Papua No. 1 News Portal | Jubi
Minneapolis, Jubi – Demonstrasi damai menanggapi pembunuhan terhadap George Floyd, 46, seorang pria kulit hitam oleh polisi, berujung aksi pembakaran, penjarahan dan vandalisme di Minneapolis, Amerika Serikat, pada Kamis (28/5) malam.
Para pemrotes melampiaskan amarah mereka atas kematian George Floyd, yang terlihat dalam video saksi mata kehabisan nafas, saat seorang petugas polisi kulit putih menekan lehernya dengan lutut pada Senin malam.
Aksi kerusuhan terbaru di kota terbesar di Minnesota itu sebagian besar tidak terkendali, meskipun Gubernur Tim Walz memerintahkan Garda Nasional diaktifkan untuk membantu memulihkan ketertiban setelah dua hari pertama kerusuhan.
Berbeda dengan Rabu malam, saat para demonstran yang melempar batu bentrok berulang kali dengan polisi anti huru hara, kali ini apparat keamanan tampak tidak menonjolkan diri di sekitar pusat kerusuhan, di luar kantor polisi Third Precinct.
Para pengunjuk rasa yang berkumpul di luar kantor polisi sesaat mundur di bawah tembakan gas air mata polisi dan peluru karet dari atap. Tetapi kembali berkumpul dan akhirnya membakar bangunan itu ketika polisi tampak menarik diri.
Sebuah mobil dan setidaknya dua bangunan lain di sekitarnya juga dibakar, dan penjarah kembali beraksi pada malam kedua di toko Target terdekat, yang telah dijarah pada malam sebelumnya, lalu kabur dengan apa pun yang tersisa di dalam.
Petugas pemadam kebakaran mengatakan 16 bangunan dibakar pada Rabu malam.
Tidak ada tanda-tanda langsung kehadiran pasukan Garda Nasional di kantor polisi atau pada demonstrasi damai siang hari serta pawai di sekitar Pusat Pemerintahan Kabupaten Hennepin di pusat Kota Minneapolis.
Pejabat penegak hukum lokal, negara bagian dan federal berusaha meredakan ketegangan rasial yang dipicu oleh kematian Floyd dengan bersumpah untuk mewujudkan keadilan.
Empat petugas polisi kota yang terlibat dalam insiden itu dipecat dari pekerjaan mereka hari berikutnya. Salah seorang diantaranya yang tertangkap kamera terlihat menekankan lututnya ke leher George Floyd ketika dia berbaring di tanah sambil mengerang, “tolong, saya tidak bisa bernapas,”.
Kasus George Floyd mengingatkan publik pada pembunuhan Eric Garner pada 2014, seorang pria kulit hitam tak bersenjata di New York City yang meninggal setelah dicekik oleh polisi saat dia juga terdengar mengatakan, “Saya tidak bisa bernapas.”
Kata-kata Garner itu menjadi seruan untuk gerakan “Black Lives Matter” yang bangkit di tengah gelombang pembunuhan orang Afrika-Amerika oleh polisi.
Sepanjang hari, para pemrotes mendesakkan tuntutan mereka agar keempat polisi itu ditangkap dan dituntut.
“Ada alasan saat ini” untuk melakukan penangkapan itu, kata aktivis hak sipil Pendeta Al Sharpton saat ia berbicara kepada kerumunan. “Kami tidak meminta bantuan. Kami meminta apa yang benar.”
Ibu Garner, Gwen Carr, mengatakan kasus George Floyd seperti “membuka luka lama, dan menuangkan garam ke atasnya.”
Baca juga Ini upaya kreatif memelihara ingatan gerakan Hak-hak Sipil di AS
George Floyd, seorang penduduk asli Houston yang bekerja sebagai penjaga keamanan dan dikenal oleh teman-temannya sebagai “Big Floyd”, dicurigai mencoba menggunakan uang palsu di sebuah toko ketika polisi menangkapnya. Seorang karyawan yang meminta bantuan menggambarkan tersangka tampak mabuk, menurut transkrip panggilan polisi itu.
Protes simpati meletus pada Rabu di Los Angeles dan Kamis di Denver, dengan ratusan demonstran memblokir lalu lintas jalan bebas hambatan di kedua kota itu.
Kerusuhan pada Kamis malam di Minneapolis dilaporkan menyebar ke kota yang berdekatan, St. Paul, ibu kota negara bagian itu.
Kepala kepolisian Kota Minneapolis, Kamis (28/5), meminta maaf kepada keluarga pria kulit hitam tak bersenjata itu. Kepala kepolisian Medaria Arradondo mengatakan departemennya telah ikut menyebabkan “harapan memudar” di kota Negara Bagian Minnesota itu, bahkan sejak sebelum kematian George Floyd (46) pada Senin (25/5).
“Saya benar-benar meminta maaf atas rasa sakit, kehancuran dan trauma yang ditinggalkan atas kematian Floyd pada keluarga, orang-orang yang dicintainya, dan komunitas kita,” kata dia.
Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada Kamis menyatakan telah menjadikan investigasi atas keterlibatan kepolisian dalam kematian George Floyd sebagai “prioritas utama”.
Adik laki-laki korban, Philonise Floyd, kepada CNN (27/5) mengatakan ia “lelah melihat orang kulit hitam mati” dan memahami kemarahan orang-orang. Meski demikian, dia mendesak para pemrotes untuk melakukan aksi dengan damai.
“Kepada polisi, saya ingin mereka melakukan semuanya dengan benar, mulailah melakukan pekerjaan Anda dengan cara yang benar karena saya belum melihatnya,” kata Philonise Floyd.(*)
Editor: Zely Ariane