Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Dewan Editorial Samoa Observer
Institusi-institusi demokrasi itu bak mobil sport: performa mereka baru terlihat ketika mereka bergerak dengan kecepatan tinggi dan di bawah tekanan yang besar.
Dalam beberapa minggu terakhir, negara Samoa mengalami tekanan yang ekstrem dan banyak pihak yang ternyata masih belum memadai.
Lebih dua minggu setelah pemilu nasional diadakan, negara ini belum juga memiliki pemerintah yang baru, meski itu melalui drama politik yang alur ceritanya jauh lebih berliku daripada sebuah novel misteri pembunuhan.
Secara umum, hampir semua ketegangan yang berlarut-larut ini disebabkan oleh seluk-beluk kehidupan dalam sistem demokrasi parlementer. Khususnya, ketika perbedaan dalam hasil pemilu yang dibuahkan itu sangat tipis, kita pun diingatkan akan pepatah lama bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali jika dibandingkan dengan semua bentuk pemerintahan lainnya yang pernah dicoba sebelumnya.
Tetapi saat ini masyarakat Samoa sedang melihat intervensi dari salah satu institusi yang dibentuk untuk membawa dan menjaga kestabilan demokrasi di negara itu.
Kantor Komisi Pemilihan Umum Samoa telah menuai berbagai pujian setelah pemilu pada 9 April lalu. Ini termasuk menerima pujian melalui media-media sosial, hingga rekognisi yang berikan kepada mereka di halaman-halaman outlet media tertentu karena telah berhasil menyelenggarakan proses pemilu tanpa insiden apapun.
Namun, pada Selasa malam pekan lalu (20/04/2021), kita menyaksikan momen dimana komisi tersebut berubah dari sebuah lembaga yang telah meyakinkan orang Samoa bahwa itu bekerja sekeras mungkin untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang tidak memihak, menjadi salah satu pemain aktif dalam menentukan hasil dari pemilu ini.
Dalam sebuah pos di media sosial larut malam sekitar pukul 21:30 waktu setempat, Kantor KPU mengumumkan bahwa mereka akan menambahkan jumlah kursi parlemen nasional menjadi 52 kursi, dan memasukkan seorang Anggota Parlemen (MP) dari Partai Perlindungan HAM (HRPP). Pembenaran yang diberikan untuk langkah itu didasarkan pada UU konstitusi yang mensyaratkan setidaknya 10% dari semua legislator yang terpilih adalah perempuan.
Namun penafsiran ketentuan ini, seperti yang diperdebatkan baru-baru ini, masih belum jelas.
Ada lima perempuan yang terpilih dalam pemilu bulan ini: totalnya adalah 9,8 % dari semua parlemen.
Meski angka itu kurang dari ambang batas minimal, menaikkan itu menjadi 10% akan memerlukan 5,1 legislator perempuan untuk diangkat sebagai anggota Dewan Legislatif. UU tersebut diperkenalkan pada 2013, pada saat parlemen Samoa terdiri dari 49 kursi.
Dalam upaya untuk meluruskan semua ketakpastian yang mungkin akan terjadi di masa depan, amandemen pada UU itu lalu menjabarkan panduan tentang bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat dalam penafsirannya.
“Anggota Perempuan dari Majelis Legislatif harus: (a) terdiri dari minimal 10% dari Anggota Dewan Legislatif,” pasal itu menekankan. “Yang, untuk menghindari kebingungan, saat ini adalah 5.”
Media-media sosial di Samoa pun marak dengan humor gelap tentang apakah hanya MP dengan anggota badannya terpotong yang dapat memenuhi kuota hukum dan spekulasi tentang UU tadi.
Bagaimanapun, ketentuan tersebut memang membingungkan, dan begitu membingungkan hingga bahkan KPU pun tidak konsisten dalam mengambil keputusan.
Setelah pemilu, KPU sempat mengumumkan bahwa, karena sudah ada lima MP perempuan yang terpilih, maka ketentuan UU tadi mengenai kuota perwakilan perempuan tidak perlu diaktifkan.
Komisaris KPU, Faimalomatumua Mathew Lemisio, lalu dengan segera mengubah interpretasi ini. Dia menambahkan bahwa kantornya sedang meminta saran legal, terutama tentang arti kata ‘saat ini’ dalam amendemen tadi.
