Aksi Kamisan,Jokowi dan buramnya penuntasan kasus HAM

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai jalan di tempat. Salah satu indikator itu tampak dari masih digelarnya aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.

Pendapat ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta saat meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2017, Selasa 12 Desember 2017. Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menerangkan, ada 151 kali aksi Kamisan sejak Jokowi berkuasa sejak 2014, sementara jumlah total aksi Kamisan yang sudah digelar mencapai 517 kali. Aksi ini melibatkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.

Indikator lain terkait penanganan kasus pelanggaran HAM juga muncul, seperti dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ormas yang dinilai melanggar hak untuk berpikir, berkeyakinan, berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi.

“Dalam hak-hak sipil dan politik, terjadi berbagai pelanggaran serius,” ujar Alghiffari dalam buku Catatan Akhir Tahun 2017 yang diterima Tirto.

Selain di bidang politik, LBH menyoroti tidak efektifnya keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di wilayah kesehatan. Pemerintah juga dianggap masih menjadikan buruh sebagai korban demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

“PP 78/2015 tentang Pengupahan diterapkan, bahkan terdapat pula Upah Padat Karya yang nominalnya jauh lebih rendah,” katanya.

Alghiffari menyebut, pemerintah juga masih menggunakan cara-cara represif seperti penggusuran paksa dan perampasan tanah masyarakat untuk melakukan pembangunan. Cara ini dianggap memunculkan masalah HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Tak hanya di tingkat pusat, indikator-indikator ini juga ditemukan di DKI Jakarta. Berdasarkan catatan LBH Jakarta, ada 30 kasus pelanggaran HAM di bidang perkotaan dan masyarakat urban yang mereka tangani sepanjang 2017.

Dari jumlah itu, 13 kasus berkaitan dengan hak atas tanah dan tempat tinggal disusul 2 kasus hak atas usaha dan ekonomi, 6 hak atas kesehatan, 2 kasus lingkungan, 5 kasus pendidikan, dan 2 kasus pelayanan publik.

“Pada akhirnya muncul pertanyaan apa definisi 'demi pembangunan' yang digaungkan? Karena pada akhirnya dalam fakta dan prosesnya mengorbankan masyarakat banyak,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta Yunita.

Yunita juga menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan sesuai nilai-nilai HAM. Menurutnya, masyarakat hingga kini masih berada di posisi pasif jika pemerintah membicarakan konsep pembangunan.

Temuan LBH Jakarta tak berbeda jauh dengan catatan serupa yang dirangkum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur berkata, ada kemiripan antara temuan LBH DKI dan YLBHI dalam bidang penanganan kasus HAM.

"Ada yang sama. Kami masih menyusun," kata Isnur kepada Tirto.

Penyelesaian Non-peradilan

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan pemerintah sebenarnya selalu mendorong penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu. Di era Jokowi, kata Mualimin, pemerintah mengubah pendekatan penyelesaian kasus dengan menggunakan cara di luar peradilan atau non-litigasi.

Mualimin mencontohkan penyelesaian Peristiwa 1965 yang sedang dicoba pemerintah. “Yang sifatnya projustisia, kan, akhirnya menemui kesulitan,” ujar Mualimin kepada Tirto.

Cara ini, kata Mualimin, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Palu yang berani meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM pada 1965-1966 kemudian menuangkan komitmen penyelesaian ini dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Daerah (RANHAMDA) Kota Palu. Mualimin berkata akan kembali membicarakan cara penyelesaian ini dengan Komnas HAM.

"Pelanggaran HAM di masa lalu kalau diklasterisasi ada Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok, Wasior, Lampung, Paniai, Peristiwa 1965/1966. Yang jadi utang pemerintah sebetulnya kasus 1965-1966, maksudnya kalau yang lain-lain kan sudah selesaikan. Ya, kalau urusan ada yang tidak puas, kan, urusan lain," katanya.

Saat menyampaikan pidatonya di sidang tahunan MPR/DPR/DPD di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (16/8/2017). Jokowi tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia (HAM).

Ini membuat Istri almarhum Munir, Suciwati angkat bicara. Dia menilai isu HAM hanya untuk komoditi politik saja.

"Kalau saya satu kalimat 'Kau yang mulai kau yang mengingkari'. Artinya ya dia memang jadi bisa melihat dengan kasat mata bahwa HAM itu hanya komoditi politik. Supaya dia bisa berkuasa," kata Suci di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Rabu (16/8/2017).

"Kalau lihat pidatonya tadi dulu ngomong Papua luar biasa. Enggak ada di situ HAM apalagi. Kita lihat sebuah bangunan yang kosong tanpa manusia. Ya intinya pemerintahan Jokowi seperti itu," ungkap dia.(*)

Sumber: Tirto.id/Merdeka.com

 

Related posts

Leave a Reply