021).
Amnesty Internasional Indonesia menyatakan sepanjang tahun 2021, banyak pembela hak asasi manusia (HAM) yang menjadi sasaran serangan, baik secara daring maupun luring, atas kerja-kerja pembelaan yang mereka lakukan. Amnesty mencatat para pembela HAM di Indonesia mengalami represi dan kriminalisasi atas kebebasan berekspresi mereka.
Amnesty menegaskan pemerintah Indonesia masih harus memperbaiki komitmen mereka dalam penegakan HAM. Amnesty mencatat, sejumlah serangan terhadap pembela HAM terus berlanjut, baik secara luring maupun daring.
Akan tetapi, hingga kini aparat penegak hukum tidak mengusut tuntas berbagai kasus serangan itu. Mandeknya pengusutan berbagai kasus serangan terhadap aktivis HAM memunculkan dugaan bahwa aktor negara terlibat dalam berbagai serangan itu.
Tak kunjung membaik
Amnesty mencatat aparat negara di Papua dan Papua Barat masih terus melakukan kekerasan di kedua provinsi itu. “Tahun lalu, kami menyoroti tren pelemahan [pemenuhan] hak asasi, dan berharap tahun ini [akan] tertoreh catatan yang lebih baik. Apa yang terjadi? Tidak terlihat ada perbaikan situasi HAM yang signifikan di negara ini,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
“Memang ada kebijakan yang dikeluarkan untuk memulihkan hak asasi. Namun, kriminalisasi terhadap mereka yang mempraktikkan hak secara damai juga terus berlanjut. Bahkan, jumlah [kriminalisasi dan serangan] untuk kelompok pembela HAM meningkat,” kata Usman, sebagaimana dikutip dari laman resmi Amnesty Internasional Indonesia.
Pada tahun 2020, Amnesty International Indonesia mencatat ada 93 kasus serangan terhadap pembela HAM, dengan total 253 korban. Berbagai serangan itu terus berlanjut di tahun 2021. Sepanjang tahun itu, ada setidaknya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM, dengan total 297 korban.
Baca juga: Teror di 2 kediaman kerabat Veronica Koman serangan terhadap demokrasi
Kasus tersebut menimpa pembela HAM dari berbagai sektor. Korban serangan itu beragam—mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa.
Sebanyak 55 dari 95 kasus serangan itu diduga melibatkan aktor negara, termasuk aparat kepolisian dan TNI, serta pejabat pemerintah pusat maupun daerah. Tren itu tidak banyak berbeda dengan tren tahun 2020, karena 60 dari 93 kasus serangan terhadap pembela HAM pada 2020 diduga dilakukan oleh aktor negara. Serangan-serangan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pembunuhan.
Amnesty menyoroti kasus serangan terhadap orangtua pengacara HAM, Veronica Koman yang terjadi pada bulan November. Pada pagi hari 7 November, dua orang tak dikenal mengendarai sepeda motor dan melemparkan bungkusan berisi bahan peledak ke garasi rumah orang tua Veronica Koman di Jakarta. Sebelumnya, pada tanggal 24 Oktober, dua orang pengendara sepeda motor menggantungkan sebuah bungkusan di pagar rumah orang tua Veronica, dan tidak lama kemudian bungkusan tersebut terbakar.
Baca juga: 8 pengibar bendera Bintang Kejora jadi tersangka makar
Amnesty juga menyoroti langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang membuat pengaduan pencemaran nama baik terhadap Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidayanti. Keduanya dilaporkan Pandjaitan ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE hanya karena mendiskusikan hasil kajian gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil tentang faktor pemicu pelanggaran HAM di Papua, termasuk dugaan keterlibatan beberapa tokoh militer dalam industri tambang di Papua.
Kasus ini masih terus diproses oleh polisi. Amnesty mengategorikan pengaduan pencemaran nama baik oleh Pandjaitan itu sebagai serangan terhadap pembela HAM.
Ruang kebebasan sipil makin menyempit
Kasus kriminalisasi dan represi terhadap warga yang menggunakan haknya untuk berekspresi sebagai bebas juga terus terjadi sepanjang 2021, salah satu metodenya dengan penggunaan UU ITE. Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat ada 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE, dengan 98 orang korban.
Selain itu, pasal makar kerap digunakan untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat politik secara damai, terutama di daerah Maluku dan Papua. Per Desember 2021, Amnesty mencatat masih ada setidaknya 26 tahanan hati nurani di Maluku dan Papua, yaitu orang yang ditahan atas tuduhan makar hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai. Terakhir, pada awal Desember, ada delapan mahasiswa di Jayapura yang dijadikan tersangka kasus makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Penyiksaan
Sepanjang Januari hingga November 2021, data pemantauan Amnesty International Indonesia mencatat sembilan kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat negara, dengan sepuluh korban. Sejumlah lima kasus diduga dilakukan oleh anggota Polri, dengan enam orang korban.
Sejumlah dua kasus lainnya diduga dilakukan oleh anggota TNI, dengan dua orang korban. Selain itu, ada dua kasus yang diduga dilakukan oleh petugas lapas, dengan dua orang korban.
Pada 26 Juli, misalnya, seorang pemuda difabel di Merauke bernama Steven Yadohamang menjadi korban penggunaan kekuatan berlebihan oleh dua orang anggota polisi militer TNI Angkatan Udara (AU). Steven dipiting dengan kasar oleh kedua polisi militer TNI AU itu setelah beradu mulut dengan warga lainnya. Kedua polisi militer menelungkupkan Steven di atas trotoar jalan, lalu kepalanya diinjak oleh salah satu polisi militer.
Di Papua, kekerasan dalam bentuk pembunuhan di luar hukum juga terus terjadi. Amnesty mencatat ada setidaknya 11 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan selama 2021, dengan total 15 korban. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G