Hal ini mengingatkan kita akan kasus Presiden Amerika, Bill Clinton, yang terkenal mengatakan kepada dewan juri bahwa jawaban atas salah satu pertanyaan mereka itu ‘tergantung pada apa makna kata ‘is’.”
Namun saat mengumumkan bahwa dia masih menanti nasihat legal hukum atas pertanyaan tersebut awal pekan lalu, Faimalo melakukannya dengan pengakuan penuh bahwa keputusan komisinya dapat digugat secara hukum. “Mengingat ketentuan khusus ini belum pernah diuji di pengadilan sebelumnya, ada kemungkinan interpretasi ini bisa dibawa ke pengadilan,” ujarnya.
Pertanyaan mengapa kantornya belum pernah merujuk masalah interpretasi konstitusi itu ke pengadilan sebelumnya sejauh ini tidak terjawab. Kantor itu telah melakukan persiapan pemilu selama bertahun-tahun lamanya hingga hari pemungutan suara, tetapi ternyata, mereka tidak memperhatikan pengembangan prosedur yang konsisten untuk hasil pemilu.
Sementara itu, partai oposisi Faatuatua i le Atua Samoa ua Tasi (FAST) mengatakan bahwa untuk mencapai kuota 10% dengan akurat itu tidak akan pernah mungkin terjadi karena ada 51 kursi di Parlemen Samoa XVII:
“Saya bukan seorang ahli matematika, tetapi menurut saya untuk 5,1 orang, Anda tidak bisa memiliki satu bagian tubuh dari seorang perempuan saja, yang diperlukan seorang perempuan seutuhnya,” kata ketuanya, Fiame Naomi Mataafa, akhir pekan lalu.
Pada hari Rabu (21/04/2021) setelah penambahan satu MP perempuan, partai tersebut mengumumkan akan mengajukan gugatan hukum langsung terhadap interpretasi komisi tersebut, mengklaim keputusan KPU itu sebagai ‘pelanggaran hukum’ dan ‘tidak konstitusional’.
“FAST percaya bahwa konstitusi kita itu jelas dan tidak ambigu, bahwa jumlah minimum perwakilan perempuan secara jelas ditentukan dan diatur dalam konstitusi sebagai lima orang,” tegas kata partai itu.
Jadi, masyarakat Samoa kini sedang mempersiapkan diri untuk hasil pemilu yang bisa jadi diputuskan oleh pengadilan.
Pemilu dengan hasil yang sangat bersaing ini telah mengungkap banyaknya kekurangan dalam pengetahuan kita tentang lembaga yang mengatur negara ini.
Ada ketakpastian tentang beberapa isu yang timbul dari pemilu yang hasilnya yang seri ini.Salah satunya adalah kita tidak tahu apakah putusan pengadilan ini akan diambil tepat waktu untuk menentukan keanggotaan Parlemen berikutnya atau tidak.
Belum ada informasi yang diberikan kepada publik mengenai apa yang mungkin terjadi kedepannya. Jika jumlah kursi antara dua pihak tetap seimbang dan jalan masih buntu, pemilu baru adalah satu-satunya jawaban.
Peraturan dimana pekerja publik untuk tetap netral di bawah pemerintah sementara juga telah terbukti tidak diterapkan. Komisi Public Service Commission harus mengeluarkan peringatan resmi kepada pejabat-pejabat pemerintah agar tetap tidak memihak secara politik setelah beberapa menteri-menteri pemerintah dilihat menghadiri kebaktian doa di markas besar HRPP.
Kinerja institusi nonpartisan suatu negara pada akhirnya menentukan kekuatan demokrasi negara itu. Pemilu Samoa baru-baru ini telah menunjukkan bahwa beberapa institusi Samoa mungkin akan gagal.
Ini harus menjadi peringatan, bahwa untuk melakukan tugasnya dalam mengawal dan memastikan demokrasi, lembaga-lembaga demokrasi Samoa harus memiliki prosedur yang konsisten untuk setiap hasil politik, betapapun tak terduganya itu. (Samoa Observer)
Editor: Kristianto Galuwo