Alasan ekonomi, picu perempuan Papua jadi PSK di Manokwari

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

AKTIVITAS perempuan di sekitar Pasar Sanggeng, tepatnya di belakang salah satu kantor Bank di Manokwari, terlihat tak umum. Wajah dipoles sedikit gincu dan bedak seadanya, mereka menunggu tamu yang akan berkunjung.

Kelompok perempuan itu bekerja layaknya pekerjaan seorang pekerja seks. Hanya saja secara terselubung dan di tempat itu. Bukan saja berasal dari luar Papua, Perempuan Papua pun ada yang bekerja di sana.

Tarif yang diberikan untuk sekali melayani pengunjung tak begitu mahal. Seorang pelanggan cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 200 ribu. Dengan tempat seadanya, dijamin aman karena ada beberapa pria yang ditugaskan sebagai penjaga.

"Pengunjung di sini lumayan ramai. Hampir setiap hari dari pagi sampai malam ada saja yang datang,” kata seorang pekerja.

Dia mengaku pekerjaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena ia tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Khusus perempuan asli Papua, terdapat lebih dari 10 orang perempuan bekerja di sana.

Meski tidak disebutkan tempat tinggal dan latar belakang kehidupan keluarganya, namun kondisi tersebut menggambarkan tentang kondisi yang sangat memprihatinkan dibalik keistimewaan berbagai program pemerintah melalui sejumlah OPD (Organisasi Perangkat Daerah) di Papua Barat secara khusus untuk perempuan Papua.

Tokoh perempuan Papua Barat, Yuliana Numberi, menyebut kelompok perempuan tersebut adalah korban kehidupan sosial.

“Mereka punya hak hidup dan menikmati pembangunan layaknya perempuan Papua lainnya yang mendapat perhatian dari pemerintah melalui program di sejumlah OPD,” katanya, kepada Jubi, Selasa (11/12/2018).

Menurutnya, soal prostitusi terselubung di tempat itu bukan hal baru, tapi sudah sejak lama. Hanya saja, belum ada pendekatan secara kemanusiaan dari pihak-pihak yang punya kepedulian terhadap mereka.

"Perempuan pekerja seks di lokasi itu mereka adalah perempuan yang terabaikan. Kita harus lihat kondisi itu sebagai sebuah isu yang sebetulnya menjadi program dan perhatian kita bersama. Karena mereka  lakukan aktivitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka," ujarnya.

Pemerintah, kata Numberi, jangan hanya memberikan perhatian kepada perempuan Papua yang berjualan pinang, sayur, dan buah di pasar atau di pinggiran jalan, tapi harus juga membantu dan memperlakukan para pekerja seks dengan cara yang sama.

"Itu kan sangat memprihatikan, padahal mereka punya hak hidup yang sama dengan perempuan lain. Jadi harapan saya, ke depan melalui kebijakan pembangunan yang lebih berperspektif gender, harus melibatkan semua perempuan tanpa bedakan status, posisi, agama, dan ras dia, tapi semua harus berdayakan dan jadikan dia sebagai subjek," ujarnya.

Jika dilihat dari kacamata gender, pekerja seks itu adalah korban dari kehidupan sosial masyarakat.

“Tapi kasihan, kita tidak tahu bahwa ketika dia lakukan hal itu berdampak pada kesehatan reproduksi dan kesehatan hidup terutama dalam pencegahan penyakit menular seksual yang beresiko bagi kesehatannya,” jelasnya.

Tetapi, lanjut Numberi, jika mereka tidak bekerja seperti itu, siapa yang mau memberi makan dia. Dengan perilaku dia seperti itu, Numberi berharap masyarakat tidak mengucilkannya, tetapi harus didatangi dengan pendekatan untuk mengetahui faktor yang mendorong mereka harus berlaku seperti itu.

"Kita mungkin tidak tahu kalau dia punya anak-anak yang butuh biaya atau punya suami yang tidak punya mata pencaharian, akhirnya dia jadi korban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ini yang perlu kita lihat ke depan, sehingga program pemberdayaan itu benar-benar ada akses, ada partisipasi, ada control, dan manfaat yang kita berikan di dalam memberdayakan seorang perempuan yang ada di masyarakat," ujar Numberi. (*)

Related posts

Leave a Reply