Aktivis pro West Papua: Indonesia hiper-sensitif

Portal Berita Tanah Papua No. 1 | Jubi ,

Jayapura, Jubi – Pemerintah Indonesia disebut hiper-sensitif menanggapi bahan material yang dikatakan beredar di kalangan pasukan pertahanan Australia terkait West Papua yang dianggap melecehkan Indonesia. Ancaman memutuskan hubungan kerjasama dengan dengan militer Australia dianggap wujud sensitifitas berlebihan tersebut.

Berbicara kepada NITV Australia, dilansir SBS Jumat (6/1/2017) Ronny Ato Bual Kareni, seorang seniman dan aktivis West Papua berbasis di Australia justru memuji Australia karena dituduh menyediakan material yang mengungkap kejahatan HAM di West Papua. Dia justru berharap Australia berbuat lebih berani untuk turun tangan terkait pelanggaran HAM yang terus terjadi di wilayah itu.

Ronny merasa kecewa karena pemerintah Indonesia menyensor isu-isu pelanggaran HAM di Papua dari pengetahuan publik internasional.

“Sebetulnya memalukan pemerintah Indonesia melalui militer mesti mengancam pemutusan kerjasama itu, karena kita kan hidup di abad 21 dan sangat penting bagi orang-orang untuk baku peduli, ujarnya.

Dia juga mengatakan jika Indonesia betul peduli pada hak azasi manusia, maka mestinya memainkan peran lebih pro aktif dalam menangani isu tersebut. Memasukkan isu HAM di bahan-bahan pengajaran jadi hal yang sangat penting. Bahkan saya kira pemerintah Australia harus menerapkannya ke dalam kebijakan luar negeri mereka, tegas Ronny.

Terkait bahan material pengajaran soal Timur Leste dan West Papua yang beredar di salah satu basis militer Australia itu, sebelumnya Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmatyo mengaku sakit hati dan tidak bisa menoleransi.

"Kurikulum dan pelajaran itu sudah menyakiti hati kami, dan bahan-bahan ajar itu sudah lama digunakan," kata dia.
Pejabat militer Australia dan Menteri Pertahanan Marise Payne, sudah meminta maaf dan melakukan investigasi terkait hal tersebut.

Bintang Fajar di KJRI Melbourne

Belum reda isu bahan ajar terkait West Papua tersebut, seorang aktivis hak sipil Australia membuat heboh pemberitaan media di Indoensia dan Kementerian Luar Negeri Indonesia karena masuk ke kantor KJRI di Melbourne dan membentangkan bendera Bintang Fajar.

Dalam pernyataan yang dilansir Australian Associated Press Minggu (8/1) Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendesak pejabat Australia untuk menindak pemrotes, melalui video yang beredar luas di media sosial, tampak masuk dengan memanjat atap KJRI di Melbourne lalu membentangkan bendera Papua Merdeka tersebut.

Marsudi meminta Australia melakukan investigasi menyeluruh dan memroses hukum pemrotes yang dia sebut sebagai pelaku kejahatan. Menlu mengakatakan bahwa tindakan itu adalah penerobosan dan benar-benar tak bisa ditoleransi.

"Australia punya kewajiban dan tanggung jawab untuk segera memroses tindakan melanggar hukum tersebut dan memastikan keamanan semua misi Indonesia di Australia," ujarnya.

Seperti diketahui menaikkan Bendera Bintang Fajar (Kejora) sebagai lambang bendera kemerdekaan West Papua dianggap melanggar hukum di Indonesia, sekalipun mantan Presiden Indonesia, Gus Dur pernah mengijinkan pengibaran bendera tersebut sebagai simbol budaya rakyat Papua.

Namun demikian, hingga saat ini, pengibaran bendera Bintang Fajar masih dianggap tindakan kriminal dan dapat berdampak hukuman penjara hingga belasan tahun.

Seorang pengacara publik yang aktif membela hak-hak politik rakyat Papua di Jakarta, Veronika Koman kepada Jubi Senin (9/1/2017) mengatakan respon Indonesia itu tersebut terlalu reaktif dan mengabaikan persoalan yang justru perlu untuk dipikirkan ulang terkait West Papua.

"Semakin Indonesia bersikap reaktif terkait West Papua, apalagi pengibaran Bintang Kejora, sebetulnya akan semakin memalukan Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia, terlebih penduduk Indonesia, harusnya refleksi kenapa hingga WNA Australia mendukung pembebasan West Papua? Kenapa WNA justru lebih mengerti bahwa Pepera 1969, misalnya, dianggap tidak adil dan Papua berhak tentukan nasibnya sendiri?" ungkap Koman melalui sambungan telpon.

Terkait permintaan Menlu agar pemerintahan Australia menindak tegas pelaku pengibar bendera di KJRI itu, Koman menuding pemerintah Indonesia terlalu paranoid.

"Australia itu lebih demokratis ketimbang Indonesia, dan mereka tidak se-phobia pemerintah Indonesia terkait bendera. Jadi kalau benar ditangkap pun pelaku itu hanya akan didenda beberapa ratus dillar saja karena lakukan penerobosan," ujar Koman.(*)

Related posts

Leave a Reply